"Shalter, jangan lupakan sepatumu!" ingat Sabelle saat Shalter telah bersiap untuk pergi.
Shalter membalikkan badannya, menatap Sabelle dengan heran. "Tentu saja aku langsung memakainya, Mom. Bagaimana aku bisa lupa dengan itu?"
Sabelle menepuk dahinya, betapa konyolnya dia mengingatkan hal itu pada Shalter. Tentu saja ini bukan sekolah jadi Shalter pasti langsung memakai sepatu basketnya. Sabelle memang terlihat kacau pagi ini.
Sabelle mendekati Shalter dan mengecup puncak kepalanya. Betapa sayangnya ia pada putranya ini dan ia begitu konyol karenanya.
"Maafkan Mommy. Aku pikir kau pergi ke sekolah, sweetheart."
Shalter tersenyum menenangkan. "Mom, aku sudah beranjak remaja, aku mengerti untuk mengurus diriku sendiri sekarang," ucapnya.
"Maafkan aku. Setiap aku melihatmu kau masih terlihat Shalter kecil bagiku," balas Sabelle sembari menepuk lembut kepala putranya.
"Shalter!" teriak seseorang dari luar.
Shalter langsung saja menatap Sabelle dan berkata, "Aku pergi dulu, Mom, Damien telah datang."
Sabelle mengangguk. "Kuharap kau menang, Shalter."
Shalter memberikan senyuman sombong yang membuatnya terlihat menggemaskan. "Tentu saja, Mommy! Aku akan memberikanmu hadiahnya jika aku memenangkannya," terang Shalter.
Sabelle mengantari Shalter sampai halaman, dimana Damien terlihat menunggu disana sembari memainkam bola basketnya.
Baju Damien tampak casual dari biasanya, karena ia terlalu sering memakai jasnya yang mana tentu saja karena ia bekerja. Tapi, melihat Damien dengan kaos lengan pendek dan celana pendek selututnya tentu saja membuat Sabelle terpana, Damien terlihat menggiurkan dengan itu.
"Hai, Damien!" sapa Sabelle saat telah sampai di depan pria itu.
"Oh, hai, Sabelle!" Damien lalu menatap Shalter. "Hai, kid! Are you ready?"
Shalter mengangguk dengan pasti. "Tentu saja, kau sudah mengajariku banyak trik semalam," balas Shalter yang menimbulkan senyum di bibir penuh Damien.
Damien lalu menatap Sabelle. "Kalau begitu kami pergi dulu, Sabelle. Jangan lupakan untuk melihat kami kalau bisa, kami akan berusaha memenangkan hadiahnya untukmu," jelas Damien sembari mengerlingkan matanya.
Sabelle bersidekap. "Akan aku usahakan datang, awas saja jika kalian tidak memenangkannya," ancam Sabelle walau sangat terdengar jika ia bercanda.
"Well, itu tergantung keberuntungan. Apalagi jika melihatmu disana," balas Damien, terlihat sekali jika ia menggoda.
Menyembunyikan senyumnya, Sabelle memilih untuk mengedikkan bahunya. "Kita lihat saja nanti, mungkin saja kedatanganku bisa menjadi keberuntungan bagi kalian."
Damien mengulum senyumnya. "Baiklah, kalau begitu kami harap kau datang, keberuntungan kami."
"Akan kuusahakan. Jangan lupa untuk melakukan pemanasan, Shalter."
"Tentunya, Mommy. Ayo, Damien, aku tidak sabar melihat pertandingan pertamanya."
"Baiklah. Aku akan mengirimkanmu pesan jika tiba giliran kami bermain, Sabelle," ucap Damien yang dibalas anggukan.
"Semangat untuk kalian!"
"Terima kasih, Mommy. Ayo, Damien, kau terus saja berbicara dengan Mommy," ucap Shalter dan menarik tangan Damien menjauh dari Sabelle.
Sabelle terkekeh kecil melihat itu, tangannya melambai saat kedua orang itu telah menjauh darinya. Setelah tidak terlihat, Sabelle kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk pergi ke tokonya.
Hari ini, Sabelle mengikat rambut coklatnya dan memakai baju biasa saja karena ia tahu jika Damien tidak akan ke tokonya. Hei, itu bukan seperti yang kalian pikirkan, hanya saja ia merasa malu jika bertemu dengan Damien yang tampak rapi sedangkan dirinya terlihat kucel.
Sabelle membuka tokonya dan membalikkan papan yang bertanda tutup menjadi terbuka. Ini masih jam delapan pagi dan Sabelle sudah terlalu semangat untuk menjalani hari ini. Lihat saja ia langsung memakai apron coklatnya dan mulai menyemprotkan air pada bunganya. Jangan lupakan senyuman yang terus menempel di bibirnya seolah senyuman itu ia lakukan setiap hari.
Bunyi bell pada pintu tokonya menandakan seseorang masuk. Sabelle yang tadi sedang menyirami tanamannya kini mulai berjalan ke counternya dan siap melayani pembelinya tersebut.
Nyonya Hawkins yang mana pelanggan setianya tampak fresh dengan setelan kerjanya. Wanita itu tampak menatap Sabelle heran, namun wanita itu juga tersenyum.
"Ada apa denganmu hari ini, Sabelle?" tanya Nyonya Hawkins dengan nada yang kita tahu penasaran.
Sabelle melihat dirinya dan tidak menemukan yang aneh, lalu ia kembali menatap wanita itu. "Tidak ada apa-apa, Nyonya Hawkins. Mengapa kau bertanya seperti itu?"
"Bagaimana tidak jika aku sudah melihatmu terus tersenyum pagi ini. Apa ada berita bahagia atau kau menemukan seseorang, hm?"
"Ti-tidak, Nyonya Hawkins. Ak-aku tidak menemukan siapa pun kecuali pria itu," gugup Sabelle.
Nyonya Hawkins tertawa. "Kau sangat polos, Sabelle. Lalu, siapa pria itu?"
Sabelle langsung memegangi lehernya yang terasa panas, bukan hanya lehernya tapi begitu juga dengan pipi dan telinganya. Ia lalu menatap sekeliling dan tampak sekali jika ia menyembunyikan sesuatu.
"Tidak ada, aku hanya bertemu dengan Shalter tadi," kilahnya.
Nyonya Hawkins tampak tersenyum. "Apakah pria itu tampan? Apa kau menyukainya?" tanya wanita itu.
"Ya, dia tampan. Ta-tapi aku tidak menyukainya," jawab Sabelle spontan.
Lalu dapat terdengar gelak tawa Nyonya Hawkins. "Kau tidak dapat berbohong, Sabelle. Jelas jika kau sedang menyukai seseorang, bukan?"
"Ti-tidak. Aku tidak sedang menyukai siapa pun, Nyonya."
Nyonya Hawkins mengulum senyumnya, mencoba menahan senyuman yang tidak bisa ia tahan agar tidak membuat Sabelle tidak nyaman. Entah kenapa hatinya menghangat saat tahu jika Sabelle bertemu dengan seorang pria, seolah Sabelle merupakan anaknya sendiri.
"Kalau begitu, bunga apa yang kau inginkan, Nyonya Hawkins? Kurasa kau baru saja membeli bunga kemarin," alih Sabelle dan berharap wanita tua itu tidak membahas hal tadi lagi.
"Aku hanya ingin sekedar menyapa, Sabelle, karena kau terlihat bercahaya dari luar. Apa aku tidak boleh menyapamu?"
Sabelle langsung menggeleng cepat. "Tentu saja, boleh. Kalau begitu tunggu sebentar," ucap Sabelle dan ia berjalan ke arah belakang counter, dimana ia mengambil sebuah mawar putih dan membungkusnya dengan baik, lalu ia membawanya ke counternya.
"Ini untukmu, Nyonya Hawkins. Semoga harimu menyenangkan," ucap Sabelle tulus sembari memberikan bunga itu.
Nyonya Hawkins menerima bunga itu dan hatinya menghangat dengan cepat. "Terima kasih banyak, Sabelle. Mawar yang indah untuk hari yang indah," balas wanita itu.
Sabelle mengangguk. "Kuharap kau terus menjadi pelanggan setiaku, Nyonya Hawkins."
"Tentu saja, kalau begitu aku pergi dulu, Sabelle. Senang berbicara denganmu."
"Aku juga," balas Sabelle.
Nyonya Hawkins melangkahkan kakinya keluar dari toko tersebut dan berharap di dalam hatinya, semoga saja Sabelle menemukan pria yang tepat untuk kebahagiaanya.
Sabelle kembali menyirami tanamannya dan bahkan memperbaiki etalasenya. Bunganya ia susun rapi di dalam vas dan beberapa yang layu ia potong untuk membuatnya kembali cantik. Beberapa pelanggan juga datang dan ia melayani mereka dengan baik.
