CHAPTER 8

1195 Kata
"Shalter!" Sabelle segera menggapai Shalter yang tengah tenggelam di bath up dengan air yang memenuhi bath up tersebut. "Shalter! Bangun, nak! Shalter!" seruan yang keluar dari bibir Sabelle tidak sekencang debaran yang berasal dari jantungnya. Shalter tampak tidak sadarkan diri dan tubuhnya terlihat memucat. Ini bukan sesuatu yang diharapkan Sabelle sebelumnya, ia tidak pernah menyangka hal ini terjadi. Sabelle mengguncang tubuh Shalter dan menepuk-nepuk pipinya, berharap putranya dapat sadar kembali. Bahkan beberapa kali Sabelle memberikan napasan buatan atau memompa d**a putranya tapi tidak menghasilkan apapun. Semua yang ia lakukan membuatnya frustasi. Kelopak mata Sabelle sudah digenangi oleh air mata yang siap jatuh kapan saja. "Ibu! Bu!" Pekik Sabelle. "Shalter, kumohon. Jangan tinggalkan aku. Aku minta maaf, Nak!" lirih Sabelle sembari membawa Shalter ke dalam pelukannya dan merasakan jika tubuh anaknya menjadi dingin. "Shalter, kumohon. Bangun, Sweetheart!" air mata yang berada di kelopak matanya terjatuh deras tidak bisa ditahan. "Ya Tuhan! Shalter!" pekik Emily saat melihat Sabelle membawa Shalter yang pucat dipelukannya. "Ada apa dengannya, Sabelle. Apa yang terjadi?!" Emily memegangi Shalter yang tubuhnya tampak semakin pucat. Sabelle menggeleng disela tangisnya. "Kumohon, telepon ambulans, Bu. Aku tidak bisa hiks ... Tidak bisa kehilangannya, tidak bisa, Bu. Hiks ... Kumohon!" lirih Sabelle menatap Emily dengan tatapan menyakitkan. Emily mengangguk dan berlari keluar kamar mandi untuk menelepon ambulans. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh operator yang menjawab panggilan tersebut dan dengan susah payah Emily menjawab. Setelah panggilan itu terputus, Emily kembali ke kamar mandi untuk memastikan keadaan Shalter. "Shalter, kumohon, Sayang. Jangan tinggalkan aku, kumohon. Aku janji tidak akan mengabaikanmu kembali, aku janji hiks! ... Shalter," tangisan lirih tidak berhenti dari bibir Sabelle. Shalter tampak tenang dengan keadaan yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja dan tidak ada balasan yang keluar dari mulut putra kecilnya tersebut. "Apa yang sebenarnya terjadi, Sabelle?!" tanya Emily kembali.  Sabelle yang tengah menangis kini menatap Emily dengan pandangan kosong dan kesakitan. Ia tidak tahu apa yang terjadi, bahkan apa yang telah ia lakukan, ia tidak tahu sama sekali, bahkan ia tidak tahu jika ia melukai hati putranya. "Sabelle!" sentak Emily saat melihat putrinya tengah terdiam dengan air mata yang masih mengalir. Sabelle menggeleng lemah. "Aku tidak tahu, Bu. Jika sesuatu terjadi pada Shalter, aku tidak dapat memaafkan diriku. Ak-aku tidak akan pernah bisa," balas Sabelle. Bunyi suara ambulans dari luar membuat mereka bergegas membawa Shalter untuk turun dan di bawah  sudah ada beberapa petugas yang membawa Shalter masuk ke dalam ambulans yang diikuti Sabelle dari belakang. Emily tidak ikut dalam ambulans dan berjanji pada Sabelle jika ia akan menyusul dengan cepat. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Sabelle tidak hentinya menangis dan menggenggam tangan putranya yang dingin, Sedangkan dua orang petugas tampak memberikan oksigen pada Shalter dan memberikan penanganan yang mereka bisa. Sabelle berdoa dalam hatinya agar Shalter baik-baik saja, ia berjanji jika ia akan berubah menjadi ibu yang baik. Ia menyesali semua perbuatannya termasuk memarahi Shalter yang hanya bermain di kuar karena kesepian, ia menyesali semuanya. "Kumohon, bangunlah Sayang, jangan tinggalkan aku," gumam Sabelle dan menbawa tangan Shalter ke bibirnya untuk ia kecup. Tidak sampai sepuluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Para petugas membawa Shalter turun dari mobil ambulan dan membawanya dengan bangkar ke dalam rumah sakit. Sabelle masih setia disisi Shalter sampai mereka memasuki ruang UGD. Sabelle dihentikan oleh perawat dan tidak dibiarkan untuk masuk. "Dia putraku! Aku ingin melihatnya!" tolak Sabelle dan nencoba untuk masuk. "Maaf, Nona. Anda tidak bisa, itu membuat kami tidak bisa fokus menolong putra anda, jadi saya mohon pengertiannya. Demi keselamatan anakmu," jelas perawat itu dan akhirnya membuat Sabelle mengangguk setuju. Sabelle berdiri di depan pintu ruangan itu sembari menggigit kuku jarinya. Ia cemas setengah mati dan tidak akan bisa tenang sampai ia dapat mendengar suara putranya kembali. Akhirnya Sabelle terduduk di kursi tunggu depan ruangan