CHAPTER 15

1269 Kata
Sabelle memilih memutar tubuhnya. Ia tidak ingin bertemu dengan Peter atau sekedar bertatap mata, ia masih belum sanggup untuk itu. Oleh karena itu ia berjalan menjauh dari mereka dan berharap Peter tidak menyadari hal itu karena Sabelle benar-benar tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika bertemu dengan pria itu. Niatnya yang mencari toilet tiba-tiba urung dan ia tidak merasakan lagi jika ia ingin buang air kecil. Hanya karena bertemu Peter, ia merasa mati rasa bahkan untuk berpikir. Begitu besar luka yang ditorehkam Peter padanya. Sabelle kembali ke lapangan dan duduk di tempatnya sembari menatap pertandingan yang sedang berjalan. Semua orang terlihat berusaha dan bekerja keras dalam pertandingan yang tidak resmi itu, Sabelle dibuat heran dengan hadiah apa yang diberikan hingga memnuat mereka berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan pertandingannya. Gara-gara melihat orang bekerja keras, Sabelle kembali terlempar ke ingatan masa lampau yang mana ia menemani Peter dari awal, dari hanya memiliki sebuah gitar usang hingga ia memiliki sebuah studionya sendiri. Sabelle ingat, masa-masa yang ia habiskan menemani dan membantu Peter untuk memulai karirnya yang cemerlang, ia ingat betapa sulitnya ia untuk membuat Peter tetap semangat dengan mimpinya. Tapi itu masa lalu, bukan? Berarti itu tidak ada artinya lagi kini, mungkin itu kesalahannya sendiri karena terlalu peduli kepada Peter dan membuat Peter tidak peduli padanya. Tapi tenang saja, itu semua tidak apa. Sabelle rela menghabiskan waktunya dan pengorbanannya untuk Peter, setidaknya itu membuatnya ikut bahagia saat itu, walau kini tidak lagi. Sabelle yang dulu memang tergila-gila oleh suara Peter dan sangat berpikir dunia harus mendengarnya juga, hingga ia rela melakukan pengorbanan itu. Setidaknya itu setimpal dengan apa yang ia dapatkan, karena suara Peter dapat menenangkannya dari mimpi buruk, walaupun ia harus mendengarkan lagu Peter diam-diam agar tidak ketahuan Shalter. "Sabelle!" Sabelle tersentak saat panggilan itu membuatnya tersadar dari lamunannya. "Kau tidak apa?" tanya Damien yang ternyata sudah berada di depannya bersama Shalter. Sabelle menggeleng dengan cepat dan tidak lupa untuk menunjukkan senyumannya. Lalu ia menatap Damien dan Shalter bergantian. "Sudah selesai?" tanya Sabelle. Shalter mengangguk. "Kami kalah, Mom. Maafkan aku karena tidak dapat memenangkan hadiah itu," ucap Shalter dengan sedih. Sabelle langsung membawa Shalter ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepala putranya itu. "Aku tidak apa, Shalter. Melihat kau bermain dipertandingan itu saja membuatku sangat bahagia," ucap Sabelle menenangkan Shalter. Damien yang tadinya berlutut, kini mengambil duduk di samping Sabelle dan mengelap wajahnya dengan handuk yang ia bawa. Tampak peluh keringat membasahi kaos Damien bahkan rambutnya ikut terlihat basah. Sabelle membuka tas yang ia bawa dan mengeluarkan minuman ion untuk Shalter dan Damien. Sabelle memberikan kepada Shalter dahulu dan barulah kepada Damien. "Terima kasih," balas Damien dan langsung meminumnya. Sabelle yang melihat Damien minum di sampingnya dengan gentle membuat ia susah untuk melepaskan pandangannya. Mengapa Damien