"Aku titip Shalter, Bu."
Emily mengangguk. Ia merasa kasihan melihat keadaan putrinya yang tidak baik dengan kantung mata yang menghitam dan membengkak. Apa yang terjadi pada putrinya membuatnya sakit hati.
"Kau akan pergi kemana Sabelle?" tanya Emily.
Sabelle menunduk, mencoba menelan semuanya jika ia akan kembali mengunjungi perusahaan Peter dan meminta agar pria itu mau untuk berbicara dengannya.
"Mencari Peter," jawab Sabelle kecil namun masih bisa didengar oleh Emily.
"Kau masih ingin mencarinya? Kau tahu betul Sabelle, pria itu telah meninggalkan kalian. Apa lagi yang akan kau perbuat? Memintanya untuk kembali tidak akan semudah itu dan mungkin ia sudah berada di New--"
"Bu!" sentak Sabelle.
Emily menutup mulutnya dan melihat kesedihan putrinya yang semakin memuncak.
"Aku hanya tidak ingin kau terus berlarut pada masalah ini, Sabelle. Lanjutkan hidupmu, kau tidak bisa terus seperti ini," ucap Emily lembut dan mencoba menggapai tangan Sabelle yang langsung di tepis oleh wanita itu.
"Aku baik-baik saja, Bu. Jangan khawatirkan aku. Aku titip Shalter. Aku pergi." Sabelle segera berdiri dari duduknya dan hendak melangkah pergi sebelum sebuah tangan menahan tangannya.
"Mommy, kau ingin kemana? Boleh aku ikut?" sahut Shalter.
Sabelle berbalik dan mendapatkan Shalter dengan tatapan memohonnya. Sabelle akhirnya berlutut dan menatap kedua bola mata putranya, setelah itu melemparkan senyuman yang tidak sampai ke matanya.
"Mommy hanya pergi sebentar, jadi bisakah kau tetap bersama Nanny. Mommy janji akan pulang cepat hari ini, kau akan menuruti perkataan Mommy, 'kan?"
Shalter mengangguk lemah walau tampak jelas jika anak itu tidak ingin.
Sabelle tersenyum dan mengecup puncak kepala Shalter cepat. "Kalau begitu bermain bersama Nanny, Mommy akan pulang dengan membawa kue coklat kesukaanmu."
Shalter mengangguk lemah dan melepaskan tangannya dari tangan Sabelle dengan enggan, setelah itu naik ke atas bersama untuk duduk bersama neneknya, Emily.
Sabelle bangkit dari berlututnya. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi. Tolong jaga Shalter, Bu."
Emily mengangguk sembari menatap kepergian putrinya. Emily berdoa, semoga Sabelle dapat kembali ceria seperti sedia kala, meskipun Peter tidak lagi berada di sampingnya.
"Nanny, bolehkah aku bermain di luar?" tanya Shalter.
Emily mengangguk. "Bermain di perkarangan rumah saja, ya."
Shalter mengangguk kecil dan segera berlari keliar rumah. Bukan tanpa alasan ia ingin bermain di luar, itu karena ia ingin melihat kepergian Mommynya yang kini tampak menaiki sebuah mobil.
Shalter berlari mendekat ke arah pagar yang menghubungkannya dengan Sabelle, tapi sayangnya belum sampai ia kesana, Sabelle telah melajukan mobilnya membuat Shalter menahan kecewa karena tidak dapat berbicara dengan Mommynya.
Dengan lemah, Shalter berjalan lunglai ke arah rumah dan duduk di tangga terasa sembari melihat sekitaran. Dalam hatinya ia sangat merasa kesepian karena tidak ada yang dapat diajak berbicara. Mungkin, semangat ceria yang selalu ditunjukkan Shalter akan ikut padam seperti Sabelle. Itu karena cahaya terang mereka telah pergi, meninggalkan gelap yang berbekas.
Sebuah bola memantul kecil menuju kaki Shalter. Melihat bola basket yang mengenai kakinya membuat Shalter mendongak dan mendapatkan seorang pria dewasa sedang tersenyum padanya.
"Ingin bermain?"
•••
"Bisakah aku bertemu padanya? Kumohon. Sudah dua minggu kuhabiskan waktu untuk kesini dan aku masih tidak diperbolehkan?!" seru Sabelle pada penjaga gedung tersebut.
"Maaf, Nona. Tapi kau tidak mempunyai kepentingan untuk bertemu Tuan Peter," ucap salah satu penjaga yang membuat Sabelle mendelik kesal padanya.
"Tentu saja aku punya. Jadi mengapa tidak kau katakan pada pria s****n itu jika aku, Sabelle, sedang mencarinya!"
"Kami sudah mengatakannya sedari kemarin, Nona. Masih tidak ada tanggapan jadi selama tidak ada jawaban, kami tidak bisa membiarkanmu masuk."
Sabelle menghembuskan napasnya kasar sembari mengusap wajahnya lelah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Peter hendak menemuinya. Mengapa Sabelle merasa Peter sangat membencinya?
"Jadi, bisakah anda datang besok lagi, Nona? Kami akan memberitahumu jika ada pemberitahuan lebih lanjut."
Sabelle mendesah lelah, lalu mengeluarkan ponselnya. "Bisakah kalian menghubungiku jika ia mencariku atau memberi jawaban?" tanya Sabelle sembari memberikan nomor teleponnya pada penjaga tersebut.
Mereka mengangguk. "Tentu saja, Nona."
Sabelle mengangguk dengan senyuman kecil, lalu berjalan menjauh hendak menuju mobilnya. Sesaat telah memasuki mobil, ia baru ingat jika nomor yang ia berikan tadi sudah tidak aktif, akhirnya Sabelle berjalan kembali ke pos penjaga gedung tersebut.
"Dia wanita gila. Aku tidak dapat membayangkan diriku menjadi penyanyi seperti Peter dan bertemu banyak wanita gila seperti tadi."
Langkah Sabelle terhenti karena perkataan itu.
"Aku berpikir ia terlalu obsesi pada Peter. Pria setampan itu tidak mungkin menyukai wanita yang ribet seperti itu. Aku bertaruh makan siangku jika wanita tadi sakit jiwa!"
"Ugh! Gara-gara dia aku harus melewatkan live baseball. Wanita gila!"
Sabelle menelan dengan sulit salivanya yang terasa mengganggu di tenggorokannya. Sekarang pandangan orang-orang buruk padanya dan itu karena Peter yang tidak mau menemuinya. Hal yang bagus untuk semakin mengancurkan hatinya.
Oleh karena itu, Sabelle berjalan menuju pos itu dan membuat yang ada di dalam ruangan tersebut terkejut. Sabelle berjalan mendekat, mengambil kopi yang berada di atas meja lalu menumpahkannya pada mereka sehingga baju putih mereka kini dipenuhi bercak gelap.
"Terima kasih telah membicarakanku. Kusarankan untuk menutup pintu jika akan membicarakan hal buruk tentang orang lain. Dan satu hal, aku tidak gila!" Sabelle langsung berbalik meninggalkan ruangan itu dengan luka yang kembali menganga.
Masuk ke dalam mobil, Sabelle menenggelamkan wajahnya di setir mobil. Jangan nangis untuk hal-hal seperti ini. Ia tidak ingin kembali terluka tapi mengapa semua yang ia lakukan terlihat seperti memaksanya untuk kembali terluka?
Sabelle mengangkat kepalanya dan mengambil napas dalam, membiarkan amarah dan emosi yang menggebu di dirinya menghilang. Setelah merasa tenang, ia kembali ke rumah.
Sabelle memarkirkan mobilnya di garasi dan memasuki rumah yang tampak kosong.
"Bu! Shalter!"
Sabelle berjalan ke kamarnya dan tidak menemukan Shalter di sana. Sabelle lalu melihat seluruh penjuru rumah dan masih tidak menemukan putranya. Saat ke dapur, Sabelle menemukan Emily yang sedang menyiapkan makan malam.
"Dimana Shalter?" tanya Sabelle yang membuat Emily tersentak.
"Kau sudah pulang? Shalter bilang ia ingin bermain di luar, jadi aku membiarkannya," jawab Emily sembari tersenyum.
Sabelle menggeleng cepat. "Ia tidak ada di luar bahkan di dalam rumah, Bu. Dimana dia?"
Emily tampak terkejut. "Benarkah? Tapi aku menyuruhnya untuk bermain di perkarangan rumah saja dan ia mengangguk."
Sabelle melepaskan nafas kesalnya dan menatap Emily tidak percaya. "Kau mempercayainya? Umurnya baru lima tahun, Bu. Dia bisa saja berbohong!"
"Sabelle. Aku tahu Shalter dan dia tidak akan berbohong."