Tidak sadar sibuk dengan kegiatanya, Sabelle lupa waktu. Saat ia melihat jam yang tergantung di dinding, itu sudah jam sepuluh pagi. Sabelle lalu mengecek ponselnya dan mendapatkan pesan dari Damien lima menit yang lalu, berbunyi, "Kami akan bermain 30 menit lagi."
Sabelle mulai cemas dan ia melihat jadwalnya yang mana bunga tulip yang ia pesan belum datang. Ia memohon dalam hati agar dapat menonton pertandingan itu, karena ia keberuntungan mereka, setidaknya itulah yang Damien katakan padanya tadi.
Bunyi bell membuat Sabelle menoleh dan mendapatkan seorang pengirim bunga dengan buket yang berisi bunga tulip di dalamnya. Pengirim itu meletakkannya di atas meja.
"Pesananmu, Nona Sabelle," ucap pengirim itu.
"Terima kasih, telah mengantarnya."
"Sama-sama. Kalau begitu aku permisi dulu, Nona." pengirim itu langsung saja meninggalkan toko.
Sabelle dengan cepat memasukkan bunga tulip itu ke dalam vas bunga dan menyusunnya. Lalu ia melihat jam di dinding yang sudah menunjukkan lewat dua belas menit. Sabelle segera menyusun barangnya dan menutup tokonya. Ia membalikkan papan yang menunjukkan tutup dan ia menulis di papan itu dengan kapur jika ia akan buka siang nanti.
Sabelle berlari dengan cepat menuju rumahnya, mengganti bajunya dengan gaun santai selutut dan ia melepaskan ikat rambutnya dan memilih mengikalkan bawah rambutnya setelah itu ia memakai make up dikit di wajahnya dan memberinya sedikit di tubuhnya. Setelah itu barulah ia beranjak pergi ke pertandingan itu.
Dengan susah payah, Sabelle berusaha masuk ke dalam kerumunan dan akhirnya tiba di depan kerumunan tersebut yang mana menonton acara pertandingan tersebut. Tampak Damien dan Shalter telah bermain, tentu saja ia telat karena berdandan dan bahkan mengikalkan rambutnya.
Sabelle mencoba mencari spot untuk membuatnya dapat menonton dengan baik, saat ia menemukan spot itu, langsung saja ia duduk dan menonton pertandingan mereka.
Damien tampak panas dengan kaos yang sudah basah oleh keringatnya, jangan lupakan rambutnya yang pendek kini terlihat messy karena ia terus saja mengusapnya. Astaga, Sabelle terasa tersipu saat Damien mengusap wajahnya dengan kaosnya sehingga membuat perut enam kotaknya terlihat menggiurkan.
Sabella tidak melupakan Shalter yang tersenyum senang saat berhasil memasukkan satu tembakan pada ring lawannya dan ia langsung bertepuk tangan dengan Damien. Kali ini Shalter terlihat amat bahagia dan Sabelle senang akan hal itu, sudah lama sekali Sabelle tidak melihat tawa yang sampai ke mata milik Shalter.
Damien tengah mencuri tatap ke arah penonton dan saat matanya mengelilingi, ia menemukan Sabelle sedang duduk di sekitan penonton lainnya, Damien lantas tersenyum lebar dan melambaikan tangannya yang dibalas oleh Sabelle. Tidak lupa, Damien juga memberitahu Shalter sehingga anak itu dapat melihat ibunya.
"Aku percaya dengan kalian!" sorak Sabelle yang membuat Shalter tersenyum lebar.
Mereka mulai kembali ke posisi masing-masing dan Sabelle tersenyum menatap mereka. Hingga beberapa saat ia merasa butuh ke toilet. Sabelle mulai bangkit dan meninggalkan lapangan itu, lalu mencari toilet yang berada di sekitar sana.
Mungkin karena kejauhan mencari, Sabelle malah tersesat di salah satu bagian taman dan ia terus saja melajukan jalannya sampai tidak sengaja ia menatap seseorang yang tidak pernah ia ingin lihat lagi dalam hidupnya.
Ya, itu Peter Clark yang sedang bersama manajernya dan tertawa di tepi danau. Pria yang meninggalkannya dan hidup dengan bahagia tanpa dirinya dan Shalter. Pria jahat.