terlihat sangat-sangat panas bahkan dari jarak yang dekat. "Mom, bisa bukakan untukku?" pinta Shalter yang membuat Sabelle dapat menhalihkan pandangannya. "Tentu saja, Nak. Ini dia," ucap Sabelle dan memberikan kembali minuman itu pada Shalter. Sabelle lalu kembali menoleh pada Damien dan terkejut saat Damien sedang menatapnya. Lalu, Damien terkekeh kecil karenanya. "Kau terkejut, huh?" goda Damien. "Ka-kau terlalu dekat, wajahmu," gugup Sabelle dan langsung menunduk. "Benarkah?" "Ya." Damien lalu beringsut sedikit demi kenyamanan Sabelle membuat Sabelle tersenyum akan pengertian pria itu padanya. Sabelle lalu kembali mengangkat kepalanya dan menatap Damien. "Ada apa denganmu tadi? kau terlihat tidak fokus menonton kami dan seperti melamunkan sesuatu," tanya Damien penasaran. Sabelle menggeleng kecil. "Tidak ada, aku hanya berpikir dimana toilet karena aku tidak menemukannya setelah berkeliling," kilah Sabelle. "Masih ingin ke toilet? Aku bisa mengantarmu," tawar Damien yang membuat Sabelle menggeleng cepat. "Tidak usah, aku merasa tidak butuh ke toilet lagi." "Baiklah kalau begitu." Sabelle mengangguk dan menatap putranya yang tengah tertidur di pahanya, terlihat lelah akan pertandingan tadi. "Kau akhirnya datang, tapi kami tidak berhasil menang, maaf." "Ah, tidak. Itu tidak apa-apa, sungguh. Toko juga lumayan sepi jadi aku bisa datang kemari," bohongnya. "Begitu, lega mendengarnya." "Kau ingin langsung pulang atau--" "Tidak, aku belum mau pulang," potong Damien cepat. "Oh, baiklah." "Apa kau ingim pulang?" tanya Damien balik. Sabelle menggeleng dengan cepat. "Tidak, aku masih ingin disini," balasnya lalu memilih menatap hal lain untuk menyembunyikan wajah malunya. Damien tersenyum. "Baiklah, kalo begitu mari kita nikmati pertandingan finalnya." Shalter yang tadinya berbaring di paha Sabelle kini mulai bangkit dan duduk diantara Sabelle dan Damien, memisahkan dua orang itu dari jarak dekat mereka dan hal itu membuat Damien sedikit jengkel tapi bahagia setelahnya, karena mereka terlihat seperti keluarga. "Mom, aku lapar," sahut Shalter. "Oh, ya? Kau ingin aku membelikanmu sesuatu?" tanya Sabelle dan Shalter mengangguk. "Oke, kalau begitu tunggu sebentar." Sabelle hendak berdiri namun ditahan oleh Damien. "Biar aku saja," ucapnya. "Kau yakin? Apa kau tidak kelelahan?" "Aku sangat yakin, kalau begitu tetap duduk. Aku akan membelikan sesuatu," balas Damien dan segera bangkit dan berjalan menuju sebuah stand makanan. Sembari menunggu pesanannya, Damien melihat ke sekeliling dan mendapatkan kerumunan kecil berada di jarak sepuluh meter darinya. Terlihat seorang pria sedang kesusahan keluar dari kerumunan itu. Saat dilihat baik-baik Damien merasa familiar dengan wajah itu hingga membuatnya berpikir keras siapa pemilik wajah itu. Damien lalu menatap spanduk besar yang berada di taman itu dan segera sadar jika pria itu adalah penyanyi terkenal, pantas saja terlihat familiar di ingatanya. "Ini pesanannya, Tuan. Semuanya $20." Damien langsung membayar pesanannya dan berjalan menjauh dari tempat itu tapi ia masih melihat sesekali ke arah kerumunan yang semakin membesar. Setelah itu ia kembali berjalan menuju lapangan. Damien duduk di tempatnya tadi dan memberikan Shalter wafle coklat, sedangkan