"Ya, kau sangat tahu itu. Tapi aku ibunya, dia bisa saja bertindak seperti itu. Kau seharusnya menjaganya, aku meminta pertolonganmu, tapi apa sekarang. Aku bahkan tidak menemuinya dimana pun. Bagaimana jika ia diculik atau kecelakaan? Bisakah kau mengerti aku? Aku meminta pertolonganmu!" marah Sabelle dengan nada yang terdengar membentak.
Emily mengatupkan bibirnya yang sempst terbuka dan tidak menyangka Sabelle akan berkata seperti itu padanya, sungguh melukai hatinya.
"Aku pulang, Nanny!"
Tatapan Sabelle dan Emily jatuh pada Shalter yang baru saja memasuki dapur dengan wajah bingung.
Sabelle mendekati Shalter lalu membungkuk. "Darimana saja? Mommy mencarimu sejak tadi? Kau bilang kau akan bermain di sekitar perkarangan rumah saja tapi Mommy tidak mendapatkanmu disana. Mengapa kau berbohong, Shalter?!"
"Sabelle, hentikan! Apa yang kau lakukan pada cucuku?" bela Emily pada Shalter, bahkan membawa Shalter ke belakang tubuhnya.
Sabelle menggeleng. "Awas, Bu. Aku akan memarahinya karena tidak mau menjadi anak yang baik, aku tidak mau membiarkan anak nakal ini berbuat semaunya," ucap Sabelle dengan emosi.
"Sabelle! Hentikan, dia bukan Peter, dia anakmu. Bisakah kau memperdulikannya? Kau menghabiskan waktumu untuk mencari pria tidak bertanggung jawab itu dan meninggalkan anakmu, kau pikir itu perbuatan yang benar?" tidak dapat dipungkiri, Emily ikut emosi atas perlakuan anakknya.
"Shalter, naik ke atas dan segera mandi! Mommy ingin berbicara dengan Nanny."
Shalter mengangguk takut dan berjalan naik ke lantai atas. Ia menatap ke belakang saat berada di tangga untuk melihat pertengkaran Sabelle dan Emily yang masih belum reda. Dengan sedih, Shalter pergi ke kamar mandi dan melepas bajunya, setelah itu ia berusaha menghidupkan keran air yang ada di bath up, setelah itu ia memasuki bath up itu dan menyesali perbuatannya.
"Aku tidak percaya ini, kau memarahi Shalter hanya karena ia pergi bermain?" tanya Emily sembari bersidekap.
"Bu, aku hanya tidak ingin ia kenapa-napa. Aku tidak ingin ia terluka."
Emily menggeleng kecil. "Kau telah membuatnya terluka, Sabelle, dengan meninggalkannya untuk mencari pria tidak bertanggung jawab itu."
Sabelle mendesah lelah. "Bu, pria itu punya nama, yaitu Peter, suamiku," koreksi Sabelle.
"Aku tahu, tapi aku ingin kau memikirkan hal ini. Shalter tidak sama dengan Peter. Apa yang kau katakan tadi bisa menyakiti hatinya, Sabelle. Dia kesepian karena kau terus pergi dan aku mohon jangan memarahinya karena semingguan ini, baru kali ini aku mendengar suaranya bahagia. Dia mungkin bertemu teman baru, kau seharusnya mengajaknya berbicara, bukan memarahinya," suara Emily mulai melembut begitu pula tatapannya.
Sabelle sadar, apa yang ia lakukan telah salah. Ia merasa kacau dua minggu ini, pikirannya dipenuhi oleh Peter saja dan membuatnya melupakan Shalter.
Sabelle menatap Emily bersalah. "Maafkan aku, Bu. Aku hanya kacau, semua hidupku tiba-tiba menjadi mengerikan dan itu membuatku stress," lirih Sabelle.
Emily mengangguk lalu berjalan mendekat untuk dapat memeluk putrinya. "Aku tahu, oleh karena itu aku ingin kau bersikap lebih tenang. Banyak yang menyangimu, Sabelle, dan kau tahu itu."
Sabelle membalas pelukan itu. "Kalau begitu aku ingin melihat Shalter, Bu."
Emily mengangguk dan melepaskan pelukannya, membiarkan Sabelle pergi ke lantai atas untuk mencari anaknya.
Sabelle membuka pintu kamar mandi dan genangan air telah menyentuh kakinya. Darimana asal air ini?
Tersentak, Sabelle langsung berjalan lebih ke dalam dan melihat air yang menggenang ini berasal dari bath up. Sabelle membuka tirai bath up itu dan terkejut.
"Shalter!"