CHAPTER 10

1253 Kata
Sabelle meneguk air putih yang diberikan Emily. Ia baru saja bangun dari ketidaksadarannya dan menemukan dirinya ditempat yang sama dengan putranya, rumah sakit. "Merasa baikan?" tanya Emily setelah mengambil gelas dari tangan Sabelle. Sabelle mengangguk lemah dan menoleh ke tempat tidur yang berada di sebelahnya, dimana Shalter tengah menatapnya lemah. Shalter berhasil selamat, tetapi tubuhnya belum cukup pulih untuk beraktifitas seperti biasa. "Mommy," panggil Shalter lemah. Sabelle tersenyum pada Shalter. "Tidak apa, Mommy baik-baik saja," balas Sabelle yang memahami kekhawatiran Shalter. "Shalter sadar tadi malam dan ia lamgsung menanyakanmu. Seperti yang kau katakan sebelumnya," terang Emily. Sabelle terkekeh kecil. "Aku tahu dia akan mencariku." Emily menatap ragu pada Sabelle, ada yang hendak ia tanya, tapi takut membuat putrinya itu merasa tidak nyaman. Apalagi Sabelle baru saja sadar, ia tidak ingin membuat putrinya kenapa-napa atau pun berpikir terlalu keras. Sabelle melayangkan tangannya pada puncak tangan Emily dan menatap Emily lembut. "Tidak apa, Bu. Apa yang ingin kau katakan?" "Aku hanya terus kepikiran, Sabelle. Bagaimana bisa kau kecelakaan. Itu bukan sepertimu saja, kau ahli dalam mengemudi." Sabelle meringis, ia juga tidak menyangka akan berakhir terluka seperti ini padahal ia tidak pernah terluka saat mengemudi sebelumnya. Tapi Sabelle tahu alasan pasti ia kecelakaan. Bukan karena mobil yang tiba-tiba menyerempetnya, tapi karena pikirannya yang kalut akan Shalter dan seorang pria yang tidak sengaja ia lihat, pria itu adalah Peter. "Sabelle," panggil Emily yang membuat Sabelle bangun dari keterlamunannya. "Ah, ya. Aku hanya penuh dengan pikiran, Bu. Aku cemas sekali dengan Shalter, pikiran buruk menyerangku saat mengemudi dan itu membuatku tidak fokus, juga ada mobil yang tiba-tiba menyerempet mobilku dan membuatku semakin hilang kendali," jawab Sabelle dan itu tidak bohong. Sebagian karena kecemasannya pada Shalter dan sebagian karena Peter, ia hanya tidak menjelaskan seluruhnya. "Maafkan aku, Mommy," sahut Shalter yang ternyata mendengar percakapan mereka. Sabelle akhirnya menoleh pada Shalter dan menggeleng pelan. "Itu bukan salahmu, Shalter. Itu salah Mommy karena tidak dapat menjagamu dengan baik," ucap Sabelle. Shalter mengangguk polos. "Maafkan aku karena memarahimu waktu itu padahal kau sebenarnya kesepian, Sayang. Aku sangat  menyayangimu," ucap Sabelle tulus. "Tidak apa, aku juga sayang Mommy!" Emily terharu melihat interaksi yang sedang terjadi dihadapannya. Shalter dan Sabelle saling menyayangi, ikatan mereka terasa begitu kuat hingga Emily merasa dapat melihat benang yang mengikat mereka berdua bersama. Sabelle lalu membalikkan tatapannya pada Emily, ia mengingat sesuatu. "Siapa yang membawaku ke rumah sakit, Bu?" tanya Sabelle. "Ah, iya. Aku lupa memberitahumu. Dia seorang pria manis yang menemukanmu di luar mobil dengan luka yang masih basah. Pria itu bernama Damien, dia yang membawamu kemari dengan menelepon ambulans, jangan lupakan bajunya yang ikut kotor karena ia memapahmu kurasa." Sabelle mencoba mengingat, kejadian saat kecelakaan tersebut dan ia rasa seorang pria mencoba mengeluarkannya dari dalam mobil, apakah pria itu? Tapi Sabelle merasa familiar dengan wajah yang ia lihat saat ia di dalam mobil tersebut walau ia tidak mengingatnya dengan baik. "Aku juga mendapatkan nomornya, mungkin kau ingin berterima kasih dengan pria itu. Dia juga memintaku untuk mengabarinya jika kau telah sadar," jelas Emily dengan antusias. "Baiklah tolong telepon dia, Bu." Emily mengangguk dan mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Damien. Sembari menunggu, Sabelle menoleh sekeliling untuk mencari Ayahnya yang tidak tampak semenjak ia sadar tadi. Apa mungkin Frank telah kembali bekerja? "Mencari Ayahmu?" sentak Emily. Sabelle mengangguk. "Dimana Ayah? Aku tidak melihatnya sedari tadi. Apa ia kembali bekerja?" Wajah Emily terlihat masam dan ia kembali fokus pada ponselnya. "Dia memiliki permintaan dari pelanggan tetapnya. Aku heran, padahal ia telah memiliki pekerja di bengkelnya tapi tetap saja ia ingin melakukannya sendiri. lantas, mengapa ia memperkerjakan anak-anak itu jika tidak membiarkan mereka bekerja," omel Emily dan terlihat sangat kesal. Sabelle tertawa kecil. Ia tahu Ayahnya sangat suka pada mobil bahkan pada mesin-mesinnya juga. Oleh karena itu, Ayahnya membuka bengkel sejak beberapa tahun yang lalu untuk menjadikan hobbynya sebagai pekerjaan dan Sabelle merasa itu berhasil. Kurang dalam waktu tiga bulan, ayahnya sudah mendapatkan  banyak pelanggan tetap. "Pria itu tidak punya hati, padahal kau sedang terluka tapi ia lebih memilih bengkel bututnya!" Sabelle menggenggam tangan ibunya. "Dia sedang marah, Bu. Ayah selalu seperti itu, mungkin ia marah pada dirinya karena tidak bisa menjagaku," jelas Sabelle yang membuat amarah Emily mereda. "Ya, kau benar. Dia suka menyalahkan dirinya sendiri. Tapi dia tahu tidak akan ada yang menyalahkannya. Aku tidak tahu, Frank memang aneh." "Ibu, dia suamimu," protes Sabelle dan sedikit merengut. Emily tersenyum. "Karena dia suamiku maka aku berani mengatakannya. Dan juga aneh tidak berarti dalam hal yang buruk terus, bukan?" "Ya, kau benar. Jadi apa panggilannya sudah tersambung dengan pria yang meneleponku?" Emily menepuk dahinya dan tertawa kecil. "Maafkan aku, aku lupa haha." Emily langsung mendial nomor Damien dan memberikan ponselnya pada Sabelle. Beberapa kali dering akhirnya panggilan tersebut tersambung dan Sabelle mengeraskan volume ponselnya. "Halo?" "Halo, dengan Damien?" "Ya, itu aku. Dengan siapa aku berbicara?" "Sabelle." "Sabelle siapa?" Emily tertawa kecil dan Sabelle merasa malu. "Ah, maaf. Aku Sabelle, wanita yang kau selamatkan dari kecelakaan kemarin." "Oh ... Hai, apa kau baik-baik saja?" Sabelle melihat dirinya lalu menjawab, "Aku rasa begitu." "Bagus kalau begitu." "Aku ingin berterima kasih padamu karena telah menolongku, terima kasih banyak, sungguh." "Haha, tidak apa. Aku senang kau baik-baik saja." "Ya, aku juga." Sabelle memegangi lehernya karena tidak tahu apa yang akan ia katakan lagi pada pria itu. Sabelle lantas menatap Emily dan bertanya dengan mata apa yang harus ia katakan selanjutnya. Emily membalas dengan mengedikkan bahunya walau bibirnya sudah melengkung membentuk senyum. "Hmm ... Apakah aku boleh menjengukmu, nanti?" Sabelle terkejut tapi segera menjawab, "Tentu saja, aku akan senang jika kau mau menjengukku, aku juga ingin tahu seperti apa pria yang menolongku haha." Nada canggung tidak dapat dihindarkan. "Astaga, Sabelle. Apa yang kau katakan?" bisik Emily sembari tertawa kecil. "Ya, aku juga ingin tahu seperti apa wanita yang kutolong," balas pria itu yang membuat Sabelle tambah malu. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya tidak tahu berkata apa." Kekehan kecil terdengar dari sebrang telepon. "Aku tahu, jadi sampai jumpa nanti." "Ya, sampai jumpa." Panggilan itu terputus dan Sabelle rasanya hendak menguburkan dirinya dalam-dalam atas apa yang ia katakan pada Damien tadi. "Astaga, honey. Pipimu memerah," goda Emily. "Berhenti, Bu. Aku rasa aku tidak bisa bertatap muka dengan pria itu, aku malu sekali." Emily tertawa. "Aku yakin, Sabelle, dia orang yang baik." Sabelle menghembuskan napasnya. "Kuharap begitu." ••• "Permisi," ucap seseorang sembari membuka pintu. Sabelle dan Shalter terkejut oleh kedatangan seorang pria dengan buket bunga besar berisi bunga mawar merah yang indah.  Sabelle menatap pria itu bingung tapi tidak dengan Shalter yang tampak berbinar melihat pria itu dan kangsung mengubah posisinya yang tadi berbaring kini mulai duduk. "Mien!" seru Shalter. Pria yang dipanggil Miem tersebut juga tampak terkejut melihat Shalter. "Waw. Hei, kid!" balas pria itu dan bertepuk tangan dengan Shalter. Sabelle hanya terdiam melihat itu dan sedikit tidak percaya Shalter akan mengenal pria tersebut bahkan terdengar akrab. Shalter tidak pernah menceritakan orang itu sebelumnya. "Maaf, tapi anda siapa?" interupsi Sabelle. Pria itu lantas menoleh pada Sabelle dan tersenyum, ia mendekati Sabelle dan memberikan bunga itu pada Sabelle. "Damien De'rux, pria yang berteleponan denganmu sebelumnya," balas pria itu sembari memberikan tangannya pada Sabelle. Sabelle membalas sambutan tangan tersebut. "Sabelle." "Silahkan duduk," tawar Sabelle. Damien mengambil kursi untuk ia duduki dan mengambil tempat di tengah-tengah antara kasur Sabelle dan Shalter. "Terima kasih bunganya, terlihat indah." Damien mengangguk dan tersenyum menawan. "Sama-sama." "Kau tahu Mommy, Mien?" tanya Shalter. Damien menggangguk. "Dia yang menolong Mommy, Shalter. Berterima kasih padanya," jelas Sabelle. Shalter tambah terlihat senang. "Terima kasih, Mien!" Damien tertawa. "Tidak apa, lalu kenapa kau dirawat?" Sabelle merasa tidak enak hati saat pertanyaan itu terlontar. Shalter juga tampak tidak nyaman dan tidak tahu menjawab apa. "Dia tenggelam di bath up karena kelalaianku. Aku memarahinya karena sesuatu yang tidak patut dipermasalahkan," jelas Sabelle dengan menunduk. Damien menatap Sabelle. "Mengapa kau memarahinya?" "Aku tidak dapat menemukannya saat itu dan kupikir ia bermain jauh atau lebih tepatnya ... meninggalkanku. Dan saat ia pulang, aku memarahinya tanpa mendengar penjelasannya." "Kapan itu?" "Dua hari yang lalu." "Berarti itu saat dia bermain basket bersamaku di taman." Sabelle sontak mendongak dan terkejut. "Huh?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN