CHAPTER 12

1307 Kata
"Terima kasih telah berlangganan disini, Nyonya Hawkins," ucap Sabelle pada wanita tua di depannya. "Tentu saja, Sabelle. Tokomu memiliki bunga indah dan bagus jadi susah bagiku untuk berpaling," balas wanita yang dipanggil Hawkins itu. Sabelle melemparkan senyuman lebarnya membuat hati Nyonya Hawkins menghangat. Senyum Sabelle memang menenangkan dan itulah alasannya selalu datang ke toko itu. Singkatnya, senyuman Sabelle dapat membuatnya bahagia. "Kalau begitu, aku permisi, Sabelle. Aku tidak sabar menatap bunga ini di kamarku." Sabelle mengangguk. "Semoga harimu menyenangkan, Nyonya Hawkins!" Nyonya Hawkins mengangguk dengan tersenyum, setelah itu keluar dari toko bunga tersebut dengan hati yang penuh kebahagiaan. Kling-kling! Itu bunyi saat ada yang memasuki toko. Sabelle yang tadinya menunduk karena sedang menghitung uang kini mendongak untuk menyapa seseorang yang mungkin pembeli bunga. "Oh, Shalter. Kau sudah pulang?" tanya Sabelle saat dirinya mendapatkan Shalterlah yang memasuki tokonya. Shalter mengangguk pelan dan duduk di meja yang berada di sudut ruangan. Lalu ia membuka tasnya dan mengambil sebuah buku yang mana ialah pekerjaan rumahnya. "Bagaimana harimu, menyenangkan?" Shalter terlihat berpikir. "Entahlah, kurasa seperti biasanya," jawabnya. "Tapi bukan berarti buruk, bukan?" Shalter mengangguk. "Hanya saja aku memecahkan beberapa alat kimia saat kami pratikum dan ... Aku harus  menggantinya, Mom," jelas Shalter takut-takut. Sabelle mendekati putranya dan mengambil tempat di samping putranya, lalu mengelus kepalanya lembut. "Kenapa kau bisa memecahkannya, Shalter?" Shalter tampak cemberut dan terlihat tidak berniat mengatakan alasannya. Tapi Sabelle mengerti, ia tidak akan memaksa Shalter untuk mengatakan apa yang ia tidak ingin bicarakan saat ini. Mungkin saja Shalter memiliki permasalahan yang membuatnya malu untuk mengatakan. Akhirnya tangan yang tadi mengelus puncak kepala Shalter kini berpindah pada puncak tangan Shalter dan menggenggam tangan itu lembut. Sabelle membawa wajah Shalter untuk menatap matanya, lalu berkata, "Aku tidak memaksamu, oke. Kau bisa membicarakannya jika kau ingin, aku tidak akan menghakimimu, Shalter. Kau sudah berumur delapan tahun sekarang, aku ingin kau dapat menyelesaikan masalahmu dengan baik, oke!" Shalter tersenyum tipis, pemikiran takutnya akan Sabelle yang marah telah menguap. Tapi Sabelle memang tidak pernah memarahi Shalter semenjak tiga tahu yang lalu, dimana kejadian buruk itu terjadi. Seharusnya Shalter tahu, jika Mommynya tidak akan memarahinya lagi karena Sabelle tidak ingin Shalter terluka kembali. "Terima kasih, Mommy," ucap Shalter tulus. Sabelle tersenyum lebar. "Terima kasih kembali, Shalter." Melepaskan tangannya dari tangan Shalter, Sabelle kini berdiri. Ia berjalan ke arah dapur kecilnya dan mengambil sepotong kue dan membawanya pada Shalter. "Aku membelikanmu, kue. Bagus untukmu memakan manisan saat membuat pekerjaan rumah," jelas Sabelle dan meletakkan kue itu di depan Shalter. Shalter menatap Sabelle lembut dan tersenyum hangat. "Terima kasih, Mom." Sabelle yang tidak tahan dengan senyuman indah itu mulai menepuk kepala Shalter lembut dan ikut tersenyum. Bunyi dari  pintu kembali terdengar, Sabelle menoleh dan mendapatkan pelanggannya. Sabelle lantas menatap Shalter