Suasana butik Kavina Atelier siang itu terasa sedikit tegang. Ruangan bernuansa krem keemasan yang biasanya hangat dan menenangkan, kini penuh bisik-bisik khawatir dan gerak tubuh gelisah. Kalia berdiri di tengah ruang kerja dengan raut wajah yang tak bisa dibilang tenang. Beberapa karyawan berdiri tegak dengan kepala tertunduk, sementara gaun putih berbahan organza itu terbentang di meja panjang, memperlihatkan robekan halus yang mencoreng kesempurnaan desain yang telah dikerjakan berbulan-bulan. “Besok klien kita datang. Untuk foto prewedding-nya. Gaun ini harus sempurna. Kalian semua tahu itu,” ujar Kalia, nadanya tenang tapi tegas. Ia menatap satu per satu karyawannya, mencoba membaca kejujuran dari wajah-wajah panik itu. “Siapa yang terakhir pegang gaun ini?” Seorang asisten muda me

