Di tengah lounge hotel yang bergengsi itu, Denta Attala Bramasta duduk dengan tatapan dingin yang tak bisa dibaca. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran sofa kulit hitam dengan elegan, namun dagunya sedikit terangkat—tanda ia mulai kehilangan ketertarikan dengan lawan bicaranya. Di hadapannya, pria paruh baya yang seharusnya menyampaikan proposal kerja sama tampak terlalu sibuk membual, sementara asistennya sibuk menampilkan presentasi di tablet. “Jadi, seperti yang saya sampaikan, pembangunan bar dan hotel ini akan membawa dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan timur. Kami hanya butuh dukungan dari investor seperti Anda, Tuan Denta,” ucap pria itu dengan semangat yang dipaksakan. Namun Denta nyaris tak mendengarkan. Matanya justru menajam ke arah pintu masuk lounge. Dan di sanal