dan berkata, "Mommy, melayani pelanggan sebentar, oke." Shalter mengangguk. Sabelle langsung kembali ke counternya dan melayani pelanggannya. Itu semua diamati oleh Shalter yang melihat Mommynya dengan hangat melayani pembeli dengan baik. Shalter merasa bersyukur karena memiliki Sabelle. Selama tiga tahun wanita itu berusaha menjadi Ibu sekaligus ayah yang mana tidak semua orang bisa melakukannya. Bahkan Shalter tidak pernah merasa kekurangan materi maupun kasih sayang, tapi bukan berarti ia tidak merindukan Peter, Daddynya. Shalter menggelengkan kepalanya, mencoba mengenyahkan Peter dari pikirannya. Ia merasa marah dan rindu pada Peter. Tapi ia tahu, seberapa besarnya marah yang ia punya, itu semua kalah dengan kerinduannya pada pria itu. Merasa membutuhkan hiburan, Shalter menghidupkan televisi yang berada di depannya dan menukar siaran televisi tersebut sampai ia mendapatkan sesuatu yang ia suka. Tetapi, jemarinya berhenti menekan tombol saat Peter berada di siaran yang sedang tayang. Peter menyanyi dengan indah sampai beberapa penggemarnya tampak berteriak heboh memanggil namanya. Peter semakin sukses sekarang dan terlihat Bahagia saat. Shalter merasa marah. Bisa-bisanya pria itu hidup bahagia setelah meninggalkannya dengan ibunya. Terbesit di pikiran Shalter, apakah Peter pernah merindukannya? Sabelle yang telah melayani pelanggannya kini kembaki mendekati Shalter yang terlihat terpaku menatap televisi. Penasaran, Sabelle ikut melihat televisi tersebut dan ternyata sedang menayangkan Peter Clark, pria yang sangat ia benci. Sabelle langsung saja mematikan televisi itu membuat Shalter terkejut dan menatap Sabelle. Mendesah kecil, Sabelle memeluk Shalter dari belakang dan menyembunyikan raut sedihnya dari Shalter. Ia tidak ingin Shalter tahu jika selama ini Sabelle masih menyimpan luka yang bahkan tidak pernah tertutup itu. "Mommy," panggip Shalter. "Tidak apa, Shalter. Aku hanya tidak ingin mengenang saat itu. Kau sendiri  mungkin terluka karena melihat pria itu bahagia dengan mudahnya tanpa kita, sedangkan kita berjuang sangat sulit untuk bahagia," lirih Sabelle. Shalter memegangi tangan Sabelle yang melingkari lehernya, mencoba menguati Sabelle dengan itu. Shalter pun tahu perjuangan Sabelle untuk bangkin sangat sulit, bahkan dulu ia sering menemukan Sabelle termenung menatap kosong pada sesuatu. Itu adalah hal buruk bagi Shalter, melihat orang yang ia sayangi kesakitan. "Tidak apa, Mom. Kita sudah bahagia sekarang dan tidak ada yang akan  menghancurkannya," bisik Shalter. Sabelle mengangguk. "Kau benar. Kita akan baik-baik saja. Kita akan terus bahagia." "Ya, tentu saja." Sabelle melepaskan pelukannya dari Shalter lalu mengeluas puncak kepalanya sebelum meninggalkan Shalter untuk keluar dari toko. Ia membutuhkan udara segar saat ini. Tiga tahun yang ia lewati hingga sampai di titik ini tidak mudah. Tidak ada yang mudah, dirinya harus melewati proses yang ia tidak sukai seperti bermimpi buruk, melamun, merasa tidak berharga dan buruk. Tarikan nafas yang ia lakukan sekarang beda dengan dulu, di saat dulu menarik nafas saja membuatnya tercekik. Tapi ia sudah tidak apa sekarang. Ia tidak apa-apa atu itulah yang ia yakini. Sabelle menoleh ke dalam toko melalui jendela etalase untuk melihat Shalter yang kini tengah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Shalter adalah satu-satunya penguat agar ia bisa bangkit seperti ini. Sabelle setidaknya merasa beruntung memiliki Shalter yang dapat memahami semuanya bahkan dari umurnya lima tahun hingga sekarang. Dewasa sebelum waktunya, itulah Shalter. Anak yang malang, tapi inilah hidup, bukan? Penuh dengan teka-teki dan misteri. Sebelumnya merasa sangat sempurna tapi tidak tahu selanjutnya. "Hai, Sabelle!" sapa seseorang, yaitu pelanggan tetapnya. "Oh, hai, Teressa!" Orang yang bernama Teressa itu tersenyum. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya. "Terasa sedikit pengap di dalam jadi aku memutuskan untuk keluar. Well, lihat kau, darimana hingga memakai baju indah seperti itu?" Teressa melihat dirinya dan tersenyum senang. "Aku habis dari konser penyanyi terkenal, Brian yang membelikanku tiket untuk kami berkencan," jawab Teressa dan nada suaranya sangat bahagia. Sabelle tersenyum mencoba tertarik walaupun sebenarnya tidak. "Wow, itu romantis. Lalu, bagaimana kencannya?" "Sangat menyenangkan sekali! Kau harus kencan juga Sabelle agar kau tidak terus dalam satu warna." Sabelle mengernyit, tidak mengerti apa yang sedang dikatakan Teressa. "Maksudmu?" "Astaga, kau terlihat seperti itu saja, bahagia secukupnya dan bisa dikatakan biasa saja. Kau harus mencoba melangkah untuk semakin maju dan mengalahkan dirimu yang kurasa membosankan, bukan maksud menghina hanya untuk menjelaskan lebih mudah." Sabelle tertawa canggung. "Haha, begitukah?" Teressa memutar kedua bola matanya. "Terserahlah, tapi aku merasa aku tidak bisa setia pada Brian." "Mengapa?" Teressa mendengus. "Kau tidak tahu betapa tampannya penyanyi itu, Sabelle. Dia sangat tampan dan seksi! Aku bahkan jatuh cinta dengan mudah padanya. Dan! Jangan lupakan senyumnya yang meluluhkan hati semua wanita!" Sabelle tertawa mendengar penuturan Teressa, terlalu melebih-lebihkan. "Brian malang," lirih Sabelle dengan bercanda. "Tapi tenang saja, selama penyanyi itu tidak melirikku, maka Brian masih memilikiku." "Well, poor Brian karena menjadi pilihan kedua." Teressa mendesah lelah. "Bagaimana lagi, penyanyi itu sangat menggoda dengan suara bahkan wajahnya. Aku yakim kau juga tidak akan menolaknya jika kau bertemu dengannya." "Benarkah?" ragu Sabelle. "Jika tidak maka kau bukan wanita, Sabelle. Karena dia sangat tampan, astaga, aku tidak bisa menghapuskannya dari pikiranku. Wajah dan suara terngiang-ngiang di kepala dan telingaku. Aku bahkan mencari informasi tentangnya, ia pindah kesini sejak sebulan yang lalu, sangat tidak terduga, bukan?" Sabelle bersidekap. "Berarti ada yang bermasalah dengan dirimu. Kau baru saja melihatnya dan dia sudah membuatmu gila." "Kau tidak akan bilang seperti itu jika kau bertemu dengannya, Sabelle," kesal Teressa dan gemas dengan Sabelle yang tidak percaya dengannya. "Oh, ya? Aku bahkan menolak pria di cafe yang kau bilang hot itu," papar Sabelle. Teressa menggeleng. "Kali ini beda, perbandingannya sangat jauh." Sabelle menghela napas dan menatap Teressa lelah. "Lalu siapa penyanyi terkenal yang kau bilang tampan dan seksi hingga membuatmu berpaling dari si manis Brian?" Teressa tersenyum. "Dia bernama Peter Clark." Sabelle terdiam. "Ya, dia adalah pria tertampan dan terseksi yang ada di dunia ini," batin Sabelle.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN