"Hai, Nona-nona," sapa Damien pada Teressa dan Sabelle.
"Oh, hai," balas Teressa dengan nada centil, ia lalu menyenggol Sabelle dan berbisik, "Siapa pria yang sangat tampan ini, Sabelle?"
Sabelle yang masih belum sadar dari perkataan Teressa tadi kini terlihat bingung. "Apa katamu?" tanya Sabelle.
Teressa tersenyum kecut. "Perkenalkan aku padanya," pinta Teressa.
"Oh, ya. Damien ini Teressa dan Teressa, ini Damien."
Damien mengulurkan tangannya pada Teressa yang disambut baik wanita itu.
"Astaga, Sabelle. Tangannya sangat besar, aku menyukainya dengan mudah," bisik Teressa setelah melepaskan tangannya dari Damien.
Sabelle memutar kedua bolanya, tidak percaya apa yang dikatakan Teressa barusan. Cepat sekali wanita itu menyukai seorang pria, seperti membalikkan telapak tangan.
Teressa memperhatikan Sabelle dan Damien bergantian lalu mengulum senyumnya. "Apa kalian berpacaran?" tanya Teressa.
Sabelle langsung saja menggelengkan kepalanya dengan cepat, sedangkan Damien tertawa kecil. Teressa semakin ingin menggoda Sabelle yang ia rasa sangat lucu untuk dilihat.
"Padahal ia sangat cocok, untukmu Sabelle. Sayang sekali kalian tidak berpacaran," ucap Teressa dan berpura-pura sedih.
"Jangan berkata yang tidak-tidak Teressa atau aku akan memberitahukan Brian jika kau menjadikannya pilihan kedua, kau tahu ia bisa sedih karena itu, 'kan?" Sabelle membalas telak sehingga Teressa tidak bisa membalasnya.
Dengan lesu Teressa berkata, "Kau menang, Sabelle."
Sabelle tertawa mendengarnya lalu menatap Damien yang ia merasa sedari tadi melihatnya.
"Ada apa, Damien?" tanya Sabelle.
Damien menggeleng. "Tidak ada apa-apa," jawabnya sembari tersenyum.
"Lalu mengapa kau menatapku seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Entahlah, aku tidak tahu karena kau yang melakukannya."
"Aku?" tunjuk Damien pada dirinya sendiri.
Sabelle mengangguk. "Ya, kau. Berhenti berkelit dan katakan saja, apa ada yang aneh padaku?"
"Tidak ada."
Teressa merasa kesal karena merasa tidak ada oleh kedua orang yang sedang berbicara itu. "Jangan saling menggoda di depanku, oke. Brian sedang tidak ada disini, aku bisa saja iri dengan kalian."
Sabelle menggeleng. "Kami tidak saling menggoda, Teressa," koreksinya.
"Jadi hanya kau yang menggoda?"
Sabelle mendesah lelah dan mengurut kepalanya, sedangkan Damien tertawa mendengar hal itu. Ia merasa terhibur akan hal ini.
"Terserahlah, apa kau tidak punya urusan lain? Brian tidak mencarimu?" tanya Sabelle dan lebih tepatnya mengusir Teressa secara halus.
Teressa langsung saja menepuk kepalanya saat teringat sesuatu. "Kau benar, Brian menungguku disana. Aku lupa! Kalau begitu sampai jumpa, Sabelle, Damien. Jangan saling menggoda di depan orang lain lagi, oke?" sahutnya sembari berlari.
"Teressa!" kesal Sabelle dan ia merasa malu dengan Damien.
"Maaf, dia memang seperti itu, Damien."
Damien menggeleng, lalu berjalan menuju pintu toko dan membalas, "Tidak apa, lagian kita memang saling menggoda, 'kan?"
Sabelle terkejut bukan main, ditambah Damien langsung saja masuk ke tokonya tanpa menjelaskan lebih lanjut atas apa yang ia katakan. Membuat Sabelle tidak mengerti dan bingung disaat bersamaan.
Sabelle akhirnya ikut masuk ke dalam toko. Tampak Damien telah duduk di samping Shalter. Shalter juga terlihat senang dengan adanya Damien disana. Sabelle mulai mendekati mereka dan duduk di sisi Shalter yang kosong.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Sabelle.
Shalter dan Damien terlihat saling menatap satu sama lain dan setelah itu menggeleng serempak. Hal itu sukses membuat Sabelle kesal dan menatap mereka berdua bergantian.
"Apa maksud dari gelengan itu? Tidak ada atau tidak mau memberitahu?"
Damien tersenyum kecil menatap Sabelle dan berkata, "Ini urusan pria, Sabelle. Wanita tidak boleh ikut campur, benarkan, Shalter?"
Shalter mengangguk.
"Bisa-bisanya kalian merahasiakan sesuatu dariku! Tidak bisakah kalian mengatakannya? Jangan membuatku penasaran," mohon Sabelle yang menimbulkan gelak tawa dari keduanya.
"Mommy, ini urusan pria. Mengapa kau tidak mengambilkan Damien minuman?"
Sabelle tampak tidak percaya atas apa yang ia dengar. "Shalter, kau menyuruh dan mengusirku? Astaga hatiku sakit sekali," lirih Sabelle dengan dramatis.
"Astaga, Mommy. Kau tahu aku tidak bermaksud seperti itu, bukan?"
Sabelle tersenyum. "Tentu saja, Shalter. Mommy hanya bercanda, kalau begitu Mommy akan meninggalkan kalian berdua untuk membicarakan urusan pria, sementara itu Mommy akan membuatkan minuman. Seperti itu, bukan?"
Shalter mengangguk. "Ya."
"Minuman apa yang kau inginkan, Damien?" tawar Sabelle.
"Apa saja asal dibuat olehmu," balasnya.
"Kalau begitu mau coba jus sayuran?"
"Kau bercanda, Sabelle?"
Sabelle menggeleng dengan polos. "Tidak, kau sendiri yang bilang apapun asal dibuat olehku, 'kan?"
"Ugh, kalau begitu kopi saja."
Sabelle tertawa. "Baiklah, kopi."
Sabelle langsung bangkit dari dari duduknya untuk menuju dapur dan membuatkan Damien minumannya. Sedangkan Damien dan Shalter kembali melanjutkan pembicaraan mereka.
"Bagaimana? Ingin ikut tanding bola besok dengan timku?" tawar Damien.
Shalter terlihat berpikir lalu bertanya, "Apakah tidak apa jika kau mengajakku? kalian bisa saja kalah."
Damien mencibir. "Ayolah, Shalter. Ini bukan pertandingan resmi, kita hanya bermain di taman dengan lawan. Menang kalah itu tidak terlalu penting asal kau tidak menyerah."
Shalter langsung mengangguk dengan cepat. "Aku mau!"
"Bagus! High five!"
Plak!
"Kalau begitu, kapan kita latihan?" tanya Shalter.
"Nanti sore, karena acaranya besok."
"Wow, itu sangat cepat." Terkejut Shalter.
Damien mengangguk. "Tapi kita telah berlatih, bukan. Setiap satu miggu tiga kali. Jadi percaya dirilah."
Shalter mengangguk mantap. "Aku akan berusaha!"
"Good, boy!"
Sabelle membawa nampan berisikan minuman Damien dan meletakkannya di atas meja. "Minumanmu, Damien."
"Terima kasih, Sabelle."
"Ya, tidak apa. Jadi apa yang telah kalian bicarakan saat aku pergi?" tanya Sabelle.
"Sesuatu, mengapa kau terus saja penasaran, Sabelle?" usik Damien.
"Tentu saja, kalian sedang menyembunyikan sesuatu dariku."
"Memang," balas Damien singkat membuat Sabelle kesal.
Bunyi bell, menghentikan pembicaraan mereka dan Sabelle langsung saja menyambut kedatangan pelanggannya lalu, meninggalkan Shalter dan Damien.
"Kalau begitu cepat selesaikan pekerjaan rumahmu, aku akan membantu Mommymu, dulu."
Shalter mengangguk dan semakin semangat untuk menyelesaikan tugasnya.
