Hening menyelimuti ruang bawah tanah markas A3R—ruang sempit tanpa jendela, dinding beton tanpa cat, bau lembap bercampur aroma besi karat. Lampu redup di langit-langit menyala temaram, cukup untuk memperlihatkan tiga pria yang duduk bersandar di kursi besi dengan tangan terborgol di belakang. Tubuh mereka masih dipenuhi luka memar dan bekas darah yang mulai mengering. Wajah mereka pucat, mata sembab, namun tetap bungkam. Pintu terbuka. Langkah sepatu berderap perlahan. Dante masuk lebih dulu, jas hitam masih melekat sempurna di tubuh tegapnya. Di belakangnya, Denta menyusul dengan langkah tenang namun berat, membawa sebuah map hitam tebal yang menggantung di tangan. Dante melempar pandang pada ketiganya, lalu angkat dagu dengan angkuh. “Selamat malam, gentlemen. Sudah tidur cukup? Tida

