Bab 2. Sekali Dorongan

1030 Kata
Seraphina menarik napas dalam-dalam, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mulai menceritakan alasan sebenarnya di balik permintaannya yang mengejutkan itu. "Hubunganku dengan Arthur … sudah tidak bisa diselamatkan lagi, Om," katanya, suaranya bergetar. "Arthur, dia selingkuh. Dengan teman kerjanya." Bramansyah terdiam, mendengar pengakuan Seraphina. Ia merasa simpati, namun di saat yang sama, ia juga merasa semakin terjebak dalam situasi yang rumit. "Aku tidak mau lagi dengan orang yang tukang selingkuh, Om." Seraphina melanjutkan, suaranya semakin tegas. "Arthur selingkuh karena aku tidak mau menyerahkan kesucianku padanya. Dia bilang aku terlalu sulit, terlalu menjaga diri." Seraphina menatap Bramansyah dengan tatapan yang penuh makna. "Tapi Om, Om berbeda. Om diselingkuhi oleh Tante Luna. Om setia, karena itu aku menginginkan Om." Ia mendekat ke Bramansyah, suaranya menjadi lebih lembut, lebih menggoda. "Aku bisa memberikan Om itu semua, Om. Aku bisa membuat Om membalas semua perbuatan Tante Luna. Dengan menjalin hubungan denganku, Om bisa melupakan semua rasa sakit yang telah Tante Luna berikan." "Sejujurnya aku ingin membalas Arthur, tapi om juga ingin membalas Tante Luna, kan? Jadi ayo kita berhubungan, aku ingin membalas mereka semua," kata Seraphina lagi. Bramansyah terdiam, mendengarkan penjelasan Seraphina. Ia merasa terombang-ambing antara amarah, simpati, dan godaan. Ia merasa terluka oleh pengkhianatan Luna, namun di saat yang sama, ia juga merasa ragu dengan tawaran Seraphina yang begitu berani dan penuh resiko. Bramansyah menggelengkan kepala. "Tetap saja, Sera. Arthur adalah anakku. Aku tidak bisa .…" Seraphina memotongnya, suaranya tenang namun tegas. "Arthur bukanlah anak kandung Om Bram." Bramansyah melotot. "Jangan asal menuduh, Sera! Kamu bicara sembarangan!" Seraphina tersenyum sinis. "Om ingin bukti? Baiklah." Sekali lagi, ia mengeluarkan ponselnya. Kali ini, video yang ditampilkan berbeda. Video ini memperlihatkan Arthur, Luna, dan pria yang ada di video sebelumnya sedang berbincang-bincang di sebuah kafe. Suasana di video tampak akrab dan penuh konspirasi. Luna terlihat sedang berbicara dengan penuh semangat, dan dengan jelas terdengar ucapannya, "Kita harus mengeruk kekayaan Bram. Dia bodoh dan mudah ditipu." Pria itu mengangguk setuju, dan Arthur ikut tertawa, menambahkan. "Ya, Ayah memang bodoh sekali!" Video itu membeku di wajah Arthur yang sedang tertawa mengejek Bramansyah. Bramansyah merasa dunia seakan runtuh. Ia merasa telah ditipu oleh istri dan anaknya sendiri. Rasa sakit, marah, dan kecewa memenuhi hatinya. Ia merasa seperti telah hidup dalam kebohongan selama ini. Seraphina melihat wajah Bramansyah yang penuh keputusasaan. Ia tahu, ia telah berhasil. Ia telah menghancurkan kepercayaan Bramansyah terhadap keluarganya. Kini, saatnya untuk melangkah ke tahap selanjutnya. "Jadi, tidak ada lagi alasan untuk menjaga perasaan Arthur, kan, Om?" Seraphina berkata, suaranya lembut namun penuh sugesti. "Kita harus segera menjatuhkan mereka. Dan aku … aku bisa menjadi senjata Om untuk melakukan itu. Kita bisa menikah, Om. Kita bisa bersama-sama menghancurkan mereka." Seraphina maju selangkah, tubuhnya hampir menyentuh tubuh Bramansyah. Ia mulai menggoda Bramansyah dengan sentuhan-sentuhan kecil, dengan tatapan mata yang penuh rayuan. Ia merasakan tubuh Bramansyah menegang, merasakan getaran di tubuhnya. Ia tahu, ia telah berhasil membangkitkan hasrat Bramansyah. Bramansyah terhuyung, merasa terombang-ambing antara amarah dan godaan. Ia merasa tubuhnya bergetar, merasakan sentuhan Seraphina yang semakin berani. Ia merasa tergoda, namun di saat yang sama, ia juga merasa ragu. Ia masih merasa bersalah, merasa telah mengkhianati Arthur, meskipun ia kini tahu bahwa Arthur bukanlah anaknya. Namun, godaan Seraphina terlalu kuat untuk ditolak. Ia merasa tubuhnya melemah, pikirannya menjadi buram. Ia merasa terbawa arus, terhanyut dalam godaan yang semakin kuat. "Om Bram," Seraphina memulai, suaranya lembut namun penuh keyakinan. "Om tidak perlu malu-malu denganku. Aku juga tidak malu dengan Om." Pipi Bramansyah memerah. Ia mengalihkan pandangan, jantungnya berdebar kencang. Secara tak sengaja, d**a Seraphina yang kenyal menyentuh lengannya saat ia bergeser sedikit. Sentuhan itu bagai sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya. "Ayolah, Om Bram." Seraphina mendesah pelan, suaranya sedikit menggoda. "Aku tahu Om sudah tidak tahan lagi." Bramansyah tergagap. "Aku ... aku tidak bisa, Sera." Seraphina tersenyum, senyum yang mampu meluluhkan hati siapapun. Dengan gerakan cepat dan tak terduga, ia meraih tangan Bramansyah dan menggenggamnya erat. Jari-jarinya yang lentik menyentuh bagian sensitif Bramansyah, membuat pria itu mendesah. "Sera ...." Bramansyah merintih, napasnya memburu. "Hentikan, aku tidak ingin." "Tidak ingin apa, Om Bram?" Seraphina bertanya, matanya menatap Bramansyah dengan penuh arti. Ia semakin berani, sentuhannya semakin berani. "Aku ... aku tidak ingin merenggut kesucianmu." Bramansyah berhasil mengucapkan kata-kata itu, suaranya bergetar. Ia merasa tercabik antara hasrat dan rasa tanggung jawabnya. Seraphina terdiam sejenak. Ia melepaskan tangannya dari Bramansyah, namun tatapan matanya tetap intens. Kemudian, dengan gerakan yang tak kalah mengejutkan, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Bramansyah dan mencium bibirnya. Bramansyah terpaku. Ciuman Seraphina lembut namun penuh gairah, membuatnya kehilangan kendali. Dunia seakan berhenti berputar. Semua yang ia yakini tentang batas dan kesucian, kini terasa begitu rapuh dan mudah runtuh. Ciuman itu, yang awalnya ia tolak, kini ia balas dengan penuh kerinduan. Batas yang selama itu ia jaga, kini telah terlampaui. Di dalam kamar hotel, di bawah cahaya lampu yang remang-remang, sebuah ciuman yang penuh dengan gairah, keraguan, dan cinta yang belum teruji. "Sera ... kamu sudah keterlaluan, kamu akan menyesal karena sudah menggodaku begini." Bram yang sudah ke palang nafsu melempar Sera ke ranjang hotel dengan kasar. Seraphina bisa melihat kabut gairah dari pria yang menjadi calon mertuanya, tapi sekarang bukan lagi karena Seraphina akan mendobrak status itu. Seraphina bisa melihat bagaimana Bramansyah bergerak dengan lincah dan begitu lihai membuatnya posisinya sekarang terbalik. Tadinya mungkin Seraphina hanya menginginkan rencananya berjalan lancar, tapi sekarang Seraphina juga menginginkan Bramansyah untuk melewati malam yang akan penuh dengan kepanasan. "Om ...," panggil Seraphina dengan suara parau yang sudah memuncaki nafsu. Pria berpengalaman yang tahu persis tentang tubuh wanita, Bramansyah tidak menjawab, justru merespon dengan sentuhan yang membuat Seraphina bergelinjang dengan kenikmatan. "Kenapa? Bukannya tadi kamu yang minta? Inilah yang terjadi jika kamu macam-macam dengan pria dan menggodanya habis-habisan, kamu harus menanggung resikonya, Sera," ucap Bramansyah dengan suara bariton yang penuh d******i. Seraphina tersenyum puas melihat pria itu juga menginginkannya. Tidak ada lagi rasa malu keliatan mereka berdua sudah tampak tak sehelai benang pun. "Aku akan menerima resikonya dengan senang hati, Om." Seraphina menggapai wajah Bramansyah dengan elusan di pipi yang membuat pria awet muda itu bersemu merah. Sampai di pertengahan, Bramansyah mulai ragu kembali. Tapi melihat tubuh wanita yang di bawahnya membuat Bramansyah kehilangan keraguan itu lagi dan langsung menghantam dengan sekali dorongan. "Akh ...!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN