Tangannya bergetar saat membuka bungkus testpack yang baru saja dibelinya dari apotek. Napasnya terasa berat, seolah paru-parunya enggan menerima udara. Elara menatap testpack itu lama, jari-jarinya bahkan sempat ragu untuk menggunakannya. Tapi dia tahu, penundaan hanya akan membuat segalanya lebih buruk. Beberapa menit kemudian, Elara duduk di lantai kamar mandi, bersandar di pintu. Matanya menatap kosong ke arah benda kecil di tangannya. Dua garis merah. Tegas. Tidak samar. Hening. Hanya detak jantungnya yang terdengar keras di telinga. Wajahnya pucat, matanya melebar. “Tidak mungkin …,” gumamnya lirih. “Ini … tidak mungkin.” Tapi kenyataannya tidak berubah. Elara hamil. Dan ayah dari bayi itu—adalah Arthur. “Aku gila,” ujarnya lagi, nyaris menangis. “Kenapa aku bisa sebodoh itu?”