Matahari mulai meninggi, Darel terus mondar-mandir di ruang keluarga, menunggu Annisa pulang. Darel terus menerus melihat ke depan pintu berharap seseorang yang dia harapkan akan masuk lewat pintu itu. Amarah sudah berada di ubun-ubun hingga rasanya dia ingin meledak bila menahannya lebih lama. Namun sayangnya, orang yang menjadi sumber kemarahannya tak juga kelihatan. ‘Ke mana dia?’ Darel mengertakkan giginya menahan amarah. “Maaf tuan, Darel, ada dokumen ya—” Dor! Tanpa disangka sebuah peluru mendarat di bahu pria itu. “Peluruku akan mendarat di kepalamu kalau kau kembali mengingatkanku tentang dokumen sialan itu!” bentak Darel geram, yang membuat pria itu pergi seketika. Ingin sekali rasanya Darel mendaratkan semua pelurunya ke kepala pria yang tadi tengah asy