Di ruang eksekutif dengan pencahayaan hangat dan jendela besar yang menampilkan panorama langit Surabaya yang suram, Salina terduduk kaku di kursinya. Tangannya mengepal, tubuhnya nyaris tak bergerak, tapi dadanya bergemuruh seperti badai. Gurat kecemasan tak bisa ia sembunyikan, wajahnya pucat, dan napasnya tidak beraturan. “Apa aku pernah makan sesuatu dari pantry? Dari mereka yang nyiapin minuman di kantor?” pikir Salina dengan napas terengah. Bayangan-bayangan kecil mulai menyerangnya—secangkir teh manis yang terasa terlalu pahit, botol air putih yang sudah terbuka, kue kecil dari rapat mingguan… Overthinking itu menjalari pikirannya seperti racun. Sejak kapan rencana itu berjalan? Sejak kapan kantor yang dibangun ayahnya, tempat yang seharusnya menjadi warisan dan pelindung, justru

