“Mara, aku tahu kamu marah tetapi bisakah kamu memberiku waktu sebentar lagi, mama sedang menemani mas Arya berobat di Tokyo. Aku belum bisa banyak membicarakan dan membujuknya tentang hubungan kita. Aku benar-benar butuh waktu lagi,” ucap Arka sambil mengendarai mobilnya, mencoba membuka pembicaraan dengan Amara yang hanya duduk diam selama perjalanan.
Amara hanya bisa membuang pandangannya keluar jendela selama perjalanan pergi menuju apartemen yang disewakan Arka untuknya. Bayangan testpack itu memenuhi benaknya. Hidupnya memang cukup bebas, selain disewakan apartemen oleh Arka, mereka juga melakukan hubungan intim disana. Tetapi, walau begitu mereka jarang melakukannya beberapa bulan belakangan karena kesibukan keduanya.
Untuk menjaga hubungan mereka, Amara dan Arka selalu menyempatkan diri untuk bertemu satu atau dua hari sekali, minimal mereka makan siang bersama kecuali 3 bulan belakangan ini mereka benar-benar jarang bertemu. Apalagi sejak Amara bertemu Ranita, hubungan keduanya semakin renggang dan terus memanas seolah lupa waktu yang berlalu selama 2 tahun hubungan mereka berjalan.
Sikap Amara yang minta putus pada Arka sepertinya berhasil membuat pria itu kelabakan. Apalagi mendengar Raga sudah kembali dari London, kekasihnya itu selalu cemburu pada teman kecil Amara.
Baru saja Amara memikirkan tentang Raga, handphone di tangannya berdering dan ada nama Raga yang muncul di layar.
“Halo,” sapa Amara ketika mengangkat telepon dari Raga dan membuat raut wajah Arka menjadi muram.
“Dimana kamu? Kata Tante Amih kamu berangkat ke kantor bersama Arka, bukannya kita sudah janji untuk bertemu? Bukannya kamu mengambil cuti hari ini? Aku masih berada dirumahmu.”
“Nanti siang saja kita bertemu, ada hal yang harus aku selesaikan juga dengan mas Arka. Nanti aku hubungi lagi,” ucap Amara cepat dan segera memutuskan komunikasi mereka.
“Untuk apa kalian bertemu?!” tanya Arka dingin penuh rasa cemburu.
“Itu urusanku, kita sudah putus mas! Jadi aku berhak bertemu pria manapun yang aku mau!”
“Aku tahu kamu dekat dengan Raga agar bisa membuatku cemburu bukan?! Aku cemburu, Mara! Benar-benar cemburu! Aku bisa menahan perasaanku jika melihatmu dekat dengan pria lain, tapi dengan dia tidak! Aku tahu dia punya perasaan padamu!”
Amara hanya bisa diam, kali ini ia tidak bisa merasa senang dan menang dengan pengakuan yang selalu ditunggunya keluar dari mulut Arka. Ia hanya bisa mengusap perutnya perlahan. Seharusnya saat seperti ini ia bisa dengan mudah mengatur perasaan Arka untuk kembali takluk padanya dan pria itu pasti akan berusaha apapun untuk menyenangkan hati Amara termasuk melawan orang tuanya untuk mempertahankan hubungan mereka.
Tetapi kali ini ada janin yg baru tumbuh di dalam rahimnya dan bukan milik Arka. d**a Amara terasa sakit karena ia harus benar-benar putus dari Arka untuk menentukan apakah ia akan membesarkan janin ini atau tidak.
Sepasang kekasih ini pun akhirnya sampai di apartemen yang ditinggali Amara di hari-hari kerjanya. Saat masuk Amara segera membuka koper dan memasukan pakaian ke dalamnya.
“Mara, aku mengajakmu kemari untuk bicara?! Kenapa kamu bersikeras untuk pergi?” tanya Arka sambil memeluk Amara dan mencoba mencumbu kekasih yang begitu ia rindukan.
Amara menggeliat perlahan dan mencoba melepaskan diri dari cumbuan Arka yang juga ia rindukan. Kali ini ia tengah diposisi yang bersalah tanpa Arka ketahui, mereka harus benar-benar putus sebelum Arka tahu kalau dia hamil.
“Mas, tolong beri aku waktu untuk memikirkan kembali hubungan kita. Kali ini aku benar-benar tidak sanggup menjalaninya. Aku butuh waktu sendirian.”
“Sendirian?! Apa yang disebut sendirian jika aku sering mendengar kamu selalu pergi dengan Raga!”
“Aku benar-benar butuh waktu! Ada hal yang harus aku selesaikan tanpamu. Mas, aku benar-benar ingin putus! Mungkin ibumu benar, kita memang sebaiknya tak bersama.”
“Gak gitu, Mara! Aku akan cari cara agar kita bisa bersama! Aku hanya ingin kamu bersabar, biar aku bicara sama mama!”
“Tapi saat ini aku sudah tidak mau … aku sudah tidak mau mempertahankan hubungan ini. Aku benar-benar ingin putus,” ucap Amara dengan suara parau dan menatap Arka dengan pandangan dalam begitu pasti walau mulai ada genangan air mata mengalir perlahan.
“Aku cinta sama kamu,” bisik Arka sambil memeluk Amara erat.
“Aku juga masih cinta sama mas Arka, tapi aku sedang tidak bisa bersamamu … tolong lepaskan aku…,” isak Amara akhirnya menangis sedih.
Sepasang kekasih itu akhirnya saling berpelukan erat, melepas perasaan sedih keduanya, karena kali ini mereka benar-benar harus berpisah walau di hati Arka perpisahan ini hanya untuk sementara. Ia akan berjuang mendapatkan restu dari orang tuanya.
***
Amara melangkah perlahan memasuki gerbang rumah besar yang tampak sepi selain seorang satpam yang menjaga rumah itu. Rumah itu adalah rumah milik keluarga Raga. Dulu rumah itu cukup ramai karena Raga masih ada adik pria yang kini juga tengah bersekolah dan tinggal di Belanda. Sedangkan kedua orangtua Raga setelah anak-anak mereka pindah, mereka pun pindah rumah, dan memberikan rumah lama mereka pada Raga sebagai anak tertua.
Rumah besar ini tak ada pembantu tetapi dua hari sekali pembantu dirumah orang tua Raga akan datang membersihkan rumah. Kini sejak Raga pulang, ia lebih senang tinggal sendirian sehingga ibunya – Ima kembali memesan catering Amih.
Ketika melihat Amara masuk ke dalam rumah, Raga yang tengah asik membaca segera meletakan bukunya dan menghampiri Amara lalu memeluknya erat. Melihat wajah suram sendu Amara, Raga sadar ada sesuatu yang terjadi padanya.
“Ada apa?” tanya Raga dengan suara lembut.
Perlahan Amara mengeluarkan test pack yang ia bawa dari rumah sebelum ia datang menemui Raga dan menyerahkannya pada pria itu.
Menatap garis dua di dalam testpack membuat Raga mengerti apa yang terjadi.
“Aku …”
“Ayo, kita menikah,” ajak Raga tiba-tiba sambil mencium dan memeluk Amara erat.
“Tidak! Aku tidak ingin membebanimu seperti ini, aku juga masih ingin berpikir ulang apakah aku ingin mempertahankan anak ini atau tidak.”
“Amara!”
“Jika kita menikah, didalam hatiku masih ada Arka!”
“Aku tak peduli! Aku tahu kamu mencintai Arka, tapi aku juga tahu kamu juga menyukaiku dan menyimpan rasa padaku walau tak sebesar Arka. Jika tidak, kita tidak akan bolak balik bertemu dan bersama sampai sejauh ini. Aku akan menunggu sampai kamu bisa melupakan Arka dan benar-benar mencintaiku. Tapi jangan hilangkan anak ini. Jika suatu hari nanti ternyata kamu masih tak bisa mencintaiku, tak apa, biar aku yang merawat buah hati kita.”
Tangisan Amara pecah di dalam pelukan Raga. Ucapan Raga benar-benar menenangkan kecemasannya yang dalam.
“Aku masih ingin berkarir, aku masih ingin meraih semuanya,” isak Amara sambil menangis, memberitahu ketidaksiapannya menjadi seorang ibu.
“Lakukan saja apa yang kamu mau, tapi jangan pernah membunuh buah hati kita. Dia tidak bersalah atas dosa yang kita lakukan. Biar aku yang menanggung semuanya.”
Tangisan Amara semakin keras. Ia merasa bersalah, berdosa dan tak berdaya, tetapi ia tak bisa bohong masih ada mimpi yang ingin ia raih.
Raga memeluk Amara semakin erat, membiarkan perempuan itu menangis dipelukannya sampai puas.
“Menangislah sampai kamu puas, tetapi setelah itu kamu harus tahu bahwa kita akan menghadapinya bersama.”
Amara hanya mengangguk dan membenamkan wajahnya di d**a Raga. Hatinya sedih karena kali ini sepertinya ia benar-benar harus melepaskan Arka dari dalam hatinya.
***
Sudah seminggu ini Lembayung pulang semakin malam. Sejak ia memergoki Amara dan Raga bersama, membuatnya semakin menjaga jarak dengan keluarganya sendiri. Apalagi seminggu ini Raga semakin intens datang kerumah mereka setiap malam membuat Lembayung merasa tidak nyaman dan memutuskan menghabiskan waktunya diluar rumah.
Tapi lama kelamaan ia merasa lelah, malam ini ia pulang lebih cepat karena ingin cepat- cepat istirahat. Dan benar saja saat sampai dirumah, ia melihat Raga dan Amara yang juga baru pulang dari kantor hendak makan malam bersama.
“Akhirnya si anak hilang ini pulang juga.” tegur Amih ketika melihat Lembayung pulang.
“Makan dulu yuk dek,” ajak Amara dengan suara lembut seolah bisa melihat kegusaran Lembayung saat melihat mereka.
Lembayung hanya diam dan melintasi ruang makan tanpa berbicara apa-apa. Ternyata hatinya masih merasa sakit melihat Raga dan kakaknya semakin dekat.
“Hei, anak gadis kok merengut gitu sih?” goda Raga mencoba menggoda Lembayung saat melintas dan sambil meraih tangan Lembayung agar ia berhenti.
Tetapi Lembayung tak peduli, ia malah menghempaskan tangan Raga gusar, dan tetap berjalan menuju kamarnya.
“Kamu gak boleh gitu sama Raga, Lembayung! Sebentar lagi dia akan jadi kakak iparmu!” tegur Gatot – sang ayah melihat sikap anak bungsunya yang sedikit kasar.
Langkah Lembayung terhenti sesaat, tetapi ia segera berjalan kembali menuju kamar tidurnya dengan wajah yang menahan tangis sekuat tenaga. Kakak ipar? Secepat itukah mereka bersama bahkan akan segera menikah?!
Sampai di dalam kamar, Lembayung hanya bisa menangis terisak menahan jerit hatinya. Ia merasa sedih luar biasa, karena tak ada yang mau mengerti perasaannya. Tak ada yang mau peduli jika ia benar-benar mencintai Raga, dan tengah sedih dan patah hati karena pria itu memilih Amara.
Bersambung.