tersebut sembari berharap cemas akan Shalter yang berada di dalam sana. "Sabelle!" panggil Emily saat telah sampai di depan ruangan itu bersama suaminya. "Ibu, Ayah," ucap Sabelle dan berdiri dari duduknya. "Shalter ada di dal--" Plak! Sebuah tamparan bersarang di pipi Sabelle. Frank Corner,  Ayahnya lah pemilik tangan yang melayang ke pipinya tersebut. Sabelle memegangi pipinya yang terasa berdengung dan sedikit mati rasa, lalu menatap Ayahnya yang terlihat penuh emosi. "Lihat perbuatanmu! Apa yang terjadi pada cucuku itu karena kau terus saja memikirkan pria b******n yang bahkan tidak peduli padamu dan Shalter! Aku tidak percaya kau melukai anakmu sendiri, Sabelle!" bentak Frank. Emily menggapai lengan Frank dan mengusapnya perlahan. "Hentikan, Frank. Kita sedang berada di rumah sakit sekarang." Frank memegangi kepalanya yang terasa sakit. Mendengar berita yang nengejutkan seperti ini membuatnya yang sudah tua ini menjadi sakit. Ia tidak percaya cucu kesayangannya tenggelam karena Sabelle yang tidak memperhatikan anaknya. Frank menghembuskan napasnya perlahan untuk membuatnya tenang. "Dia putramu, Sabelle. Mengapa kau membiarkannya seperti itu?" tanya Frank lemah. Sabelle menatap Frank bersalah dan juga menyesal. Bahkan tamparan tadi tidak sebanding dengan sakit hatinya saat ini karena telah gagal menjadi seorang Ibu. Jika saja Frank menamparnya sekali lagi, Sabelle akan menerimanya, karena ia pantas untuk itu. "Sabelle," panggil Frank dan melampirkan tangannya di pundak Sabelle. "Aku tidak tahu sesakit apa perasaanmu tapi kumohon, perhatikan juga sekitarmu terutama putramu. Kau tidak ingin kehilangan lagi, bukan?" Sabelle mengangguk dengan air mata yang kini kembali turun membasahi pipinya. "Kalau begitu kau tahu jika apa yang telah kau lakukan salah, bukan?" Sabelle mengangguk kembali tanpa mengeluarkan suara, karena jika ia mencoba membuka mulutnya, pasti suara isak tangisnya akan terdengar oleh semua orang. Frank menghembuskan napasnya dan membawa putri semata wayangnya ke dalam pelukannya yang mana Sabelle membalas pelukan itu. "Maafkan aku, Sabelle. Aku hanya ingin kau tahu jika perbuatanmu salah," ucap Frank di sela pelukan mereka. Sabelle mengangguk dan menghapus air matanya. "Aku tahu, Ayah. Aku memang salah dan aku sangat menyesal. Aku, aku berjanji tidak akan mengabaikannya lagi. Aku janji." Frank tersenyum dan membawa kembali Sabelle ke dalam pelukannya. Ia juga mengecup puncak kepala Sabelle dengan hangat. Seorang dokter dengan dua perawat  keluar dari ruangan yang ditempati Shalter. Membuat Sabelle dan orang tuanya mendekat pada dokter tersebut. "Bagaimana dengan putraku? Apa ia baik-baik saja? Apa yang terjadi padanya? Dia selamat, 'kan?" pertanyaan beruntun itu keluar dari mulut Sabelle yang kini menatap Dokter itu penuh ingin tahu. "Tenang, Nona. Putramu baik-baik saja, kami dapat menyelamatkannya. Untungnya kalian membawanya cepat sebelum denyut nadinya berhenti dan kurasa dia tidak apa-apa. Tapi dia masih harus dirawat dan belum sadarkan diri," penjelasan dari Dikter itu menghasilkan napas lega dari tiga orang yang menunggu tersebut. "Terima kasih, Dokter. Aku benar-benar berterima kasih dari lubuk hatiku," ucap Sabelle dan tidak dapat menyembunyikan senyuman leganya. Dokter tersebut mengangguk. "Kalau begitu kau bisa ikut aku keruanganku, aku butuh berbicara padamu perihal putramu," ucap Dokter itu. Sabelle mengangguk, lalu menatap kedua orangtuanya yang dibalas anggukan oleh mereka, setelah itu Sabelle pergi meninggalkan mereka. "Aku berharap Sabelle baik-baik saja, aku mencemaskannya, Frank. Ia terlihat kalut hari ini," sahut Emily pada suaminya. "Tidak apa, Emily. Dia akan baik-baik saja. Aku tahu itu karena aku Ayahnya. Aku hanya berharap Peter Clark menghilang dari muka bumi dan membiarkan putri kita kembali bahagia. Jika aku bertemu pria itu, aku tidak akan mencoba untuk mengenalnya. Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti hati putriku lagi." Emily mengelus punggung suaminya lalu memeluknya dari samping. Ia juga berharap seperti itu, semoga saja Peter Clark tidak kembali dan menghancurkan hidup putrinya. Sabelle sudah cukup menderita dan ia tidak ingin Sabelle menderita kembali. Cukup sudah sampai sini saja, ia akan membuat putrinya kembali bahagia bersama cucunya. "Mari kita lihat, Shalter. Aku merindukannya," ajak Frank yang dibalas anggukan oleh Emily.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN