Bab 4. Kemarahan Lembayung

1194 Kata
Lembayung baru saja keluar dari kamar tidurnya hendak bersiap berangkat kerja lebih pagi. Semalaman ia tidak bisa tidur, karena perutnya sangat lapar belum sempat makan malam dan juga hatinya sedih karena teringat bahwa sepertinya Amara dan Raga sudah meresmikan hubungan mereka kepada orang tua Lembayung dan Amara. Baru saja ia keluar dari kamar, ia mendengar suara ibunya yang seolah berbicara berbisik -bisik pada seseorang lalu ia mendengar suara seseorang tengah muntah. “Haduh! Kenapa kamu bisa sejauh ini dengan Raga?! Mama gak habis pikir sama kamu! Bagaimana kalau papa kamu sampai tahu?! Kalian harus cepat-cepat menikah sebelum perutmu semakin membesar!” “Siapa yang hamil, ma?” tanya Lembayung cepat sambil berjalan memasuki ruang makan dan melihat Amara yang tengah muntah diwastafel. Terlihat Amih dan Amara yang segera menoleh kearah Lembayung lalu kembali menatap satu sama lain. Amih segera menarik tangan Lembayung agar menjauh, untung saja Gatot pagi itu sudah berangkat kerja sehingga ia tidak mendengar percakapan mereka dan ucapan Lembayung. “Stt! Amara hamil! Dan ayah dari anak itu adalah Raga!” ucap Amih setengah berbisik menatap Lembayung dengan tatapan dalam dan tegas. “Apa?” “Papamu belum tahu soal ini, jadi mama minta kamu diam sampai Raga dan Amara punya waktu menjelaskan pada papa kalian!” bisik Amih lagi. “Ma … mbak Mara hamil?” “Ck! Iya! Mama juga gak ngerti kenapa tiba-tiba saja mereka bersama padahal Raga pulang dari London baru hampir 2 bulan! Kenapa sih anak-anak jaman sekarang gak inget sama norma dan dosa?!” keluh Amih merasa marah atas perbuatan Amara dan Raga. Wajah Lembayung berubah sendu. Matanya yang sudah sembab karena tadi malam menangis semalaman kembali memanas. Rasanya ia sudah tak bisa lagi menumpahkan air mata. “Dek,” panggil Amara tiba-tiba berjalan menghampiri mereka. Amara bisa melihat wajah Lembayung yang terlihat syok dan sedih. Perlahan Amara mencoba meraih tangan Lembayung, tetapi dengan marah Lembayung menepisnya. “Apa-apaan kamu Lembayung?! Saat seperti ini kamu sudah tak bisa marah lagi sama kakak kamu!” tegur Amih ketika melihat Lembayung bersikap kasar pada Amara. “Kenapa Lembayung gak boleh marah sama mbak Amara?! Mbak Amara merebut cinta pertama Lembayung! Mbak Amara ngambil mas Raga, ma!” “Sudah cukup sama semua ke haluan kamu, Lembayung! Mama tahu kamu nge fans banget sama Raga! Tapi kali ini kamu harus stop bersikap seperti anak kecil! Ada calon keponakan kamu di dalam perut Mara, yang lebih butuh bapak dan ibunya, daripada fantasi kamu pada Raga! Raga itu sekarang calon suami Mara, kakak kamu! Jadi mama minta kamu mulai bersikap dewasa dan gak gelendotan kaya anak-anak lagi sama Raga! Ngerti kamu!” “Nggak! Lembayung gak ngerti dan Lembayung gak mau ngerti!” pekik Lembayung histeris. “Cukup! Mama udah pusing gara-gara kakak kamu hamil diluar nikah begini! Jangan tambah beban mama sama rengekan kamu yang gak jelas! “ “Mbak Amara jahat! Lembayung suka banget sama mas Raga! Bertahun - tahun Lembayung nungguin mas Raga!” “Raga tuh gak suka sama kamu, Lembayung! Dia sukanya dari dulu sama Mara!” potong Amih keras dan gusar karena merasa sulit memberitahu anak gadis bungsunya untuk berhenti mengharapkan Raga. “Sudah cukup sikap kamu yang mengharapkan Raga! Amara gak salah sama kamu karena kamu juga bukan kekasihnya Raga! Ada hal lain yang harus kita hadapi bersama saat ini! Tolong dong kamu mengerti!” Tangisan Lembayung meledak mendengar ucapan sang ibu. “Dek, dengarkan mbak… biar mbak menjelaskan hal ini sama kamu … mbak minta maaf … “ “Akh! Diam! Diam kamu mbak! Mbak Mara sama mama tega sama Lembayung! Lembayung benci mbak Mara! Benci!” teriak Lembayung histeris sambil mendorong Amara agar menjauh dari dirinya karena kakaknya itu mencoba mendekati Lembayung. “Dek, maafkan mbak … mbak khilaf …,” panggil Amara hampir menangis melihat Lembayung yang tampak hancur perasaannya. “Benci! Lembayung benci!” isak Lembayung terus menangis sedih tak bisa lagi mengungkapkan isi hatinya yang hancur berantakan karena perasaannya pada Raga hanya sebuah halusinasi belaka. Ia menangis sedih karena ia merasa perasaannya tak pernah dianggap. Lembayung segera berlari keluar rumah sambil menangis dan menenteng tas nya. Amara mencoba mengikuti dan terus menerus memanggil Lembayung sampai keujung jalan raya, tetapi adik kecilnya itu sudah memasuki taksi dan langsung melaju meninggalkan komplek perumahan dimana mereka tinggal masih sambil menangis sedih. *** Lembayung beringsut perlahan mencoba mengumpulkan jiwanya kembali. Perlahan ia menatap keluar jendela kamar hotel kecil yang tengah ia tempati. Tadi pagi Lembayung tak jadi berangkat bekerja, perasaannya terlalu kacau sehingga ia minta diturunkan disebuah hotel bintang 2 yang murah meriah sesuai isi dompetnya untuk bernaung. Ia tak punya tempat untuk singgah karena teman-temannya juga pasti sudah berangkat bekerja atau melakukan aktivitas lainnya pagi itu. Setelah menangis puas, akhirnya Lembayung tertidur dan ia terbangun beberapa saat yang lalu tepat saat jarum jam menunjukan pukul 12 siang. Perlahan ia menatap handphonenya, banyak terdapat misscall mulai dari kantor, teman kerjanya, Amara, Amih bahkan Raga. Perlahan Lembayung meringkukan badannya seolah tengah melindungi dirinya sendiri, ia mulai berpikir apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Ia tengah tak ingin bekerja tetapi ia juga tak ingin pulang kerumah yang kali ini terasa bagai neraka untuknya. Perlahan Lembayung mulai bangkit dari tidurnya dan menatap dirinya sendiri didepan cermin sambil duduk. Wajahnya benar-benar bengkak karena menangis, rambutnya berantakan dan wajahnya terlihat sangat pucat. Sudah beberapa hari ini juga, ia tak berselera untuk makan sehingga tubuhnya menyusut sangat cepat. “Aku jelek,” gumam Lembayung sambil menyentuh pipinya yang terasa dingin. Bayangan Amara yang cantik, wangi, selalu berpakaian modis dan tampak keren membuat hati Lembayung semakin menciut. Ia tak pernah menyangka bahwa saat ia dewasa, ternyata ia harus bersaing dengan kakaknya sendiri untuk mendapatkan cinta lawan jenis. Ada tatapan marah yang terpancar dimata Lembayung. Selama ini kedua orang tuanya adalah orang tua yang agamis dan selalu mengajarkan dirinya hal yang baik dan benar sesuai tuntunan agama. Walau bukan anak solehah, tetapi Lembayung selalu berusaha menjaga dirinya baik-baik. Berbeda dengan Amara yang cerdas, cantik dan sangat ambisius. Lembayung merasa marah karena ia yang sudah menjaga diri sebaik mungkin malah dikhianati oleh kakaknya sendiri yang bebas tanpa batas. “Oke! Sepertinya dunia ini gak perlu perempuan baik! Baiklah! Ayo Lembayung, kita akan berubah menjadi Amara!” gumam Lembayung geram menatap dirinya sendiri. Walau usianya dan Amara terpaut 5 tahun lebih muda, tetapi Amara tetaplah kakak yang sayang dan terbuka pada Lembayung. Ia selalu mengajak Lembayung kesana dan kesini juga memberitahunya dimana ia bersenang-senang dengan teman-teman kelas atasnya. Lembayung membuka handphonenya dan mengecek saldo rekening tabungannya. Ia sudah tak peduli dengan angka tabungan yang susah payah ia kumpulkan agar tahun depan bisa berangkat berlibur ke eropa seperti mimpinya, karena malam ini uang itu akan ia habiskan untuk bersenang-senang seperti Amara! Sendirian saja! Waktupun berlalu, dan saat ini Lembayung sudah tak berada di kamar hotelnya yang sempit. Lembayung menatap gedung tinggi dimana disalah satu lantainya ada sebuah restoran and bar mewah yang merupakan salah satu tempat kesukaan Amara untuk singgah dan bersenang-senang. Perempuan muda itu mengumpulkan semua keberaniannya untuk berjalan dan naik ketempat yang belum pernah ia masuki sama sekali. Lembayung merasa yakin tabungannya bisa memenuhi keinginan liarnya malam ini. Ia tak ingin pulang, malam ini ia hanya ingin merasakan menjadi seorang Amara. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN