Shalter tampak tenang dengan bantuan alat kesehatan pada dirinya. Sabelle meringis, melihat jarum tajam yang menembus kulit anaknya saat pemeriksaan kondisi.
"Sabelle," panggil Emily.
Sabelle menoleh dan tersenyum pada Emily. "Ya, Bu?"
"Kau tidak pulang?"
Sabelle menggeleng pelan lalu kembali menatap Shalter yang sedang tidur di depannya.
"Aku bisa menjaganya, kita akan bergantian. Setidaknya kau harus membersihkan dirimu, Sabelle," ingat Emily pada putrinya yang tengah murung itu.
"Bagaimana jika Shalter bangun dan menanyakan aku, Bu? Aku tidak ingin meninggalkannya."
"Sabelle, semua akan baik-baik saja, Sayang. Aku akan menjaga Shalter, kau bahkan tidak menyentuh makananmu. Kau ingin merawat Shalter tapi bagaimana jika kau ikut sakit?" Emily tidak hentinya membujuk Sabelle.
"Tapi, Bu--"
"Kau dapat memepercayaiku, 'kan?" tanya Emily yang membuat Sabelle mengangguk lemah.
"Kalau begitu pulang dan bersihkan dirimu. Jangan lupa untuk makan sesuatu, aku tidak ingin kau jatuh sakit, Nak."
Sabelle mengangguk dan berdiri dari duduknya, membiarkan Emily mengambil alih tempat duduknya tadi. Dengan lunglai, Sabelle berjalan keluar dari ruangan itu dan menuju basemen untuk mengambil mobilnya.
Sebenarnya untuk membawa mobil saja, Sabelle tidak sanggup. Ia kelelahan, belum makan, dan juga pikirannya penuh oleh kesalahannya, entah itu dari masa lalu atas saat ini.
Sebuah mobil tiba-tiba menyerempet dari sisi kanan, membuat Sabelle terpaksa membanting setir ke arah kiri dan membuatnya menabrak sebuah pohon besar di sekitaran jalanan tersebut.
Kepala Sabelle membentur setir kuat dan darah tiba-tiba mengalir dari kepalanya. Rasa pening menyergap, semua tampak berputar-putar atau mungkin hanya pandangannya saja, tapi darah terus mengalir turun ke pipinya.
Seorang pria dari luar mencoba membuka paksa mobil Sabelle dan ia tampak kesusahan. Sabelle hanya bisa melihat pria itu tampak cemas dan mengetuk jendela tanpa bergerak sedikit pun karena dirinya merasa lemas dan tidak punya tenaga. Pandangannya yang tadi berputar-putar kini berganti menjadi buram. Wajah pria yang terlihat cemas itu mulai terasa kabur dan begitu juga kesadarannya. Tapi, Sabelle sempat tersenyum diakhir kesadarannya saat ia melihat orang yang ia cintai menatap cemas dirinya.
•••
"Sabelle!" seru Emily saat melihat anaknya dibawa menggunakan bangkar rumah sakit.
"Apa yang terjadi pada anakku? Mengapa ia terluka? Astaga!" panik Emily sembari menatap Sabelle yang telah tidak sadarkan diri.
"Anda Ibunya?" tanya seorang pria yang sedari tadi bersama Sabelle.
Emily mengangguk cemas. "Ada apa dengannya? Kau tahu sesuatu?"
Pria itu menunjuk Sabelle. "Nanti kita bicarakan," ucap pria itu.
Sabelle dibawa keruangan ICU dan diberikan perawatan. Sedangkan Emily tengah menunggu di luar bersama pria asing yang terus bersama Sabelle sedari tadi.
"Maaf aku tidak mengenalkan aku sebelumnya. Aku Damien, aku menemukan putrimu dalam mobil yang menabrak pohon. Dia terlihat terluka dan pingsan, oleh karena itu aku membawanya kemari," jelas pria-Damien-itu.
Emily mengangguk mengerti lalu mengambil sebuah tangan Damien untuk ia genggam. "Panggil aku Emily dan terima kasih, Damien. Karena kau telah menolong putriku."
Damien mengangguk canggung. "Aku hanya berniat membantu, tidak perlu berterima kasih," balas Damien.
Emily tersenyum lalu mengambil duduk di kursi tunggu, diikuti oleh Damien yang duduk dengan jarak satu kursi darinya.
"Kau tahu perkara kejadiannya?"
Damien menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, saat aku berada di lokasi kejadian mobil itu sudah menabrak pohon dan putrimu telah tergeletak di jalanan."
Emily mengernyit. "Maksudmu? Bagaimana ia tergeletak di jalanan?"
Damien mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku juga bingung awalnya tapi aku benar-benar menemukannya di luar mobil. Mungkin saja seseorang menolongnya dan memilih memanggil bantuan, sedangkan aku langsung memanggil ambulans."
Emily terdiam mendengar penjelasan pria itu, ia berdoa untuk siapa pun yang mengeluarkan Sabelle dari mobil, semoga hidupnya dipenuhi kebahagiaan.
"Lalu, apa kau tak apa?" tanya Emily dan memperhatikan pria itu dari atas sampai bawah.
Damien ikut menatap tubuhnya dan berkata, "Tidak apa, hanya saja bajuku sedikit kotor."
"Astaga, maafkan aku, Damien. Jika kau ingin pulang maka tidak apa-apa. Aku tidak akan menahanmu disini."
Damien mengangguk. "Kalau begitu, aku pergi dulu, Emily," pamit Damien dan berjalan pergi dari sana, namun belum sampai tiga langkah, Emily menghentikan langkah pria itu.
"Boleh aku minta nomormu, Damien? Siapa tahu putriku bertanya tentang penolongnya dan aku tidak tahu harus berkata apa," pinta Emily.
Damien mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan nomornya pada Emily. "Kau bisa menghubungiku kapan saja, bahkan jika kau butuh bantuan. Dan juga tolong kabari aku akan kondisi putrimu."
Emily tersenyum. "Terima kasih, Damien. Aku berhutang padamu."
"Kalau begitu aku pergi dulu," ucap Damien dan kali ini benar-benar pergi dari sana.
Emily akhirnya tinggal sendiri menunggu Sabelle yang belum keluar dari ruangan di depannya. Emily lantas menelpon suaminya dan menyuruhnya datang, ia khawatir terhadap Shalter karena tidak ada yang jaga. Bagaimana jika cucunya tersebut bangun dan tidak menemukan siapa pun?
Emily membuka ponsel pintarnya dan melihat sebuah berita yang mampir di notifikasinya. Berita itu menceritakan Peter yang baru saja hendak berangkat ke New York. Hati Emily terasa diremas kuat oleh sesuatu yang tidak terlihat. Bagaimana bisa pria itu tersenyum di depan wartawan sedangkan keluarganya sedang terluka disini.
Emily menutup ponselnya langsung, tidak kuat melihat senyuman yang terpatri di wajah pria yang menyakiti putrinya tersebut.
"Emily," panggil Frank saat ia berlari menuju tempat Emily.
"Bagaimana dengan Sabelle?" tanya pria tua itu panik.
Emily mengedikkan bahunya, wajahnya yang sedih membuat Frank membawa Emily ke dalam pelukannya dan menenangkan istrinya tersebut.
"Kau tahu, Frank. Saat aku melihat Sabelle dipenuhi oleh darah membuatku merasa kehabisan napas tapi saat aku melihat berita tentang Peter membuatku merasa sesak. Dia sedang menuju New York dengan senyuman yang ia tunjukkan pada wartawan di luar sana. Sedangkan Sabelle dan Shalter sedang berjuang disini untuk dapat melanjutkan hidupnya tanpanya. Aku-aku tidak sanggup melihat Sabelle terluka lebih dalam lagi. Aku tidak ingin ia terus terluka. Apa yang harus kita lakukan, Frank?"
Frank mengelus punggung istrinya dengan lembut dan ikut berpikir apa yang harus ia lakukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Apa yang menimpa mereka sekarang ini tentunya tidak menyenangkan dan membuatnya ingin membawa keluarga pergi sejauh mungkin hingga tidak mengingat lagi pria yang bernama Peter Clark tersebut.
"Permisi, anda keluarganya?" tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
Emily menoleh dan mengangguk terlalu cepat. "Aku orang tuanya, ada apa dengan putriku? Apa ia baik-baik saja? Dia baik-baik saja, bukan?" tanya Emily yang membuat dokter tersebut bingung.
Frank mengelus lengan istrinya untuk menenangkannya. Lalu mengambil alih untuk bertanya pada dokter tersebut. "Bagaimana keadaanya, Dokter?"
Dokter itu tersenyum. "Dia baik-baik saja. Kepalanya hanya perlu dua jahitan untuk menutupi lukanya. Dia akan sadar beberapa saat lagi."
Frank dan Emily menghembuskan napas lega mereka.
"Terima kasih, Dok," ucap Frank yang dibalas anggukan.
"Kalau begitu bisa ikut saya untuk memenuhi biodata pasien?"
Frank mengangguk namun menatap Emily dulu untuk meyakinkan istrinya bahwa tidak apa-apa. Akhirnya Emily mengangguk.
"Apa aku boleh melihatnya?" tanya Emily.
"Tentu saja, tapi setelah ia dipindahkan ke bangsal biasa, mungkin sebentar lagi. Kalau begitu saya permisi, mari Tuan."
Dokter dan Frank mulai menjauh dan Emily menatap ke dalam ruangan melalui kaca yang menampilkan ruangan tersebut dan terlihat beberapa perawat membawa Sabelle keluar dari ruangan tersebut dan Emily mengikuti mereka.
"Permisi," Sahut Emily pada perawat yang membawa Sabelle.
"Ya, ada yang bisa kami bantu?"
"Aku ibunya, bisakah ia ditempatkan di satu ruangan bersama anaknya? Anaknya juga sedang dirawat disini," pinta Emily.
"Maaf, Bu. Kalau boleh tahu di kamar mana anaknya dirawat?"
"Di kamar C, kulihat tempat itu masih kosong dan hanya cucuku yang berada disana. Bolehkah? Aku sudah tua dan sulit bagiku untuk mengunjungi ruangan yang berbeda," bujuk Emily.
Perawat itu terlihat saling menatap dan berkata, "Sebentar, saya tanyakan dulu."
Seorang perawat pergi ke arah center dan menanyakan hal itu, tidak lama akhirnya ia kembali. "Baik, Bu. Ia boleh ditempatkan di kamar yang sama."
Emily tersenyum. "Terima kasih, ayo aku tunjukkan tempatnya."
Akhirnya Sabelle ditempatkan di satu kamar yang sama. Sabelle dan Shalter tampak belum sadar dan mereka berdua terlihat lebih damai, terutama Sabelle. Karena Sabelle terlihat kacau sebelumnya karena memiliki banyak pikiran dan kurang tidur, tapi kini ia terlihat baik-baik saja dan tenang.
Emily mendekatkan dirinya pada Sabelle lalu mengecup pipi putrinya. "Aku menyayangimu, Sabelle."