Sabelle menjalankan mobilnya, membelah lalu lintas untuk dapat bertemu dengan ibunya. Ya, Sabelle sedang ingin mengunjungi orang tuanya bersama Shalter. Rumah mereka tidak terlalu jauh sampai harus memakai alat transportasi hanya saja Sabelle akan pergi nantinya setelah berkunjung.
Mereka telah sampai di depan rumah Emily. Sabelle memakirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut lalu melepaskan seatbeltnya. Sabelle lalu menatap Shalter yang tengah menatap rumah Nannynya melalui jendela mobil.
"Ayo, turun," ajak Sabelle dan keluar dari mobil tersebut.
Sabelle mendekati rumah tersebut dan mengetuk pintu yang bercat coklat tua itu. Shalter tampak berdiri di belakang Sabelle dan menatap ke sekelilingnya.
Pintu terbuka, wajah bahagia Emily menyambut mereka dengan hangat. "Kalian datang?"
Sabelle mengangguk dan memeluk Emily erat. "Tentu saja, Bu. Dimana Ayah?" tanya Emily saat pelukan mereka terlepas.
"Seperti biasanya sibuk dengan bengkelnya," jawab Emily sembari memeluk Shalter.
"Di hari minggu? Apa tidak ada kata libur bagi Ayah?"
"Seperti kau tidak tahu dia saja, ayo masuk!"
Sabelle dan Shalter memasuki rumah itu dan mengambil duduk di sofa ruang tengah. Sedangkan Emily ke belakang untuk membuat minuman dan membawakan cemilan ringan.
"Aku merindukan rumah ini, Mom. Terlihat nyaman dan tenang," sahut Shalter saat matanya mengelilingi ruangan tersebut.
Sabelle mengangguk, membenarkan perkataan Shalter dan ia langsung berdiri untuk membantu ibunya di belakang. Sabelle menatap ibunya dari kitchen bar, lalu tersenyum karena beruntung memiliki Ibu seperti Emily yang hangat pengertian.
"Apa yang kau senyumkan, Sabelle?" tanya Emily.
"Tidak ada. Aku hanya merasa beruntung karena memilikimu, Bu."
Hati Emily menghangat dan ia tersenyum karena itu. "Kemari, aku ingin memelukmu lagi," suruhnya dan Sabelle memutari kitchen bar itu untuk dapat memeluk ibunya.
"Ah, aku ingin memeluk Ayah juga, tapi ia sangat susah untuk ditemui," gumam Sabelle.
Emily melonggarkan pelukannya agar dapat menatap Sabelle. "Lalu kenapa kau tidak main ke bengkelnya? Kau tahu dia sangat sulit untuk lepas dari sana, jadi lebih baik kau menhmghampirinya."
"Benarkah? Kalau begitu, Ibu mau ikut bersama kami?" tawar Sabelle.
Emily terlihat berpikir. "Hm, kurasa aku ikut, aku sedikit bosan untuk berada di rumah saja," jawabnya.
"Kalau begitu bersiaplah, biar aku yang menyelesaikan ini," ucap Sabelle sembari menunjuk gelas yang kosong.
"Oke, aku akan siap dalam beberapa menit."
Sabelle memasukkan air hangat ke dalam gelas dan mengaduk minuman itu. Teh hangat sudah siap di tangannya bersama cookies coklat, ia langsung saja membawanya ke ruang tengah yang mana Shalter terlihat bermain dengan ponselnya.
"Ini untukmu, Shalter," ucap Sabelle sembari meletakkan segelas minuman di depan putranya itu.
Shalter mengalihkan perhatian dari ponselnya dan menatap Sabelle. "Terima kasih, Mom," balasnya.
Sabelle mengangguk dan memakan cookies coklat buatan ibunya itu, rasanya tetap sama seperti dulu, luar biasa. Sabelle heran kenapa Ibunya tidak membuka toko kue saja, ia yakin akan banyak orang yang akan membeli kuenya.
"Dimana Nanny, Mom?"