Damien mendekati Sabelle dan berdiri di sampingnya, itu membuat Sabelle terkejut dan terlonjak ke belakang. Hal itu mengundang tawa Damien.
"Bisakah kau bersuara? Aku hampir kehilangan jantungku, Damien!" gerutu Sabelle.
"Maafkan aku, aku tidak tahu kau akan seterkejut itu."
"Ya, tentu saja. Mengapa kau disini?"
"Hanya ingin membantumu, siapa tau kau lelah."
Sabelle menggeleng. "Aku belum lelah."
Damien berjalan lebih dekat lagi dengan Sabelle hingga tubuh mereka hampir saja berdempetan dan itu membuat Sabelle gugup hingga membuatnya mundur ke belakang tapi Damien menahan tubuhnya hingga Sabelle tidak bisa kemana-mana.
"Ap-apa yang kau lakukan Damien?"
Tangan Damien terangkat dan menuju wajah Sabelle. Jantung Sabelle mengetuk kuat hingga dadanya berdebar tidak wajar. Tangan Damien turun ke pelipis Sabelle dan mengambil sesuatu disana yang ternyata sebuah kelopak bunga kecil.
Setelah itu, Damien mundur. "Aku hanya ingin mengambil ini," ucapnya dan tersenyum kecil pada Sabelle.
Sabelle merasa sangat malu dan hendak menguburkan dirinya dalam-dalam. Ia tidak tahu jika Damien hanya ingin mengambil bunga itu, ia malah berpikiran lain. Apa ini karena telah lama sendiri hingga membuatnya mudah berpikiran yang tidak-tidak. Kau memalukan dirimu sendiri, Sabelle.
"Oh, te-terima kasih," balas Sabelle dan membalikkan badannya ke arah depan.
Damien tertawa kecil dan Sabelle dapat mendengarnya hingga membuatnya tambah malu.
"Aku tadi membicarakan sesuatu pada Shalter."
"Apa itu?" tanya Sabelle tanpa berani menatap Damien.
"Mengapa kau tidak melihatku? Tenang saja aku tidak melakukan hal itu lagi," kekeh Damien.
Sabelle lalu menatap Damien dengan rasa yang masih malu. "Apa yang kalian bicarakan?"
"Aku akan membawanya ikut pertandingan basket di taman besok dan dia setuju. Kami berpartisipasi dalam pertandingan besok. Jadi aku mau minta izinmu untuk itu," jelas Damien.
Sabelle membalikkan badannya untuk menatap Shalter yang tengah fokus mengerjakan pekerjaan rumahnya.
"Ya, aku mengizinkannya. Dia terlihat bahagia sekarang berkatmu."
Damien tersenyum menatap Sabelle yang menurutnya sangat cantik. "Ya, itu karena kita semua. Aku juga ingin kau menonton pertandingan kami besok."
Spontan, Sabelle menatap Damien. "Besok?"
"Ya, mungkin terlalu cepat tapi mau bagaimana lagi."
Sabelle berpikir dahulu. Kalau pertandingannya besok berarti dia tidak akan membuka tokonya, lalu apa ia memiliki pesanan untuk esok hari? Sabelle langsung membuka buku catatan yang ada di atas meja etalase dan melihat jadwal besok, ia menemukan pengiriman bunga tulip besok.
Dengan menyesal, Sabelle berkata, "Kurasa aku tidak bisa, ada pengiriman bunga besok hari."
Damien mengangguk kecil. "Yasudah, tidak apa kalau begitu."
"Tapi aku akan berusaha datang, jika pengirimannya datang cepat aku akan langsung menutup tokoku dan menemui kalian," ucap Sabelle.
"Baiklah, aku akan sangat menantikan hal itu besok."
"Kau?"
"Ah, bukan. Maksudku Shalter," ralat Damien dan ia merasa malu karena ketahuan jika ia ingin melihat Sabelle.
Sabelle tertawa kecil. "Tenang saja, aku akan berusaha datang besok."
Damien ikut tersenyum melihat senyuman Sabelle. Ia tidak sabar melihat senyuman itu menyapanya kembali besok, apakah masih mendebarkan hatinya seperti saat ini?