Suasana di ruang kerja Altair membeku, seolah waktu ikut terdiam setelah pengakuan Kalia. Tak ada suara selain isak tertahan dan deru napas berat dari masing-masing orang yang duduk di sana. Denta menatap Kalia dengan pandangan getir—rasa bersalah dan cinta berbaur jadi satu. Altair memijit pelipisnya pelan, beban sebagai seorang ayah, seorang pemimpin, dan seorang laki-laki yang pernah membuat keputusan serupa di masa lalu kini menamparnya keras. Ia menyesal, kenapa dulu membiarkan Kalia jauh dari pandangannya, jauh dari perlindungannya. Bram, di sisi lain, membuka mulutnya beberapa kali, namun tak satu kata pun berhasil meluncur. Matanya berair, bukan karena kelemahan, tetapi karena kecewa dan marah yang menumpuk dalam diam. "Daddy... Papi... Biarkan Denta bertanggung jawab," suara be