Sabelle menghabiskan potongan terakhir cookiesnya sebelum menjawab, "Sedang bersiap, kita akan ke bengkel untuk mengunjungi grandpa, apa itu tidak apa?"
"Ya, aku juga merindukan grandpa, setiap kali kita berkunjung ia selalu tidak ada," balas Shalter.
Sabelle tersenyum sembari mengelus puncak kepala Shalter.
"Aku siap," sahut Emily yang baru datang dari kamarnya.
"Baiklah, kalau begitu ayo pergi," balas Sabelle.
Shalter menghabiskan minumnya terlebih dahulu, tidak lupa ia nengambil tiga cookies untuk ia makan di perjalanan. Mereka memasuki mobil, Shalter yang tadinya duduk di depan kini berpindah ke belakang karena Emily menggantikannya.
"Jangan lupa pakai seatbelt, Bu, Shalter," peringat Sabelle.
Setelah itu, mobil dinyalakan dan mereka melaju membelah jalanan dengan musik yang dilontarkan dari radio mobilnya. Sabelle melirik ke arah spanduk besar saat lampu merah menghentikan perjalanan mereka, spanduk yang berisikan gambar Peter sedang bernyanyi dan bertuliskan tanggal konsernya. Pria itu semakin terkenal dan membuat Sabelle susah untuk berhenti mengingat pria itu karena hampir di setiap tempat fotonya terpajang.
Lampu merah berubah menjadi biru, Sabelle melajukan mobilnya kembali dan berbelok di sebuah perempatan sampai ia menemukan bengkel ayahnya dan mobilnya berhenti.
"Mari turun," sahut Emily.
Mereka keluar dari mobil dan menemukan Frank tengah memperbaiki mobil mustang merah. Baju pria itu terlihat kotor karena beberapa noda oli dan lainnya.
"Grandpa!" panggil Shalter yang membuat Frank menoleh pada mereka.
"Astaga, cucuku!" balas Frank dan berjalan mendekati mereka dengan senyuman sumringah.
Shalter langsung memeluk Frank, tidak peduli jika kaosnya akan ikut terkena noda karena pelukan itu.
"Apa yang membuat kalian datang kesini?" tanya Frank setelah melepas pelukannya pada Shalter.
"Merindukanmu tentunya. Setiap kami berkunjung, kami tidak pernah menemukanmu, Ayah," jawab Sabelle.
"Maafkan aku, beberapa hal menyita perhatianku sehingga aku terus saja di bengkel."
"Bahkan meninggalkan istrimu sendiri di rumah," sindir Emily.
Frank tertawa. "Maafkan aku, Dear."
Sabelle tersenyum dan hendak mengatakan sesuatu saat getar ponselnya menghentikannya untuk melakukan itu. Sabelle lantas mengambil ponselnya dan baru terinhat ia harus pergi ke Mall, rencana awalnya tadi.
"Ugh, maafkan aku, Bu, Ayah, tapi aku harus pergi, aku memesan bunga oleh salah satu toko disana dan harus segera membayarnya," jelas Sabelle dengan tidak enak.
Frank mengangguk. "Tidak apa, Sabelle, pergilah jika itu mendesak, tapi jangan lupa untuk kembali kesini."
"Ya tentu saja." Sabelle lalu menatap Shalter. "Kau ikut bersamaku atau tinggal, Sweatheart?" tanya Sabelle.
"Aku tinggal saja, Mom. Aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama Nanny dan grandpa."
Sabelle mengangguk. "Baiklah kalau begitu aku pergi dulu," pamitnya dan langsung menaiki mobilnya.
Tidak sampai sepuluh menit, Sabelle sampai di Mall terbesar di kotanya dan segera turun dari mobilnya. Ia berjalan memasuki Mall tersebut dan terkejut saat ramainya orang membuatnya pusing.
Berusaha untuk dapat menaiki lantai tiga, Sabelle kesusahan saat ramainya orang kembali membuatnya terjepit diantara mereka, Sabelle bingun mengapa hari ini ramai sekali, apa ada diskon atau perayaan?
Karena tidak tahan terjepit diantara pengunjung lainnya, Sabelle memilih untuk memasuki sebuah toko pakaian yang terkenal, dalam toko itu terlihat sepi daripada di luarnya yang sangat ramai dan berdesakan.
Sabelle bahkan berpura-pura melihat barang-barang yang ada disana sampai kerumunan itu sedikit melenggang.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pegawai yang membuat Sabelle terkejut.
Sabelle menggeleng. "Aku sedang melihat," jawabnya gugup.
Pegawai itu tersenyum walau tidak sampai lima detik. Sabelle dengan cepat beringsut menjauh dan berjalan agar ia dapat menemukan pintu keluar. Sabelle melihat-lihat pajangan sampai akhirnya ia hampir sampai di pintu keluar, tapi tanpa sengaja ia menubruk seseorang sehingga orang itu mengaduh kesakitan.
Sabelle langsung berbalik badan dan melihat orang yang tabrak itu adalah seorang pria, Sabelle tidak hentinya meminta maaf saat seseorang yang tubruk itu menundukkan kepalanya dan menutupi wajahnya dengan topi yang ia pakai untuk melihat kakinya yang Sabelle tidak sengaja pijak.
"Maafkan aku, aku tidak tahu kau berjalan masuk. Aku tidak sengaja, sekali lagi maafkan ak ...." kalimat itu jelas terpotong saat seseorang yang ia tabrak itu mulai mengangkat kepalanya hingga Sabelle dapat melihat wajahnya.
Jangan tanyakan betapa terkejutnya Sabelle sekarang. Jantungnya saja sudah mengetuk kuat hendak keluar dari tempatnya, matanya juga terpaku untuk melihat terus mahluk yang berada di depannya saat ini.
"Sabelle," sahut pria itu ragu.
Sabelle memundurkan tubuhnya selangkah, mencoba menghindari tatapan mereka beradu tapi itu tidak bisa, terlalu sulit untuknya.
"Sabelle," panggil pria itu lagi namun dengan yakin sekarang.
"Peter ...," ucap Sabelle tapi kalimatnya menggantung.
Sabelle berusaha keluar dari tempat itu dan mencoba melewati Peter yang terus menatapnya dengan pandangan aneh.
"Sabelle, he-hei," panggil Peter dan menahan tangan Sabelle dengan menangkapnya.
Sabelle menatap sinis Peter yang terlihat terkejut itu. "Lepaskan aku," desis Sabelle.
"Hei, aku hanya ingin kita berbicara sebentar, aku sudah lama tidak melihatmu," ucap Peter yang membuat Sabelle mengeluarkan ekspresi kesalnya.
"Itu yang pertama kali terlintas di kepalamu, huh? Sudah lama tidak melihat? Jangan bertingkah seolah kita baik-baik saja, Peter. Kita bukan seorang teman lama," sinis Sabelle.
Peter menggeleng dan menutup matanya menyadari jika ia mengatakan hal yang salah. "Ti-tidak, bukan itu maksudku, aku hanya ingin berbicara," katanya.
Sabelle tertawa dengan nada yang mengerikan. "Kau bercanda, Peter?"
Dengan sekali hentakkan, tangan Sabelle terlepas dari genggaman tangan Peter dan itu membuat Peter merasakan sakit hati yang sangat besar.
"Jangan berpikir semuanya baik-baik saja, Peter. Karena itu tidak sama sekali. Cobalah untuk tidak mengenal masing-masing seperti yang kau lakukan pada kami tiga tahun yang lalu," desis Sabelle dan berjalan meninggalkan Peter yang masih terpatung di tempatnya.
Sabelle menahan emosinya yang terasa memuncak saat ingatan masa lalu menembus pertahanannya. Bagaimana bisa Peter bersikap biasa saja padahal dirinya sudah terluka begitu dalam.
Sial, mengapa juga air matanya jatuh untuk pria b******n seperti itu. Dengan kasar, Sabelle menghapus air matanya dan turun ke lantai bawah, ia tidak peduli dengan tujuan awalnya datang ke mall ini, karena Peter telah mengacaukan semuanya, termasuk hatinya.