"Huh?"
"Saat itu dia bermain basket bersamaku. Aku tidak sengaja melihatnya duduk di tangga rumahmu dengan keadaan murung dan sedih, jadi aku mengajaknya untuk bermain."
Sabelle langsung menatap Shalter yang kini tengah menunduk dan memainkan selimutnya.
"Apa itu benar, Shalter?" tanya Sabelle.
Shalter menatap Sabelle dengan takut-takut. "Yes, Mommy. Aku lupa memberitahu Nanny."
Sabelle menghembuskan napasnya, merasa sangat bersalah atas apa yang telah ia lakukan, padahal Shalter hanya kesepian dan jika ia memiliki teman untuk diajak bermain tentu saja ia tidak akan menolak. Sabelle juga ingat nada suara yang bahagia saat Shalter teriak jika ia sudah pulang saat itu.
"Maafkan aku, Sayang. Aku tidak tahu itu dan aku langsung saja memarahimu. Aku tidak bermaksud untuk memarahimu, hanya saja aku takut kau meninggalkanku, Shalter," lirih Sabelle yang membuat Damien tertegun.
"Tidak, Mommy. Aku tidak akan meninggalkanmu!" seru Shalter dengan riang.
Sabelle tersenyum walau sorot matanya menunjukkan kesedihan. Hal itu tentunya tidak luput dari penglihatan Damien yang sedari tadi mengamati interaksi mereka.
"Sabelle," panggil Damien.
Sabelle menoleh. "Hmm?"
"Mengapa kau bilang jika Shalter akan meninggalkanmu?"
Pertanyaan Damien tentunya membisukan Sabelle. Entah harus ia jawab dengan benar atau berbohong, keduanya sangat tidak ingin ia lakukan. Alhasil, Sabelle memilih mengubah topik pembicaraan.
"Jam berapa sekarang. Kurasa aku harus meminum obatku," ucap Sabelle.
Damien tersenyum kecut. Ia merasa bersalah dan terlalu ikut campur dalam urusan Sabelle yang mana hanyalah orang baru yang ia kenal. Terlihat kentara sekali jika Sabelle mengalihkan pembicaraan dan Damien mengerti jika Sabelle tidak ingin membicarakan hal itu.
"Jam dua siang. Kau minum obat sekarang?" tanya Damien.
Sabelle menggeleng. "Aku minum obat jam tiga," jawab Sabelle.
Damien mengangguk.
"Kalau aku boleh bertanya, apa pekerjaanmu, Damien?"
"Tidak berat, aku hanya menjual rumah-rumah," balasnya simpel.
Sabelle tampak terkejut. "Wow, itu menakjubkan. Kau dapat memiliki banyak uang untuk itu," puji Sabelle.
Damien tersenyum namun tidak sampai ke matanya. "Untuk apa aku memiliki uang jika aku tidak merasa bahagia."
Sabelle terdiam. Secara tidak langsung Damien mengutarakan isi hatinya, bukan. Damien jika dilihat lebih seksama ia terlihat rapi dan menawan, tetapi jika kau melihat matanya maka kau dapat melihat jika pria itu kesepian, tidak ada semangat dibinar matanya.
"Mengapa tidak? Setidaknya kau dapat membahagiakan dirimu atau orang yang kau sayangi."
Damien menatap Sabelle dan mereka saling bertatapan. "Uang bukan sesuatu yang bisa membuatmu bahagia, Sabelle."
Sabelle mengangguk, ia mengerti. "Tapi kau tidak tahu uang bisa membahagiakan orang-orang disekitarmu. Mungkin uang bukan bahagiamu tapi bisa saja kebahagiaanmu bersama orang yang kau bahagiakan dengan uang," saran Sabelle.
Damien terdiam, masih menatap Sabelle tanpa berkedip.
"Kau mungkin menganggapnya material, tapi kau tahu maksudku, bukan? Lebih seperti liburan bersama, refreshing, traveling, sangat menyenangkan. Dan siapa tahu kau akan bertemu sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya," lanjut Sabelle.
Damien masih terdiam dengan keadaan yang sama, ia seperti mencerna perkataan Sabelle. Namun, karena tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, ia menjadi lamban untuk mencernanya.
"Damien," panggil Sabelle.
Damien tersentak dan mengedipkan matanya. "Ya, hanya saja tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Kupikir jika aku memberikan seseorang uangku maka mereka akan menjadi matre."
Sabelle tersenyum. "Itu tergantung dengan siapa orangnya. Jika ia mencintaimu maka ia tidak akan melihatmu dari hal itu."
Damien ikut tersenyum dan mengangguk. Perkataan Sabelle mengajarkannya sesuatu, jika kasih sayang itu masih ada.
"Kalau begitu apa kau mau menghabiskan uangku?" tanya Damien yang membuat Sabelle terkejut.
Sabelle menggeleng. "Maaf, aku sedang tidak tertarik dengan uang. Aku hanya tertarik pada kebahagianku dan Shalter," balas Sabelle dan diakhiri senyuman.
"Kalau begitu aku akan mencari kebahagiaanku juga," pungkas Damien.
Sabelle terkekeh. "Itu bagus, semoga kau mendapatkan kebahagiaanmu, Damien."
"Ya, kau juga."
•••
"Bu, aku dan Shalter baik-baik saja. Jangan memperlakukan kami seperti vas yang mudah retak," protes Sabelle saat Emily memapahnya.
"Diam saja, Sabelle. Aku tidak ingin kau kenapa-napa," balas Emily.
Sabelle memutar kedua bola matanya. "Asal kau tahu, Bu. Yang luka itu kepalaku, bukan kakiku jadi aku bisa berjalan sendiri dan aku sudah keluar dari rumah sakit berarti aku sudah tidak apa-apa," jelas Sabelle dan ia langsung melihat Frank-Ayahnya yang menggendong Shalter penuh kehati-hatian.
"Tenang saja, Ayah. Shalter tidak akan kenapa-napa jika kau biasa saja menggendongnya. Dia bukan barang yang mudah pecah," lanjut Sabelle.
"Diam saja, Sabelle. Kau terus saja mengomel," kesal Emily.
Sabelle tertawa. "Kalian sendiri yang membuatku ingin mengomel, Bu."
Saat telah sampai di depan mobil, mereka membukakan pintu untuk Sabelle dan Shalter masuk, setelah itu barulah mereka.
Sabelle terus memeluk Shalter dalam perjalanan pulang mereka. Bahkan Shalter sampai tertidur dipaha Sabelle karena mengantuk.
Emily menoleh kebelakamg dan terenyuh saat melihat Shalter tidur dengan polosnya. "Dia sangat menggemaskan," puji Emily.
Sabelle tersenyum sombong. "Tentu saja, ia adalah putraku, Bu."
Emily terlihat kesal dan kembali melihat ke depan sembari merutuk kecil akan putrinya yang sangat sombong.
Sabelle tertawa kali ini benar-benar keluar dari dalam dirinya yang menandakan ia sudah kembali seperti dulu, Sabelle yang ceria dan sedikit pemarah.
"Ayah, kemana kita? Ini bukan jalan pulang ke rumah," ucap Sabelle saat melihat jalanan yang sama sekali tidak menuju rumahnya.
"Memang bukan, kita akan ke suatu tempat tapi tidak jauh dari rumah, sekitar dua blok."
Sabelle hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut lagi yang menimbulkan kebingungan pada Emily. Sabelle biasanya akan bertanta sampai ia menemukan jawaban tapi mengapa Sabelle kini terlihat santai.
"Kau tidak bertanya kita kemana?" tanya Emily.
"Aku sudah menanyakannya tadi," balas Sabelle.
"Kau harus tanya lagi sampai mendapatkan jawabannya."
Sabelle terlihat bingung. "Mengapa?"
Emily menghela napas sembari menatap putrinya kesal. "Tanya saja."
Sabelle mengangguk kecil. "Baiklah, aku akan bertanya dan aku harap kalian menjawabnya. Kita akan kemana, Ayah, Bu?"
Emily tersenyum lebar menghasilkan keriput disudut matanya. "Rahasia!" serunya.
Sabelle pura-pura terkejut. "Wow, sebuah rahasia! Lalu untuk apa menyuruhku menanyakannya jika kau tidak mau memberitahukannya, Bu?" kesal Sabelle.
Frank hanya bisa tertawa sembari mengemudikan mobilnya ke sebuah persimpangan jalan besar lalu menghentikan mobilnya di depan sebuah toko yang telrihat tutup.
"Kalian ingin membeli sesuatu?" tanya Sabelle.
Emily dan Frank menggeleng serempak.
"Tidak, mari kita turun," suruh Emily dan ia sudah duluan keluar dari mobil.
Shalter yang tadinya tertidur kini terbangun. Ia mengusap matanya sembari menatap ke sekeliling. "Kita sudah sampai?" tanyanya.
Sabelle menggeleng. "Kurasa Nanny ingin membeli sesuatu, jadi ayo kita turun dan ikut melihat-lihat."
Shalter memgangguk dan mereka menuruni mobil, mendekati Emily dan Frank yang berdiri di depan toko yang tutup.
"Tokonya tutup, jadi apa yang akan kita lakukan?" tanya Sabelle.
Emiky tersenyum rahasia yang membuat Sabelle merasa curiga. Apa yang dirahasiakan Ibunya itu sehingga tersenyum seperti itu.
"Aku ingin kau membuka toko itu, Sabelle," pinta Frank yang membuat Sabelle mengernyit.
"Untuk apa?" tanya Sabelle.
"Buka saja!" seru Emily yang sudah tidak sabar.
Sabelle mengedikkan bahunya dulu dan barulah membuka pintu toko tersebut dan yang ia dapatkan ialah toko tersebut gelap. Tapi, persekian detik toko itu mulai terang dan penuh dengan bunga. Jangan lupa tulisan panjang yang bertuliskan, 'Selamat datang, Sabelle dan Shalter!'
Sabelle tampak terdiam dan tidak percaya. Hiasan dalam toko tersebut terasa indah dan benar-benar stylenya. Ditambah ada seorang pria yang membawa sebuah kue dan tersenyum lebar padanya.
"Selamat datang, Sabelle, Shalter," ucap pria itu yang mana ialah Damien.
Sabelle membalikkan badannya menatap orang tuanya yang tersenyum di belakangnya. Sabelle merasa bingung dan bahagia, tapi apa maksud semua ini.
Merasa mengerti dengan tatapan yang dilontarkan Sabelle, Emily menjelaskan, "Kami membeli toko ini dari Damien dan mendekornya menjadi toko bunga yang kau idam-idamkan sedari dulu, Sabelle."
Mata Sabelle membulat penuh. "Benarkah?" tanyanya, memastikan.
Emily dan Frank mengangguk. Shalter tampak lompat-lompat dan mengelilingi toko tersebut, terlihat bahagia.
"Kita akan menjual bunga?" tanya Shalter.
Sabelle mengangguk. "Ya, kita menjual bunga."
"Yeay!" pekik Shalter membuat semua orang yang di dalam ruangan itu terkejut dan tertawa.
"Oke, tapi jangan lupakan kue yang kubawa ini," sahut Damien yang membuat Shalter mendekatinya.
"Apa aku boleh memakannya?" tanya Shalter polos.
Damien mengusap kepala Shalter. "Tentu saja, jadi mari kita potong."
Mereka mengambil duduk di kursi dan meja yang ada di sudut ruangan. Shalter terlihat riang sembari menatap kue yang sedang dipotong oleh Damien.
Sabelle menatap orang tuanya. "Jadi, mengapa kalian membelikanku toko ini?" tanya Sabelle.
Frank menatap Emily agar menjelaskannya.
"Kami ingin membuatmu kembali bahagia, Sayang. Aku sangat ingat kau menyukai toko bunga, oleh karena itu kami berinisiatif membelikanmu. Kami tidak ingin kalian terus larut dalam kesedihan. Kau memiliki Shalter yang harus kau pertahankan senyumnya, Sabelle."
Sabelle mengangguk dan menatap Shalter yang terus tersenyum pada kue di depannya, setelah itu kembali menatap orang tuanya.
"Kalian benar, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku akan kembali bahagia bersama Shalter meskipun tanpa dia. Shalter lebih penting sekarang, aku tidak akan membuatnya bersedih dan merasa kesedihan lagi. Ia yang harus kujaga dengan penuh kasih sayang," teranh Sabelle dan tersenyum setelahnya. "Terima kasih, Ibu, Ayah. Aku menyayangi kalian."
"Kami juga menyayangimu, Sabelle."
Sabelle lalu menatap Damien yang tengah memberikan satu potong kue pada Shalter.
"Damien, terima kasih," ucap Sabelle tulus.
Damien tersenyum lebar dan kali ini sampai ke matanya. "Ya, sama-sama."