Sabelle ia berikan wafle strawbery, miliknya sama dengan Shalter coklat juga. "Aku pernah baca jika habis berolahraga, bagusnya memakan makanan yang manis," sahut Damien. "Benarkah?" tanya Sabelle. Damien mengangguk ragu. "Kalau tidak salah." "Oh, Ya. Aku tadi melihat kerumunan kecil yang terus membesar di ujung sana. Tampaknya seorang penyanyi terkenal berada disana." Sabelle langsung terdiam. Tentu saja ia tahu siapa yang sedang dibicarakan oleh Damien, itu adalah Peter Clark, suaminya atau mantan suami, entahlah, mereka belum bercerai sebelumnya. "Oh, begitu," jawab Sabelle tidak minat. "Apakah wafle enak? Kau terlihat tidak semangat memakannya," tanya Damien. Sabelle langsung menggigit besar wafle tersebut. "Aku menyukainya," ucapnya. Damien tertawa. "Aku bercanda, Sabelle." "Benarkah?" "Ya, tentu saja." "Kau bisa memberikannya padaku jika kau tidak menginginkannya, Mom," sahut Shalter. "No, Shalter. Kau terlalu banyak makan, biarkan Mommymu menikmati makanannya." "Tidak apa, Damien. Aku memang sedikit kenyang." Sabelle lalu memnotong waflenya menjadi setengah bagian lalu memberikannya pada Shalter. "Ini untukmu, Sweetheart." "Terima kasih, Mommy!" "Kau terlalu memanjakannya, Sabelle," komentar Damien tidak serius. "Well, tidak ada yang bisa kumanjakan selain dia, Damien." "Tentu saja ada." Sabelle menatap Damien bingung. "Siapa?" "Tentu saja aku," jawabnya yang membuat pipi Sabelle memerah padam. "Astaga, kau tersipu, Sabelle." "Ti-tidak," kilahnya. "Kau cantik saat tersipu." Sabelle terkejut. "A-apa?" "Kau cantik," ucap Damien dengan tatapan yang mengunci kedua mata Sabelle hingga membuat keduanya terdiam. Entah datang darimana tapi suasana tenang dan angin kecil mulai membelai mereka membuat suasana yang terasa menjadi intens. "Aku?" tanya Shalter. "Bagaimana denganku, apa aku tampan, Mien?" Pertanyaan Shalter tentunya menghancurkan momen romantis yang sedang berlangsung. Jika ini kartun mungkin terdapat cenutan di dahi Damien karena kesal dengan Shalter yang menghancurkan suasana yang ia bangun dengan mudahnya. "Tentu saja kau tampan, Shalter. Tapi tidak dapat mengalahkanku," jawab Damien yang membuat Shalter kesal. "Tidak mungkin. Kau sudah tua Mien, jelas-jelas akulah yang lebih tampan darimu," balas Shalter. "Apa? Bisa kau ulangi Shalter?" "Aku lebih tampan darimu karena aku masih muda, wlek!" Shalter menjulurkan lidahnya. "Kemari kau, bocah nakal!" seru Damien. Shalter langsung berlari ke belakang tubuh, Sabelle, berlindung pada Ibunya. "Jangan pikir kau bisa berlindung di belakang sana, Shalter," peringat Damien. "Tentu saja aku bisa, Mien jelek!" balas Shalter. "Hahahaha," tawa Sabelle membuat Damien dan Shalter terdiam. "Astaga, kalian lucu sekali," ucap Sabelle sembari menghapus air mata yang jatuh di sudut matanya karena terlalu semangat tertawa. Mendengar tawa Sabelle tentunya membuat hati Damien dan Shalter bergetar. Lebih tepatnya Shalter, karena ia tahu, Mommynya tidak pernah tertawa seperti itu sejak tiga tahun yang lalu dan ini yang pertama kalinya. Shalter sungguh senang akan hal itu karena ia bisa membuat Sabelle ikut bahagia dan tertawa kembali, ia berharap dapat membuat Sabelle tertawa lagi, nantinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN