Langkah kaki Kalia bergema di lorong lantai utama Bratama Corp, cepat dan tanpa henti. Beberapa karyawan yang ia lewati sempat menatap heran, bahkan beberapa menunduk memberi salam, namun Kalia tak menghiraukan. Matanya masih sembab, dagunya gemetar menahan amarah dan kepedihan yang siap meledak kapan saja. Rasanya seperti ditampar kenyataan. Suara Denta tadi... tatapan lembut pria itu kepada wanita lain... panggilan “sayang” yang selama ini tak pernah lagi ia dengar, setidaknya bukan ditujukan untuknya. Kalia menggenggam erat tas tangannya saat menekan tombol lift. Tapi lift terasa terlalu lama, dan ia memutuskan berbalik arah, menuruni tangga darurat tanpa ragu, tumit tingginya memukul lantai keras dengan irama cepat penuh amarah. Begitu sampai di basement parkir, tangannya bergetar s

