Bab 9. Ambil Saja!

1159 Kata
Seraphina menekan pedal gas tanpa arah, membiarkan mobil melaju di jalanan yang mulai sepi. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang jatuh di malam yang gelap, tapi tak ada keindahan yang bisa ia rasakan sekarang. Dadanya masih sesak. Hatinya masih penuh luka. Air matanya turun pelan, memburamkan pandangan di depan. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan isakan yang ingin pecah. Ia tak boleh terlihat lemah. Ia sudah cukup dipermalukan hari ini. Tapi kenapa rasanya begitu sakit? Seraphina menghela napas panjang, tangannya menggenggam kemudi erat. Sebelumnya, setiap kali ia menghadapi masalah, ia tahu ke mana harus pergi. Arthur selalu ada, mendengar keluh kesahnya, memberikan pelukan, meski terkadang hanya sekadar anggukan singkat sebagai tanda bahwa ia mendengar. Tapi sekarang? Arthur bukan lagi tempatnya mengadu. Pria itu telah menghancurkan kepercayaannya, meremukkan segala harapan yang pernah ia bangun. Tatapannya semakin buram. Ia sadar, kalau terus seperti ini, ia bisa saja celaka. Dengan cepat, ia menepikan mobilnya ke pinggir jalan. Mesin mobil masih menyala, tapi ia tak peduli. Ia menunduk, membenamkan wajah di kedua tangannya. Tangis yang sejak tadi tertahan akhirnya pecah. Ia terisak pelan, menggigit bibir untuk meredam suara, tapi air mata terus mengalir. "Kenapa harus begini?" "Kenapa Arthur tega menghancurkan semuanya?" Seraphina menggenggam dadanya, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba, semakin sakit yang terasa. Itu bukan sekadar patah hati biasa. Itu adalah pengkhianatan dari seseorang yang seharusnya menjadi tempatnya pulang. Dalam kekalutan, ia merogoh tasnya, mengambil ponsel. Jemarinya gemetar saat mencari satu nama di daftar kontak. "Om Bram." Ia tidak tahu kenapa harus menelepon pria itu. Bramansyah adalah ayah dari pria yang baru saja menghancurkan hidupnya. Tapi entah mengapa, ia merasa hanya Bramansyah yang bisa ia percaya. Dering pertama, lalu kedua. Tak lama, suara Bramansyah terdengar dari seberang. "Seraphina?" Suara itu terdengar berat, tapi tenang. Seraphina menarik napas, mencoba berbicara tanpa terdengar terlalu lemah. "Aku sudah mengakhiri semuanya dengan Arthur," katanya, suaranya bergetar sedikit. Hening sejenak. "Aku mengerti," jawab Bramansyah akhirnya. "Aku juga sudah mengusir Luna dari rumah." Seraphina memejamkan mata. "Jadi semuanya benar-benar berakhir, ya?" "Sepertinya begitu," suara Bramansyah terdengar datar. "Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu membuat d**a Seraphina semakin sesak. Ia ingin berbohong, mengatakan bahwa ia baik-baik saja, bahwa ini semua tidak terlalu menyakitkan. Tapi kenyataannya? Ia tidak baik-baik saja. Tidak sama sekali. "Aku nggak tahu," akhirnya ia mengaku. "Aku pikir aku bisa kuat, tapi ternyata … semuanya terlalu berat." Bramansyah tidak langsung menjawab. Seraphina bisa mendengar suara napasnya di seberang sana, seolah pria itu sedang mempertimbangkan sesuatu. "Kamu di mana sekarang?" tanyanya akhirnya. Seraphina menatap jalanan sepi di depannya. "Di pinggir jalan. Aku harus berhenti sebentar." "Kamu bisa nyetir pulang?" Seraphina menghela napas. "Mungkin sebentar lagi." "Aku bisa jemput kalau kamu mau," tawar Bramansyah, suaranya terdengar tulus. Seraphina terdiam sejenak. "Tidak usah. Aku bisa sendiri," jawabnya akhirnya. "Baiklah," kata Bramansyah. "Kalau butuh sesuatu, hubungi aku." Seraphina menutup mata, menahan tangis yang hampir pecah lagi. "Terima kasih." Bramansyah tidak menjawab, tapi keheningan di antara mereka terasa hangat, seperti sebuah pengertian tanpa perlu kata-kata. Seraphina menatap ponselnya setelah panggilan berakhir. Ia menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk kembali ke rumah. *** Seraphina terbangun dari tidurnya dengan kepala yang masih berat. Sisa kelelahan masih terasa di tubuhnya, tapi suara ribut-ribut di luar membuatnya terpaksa membuka mata. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menerobos masuk melalui celah tirai jendelanya. Suara itu semakin jelas. Suara laki-laki. Suara perempuan. Seperti sedang terjadi perdebatan. Seraphina menghela napas, enggan keluar dari kamar, tapi rasa penasaran mengalahkan rasa malasnya. Dengan langkah malas, ia membuka pintu, dan pemandangan pertama yang ia lihat langsung membuatnya ingin berbalik masuk kembali. Arthur duduk di sofa, tampak gelisah. Di sampingnya, Zahara, sepupunya yang terkenal dengan sikap lembutnya pada Arthur, duduk dengan ekspresi penuh harapan. Sementara di sisi lain, Ronan, menyandarkan punggung di sofa dengan tangan terlipat di d**a. Arthur berdiri begitu melihat Seraphina keluar dari kamar. Tatapannya penuh harap, seolah menunggu reaksi darinya. Tapi Seraphina hanya melengos, melewatinya begitu saja tanpa memberikan perhatian sedikit pun. "Sera," panggil Arthur, suaranya terdengar tegang. "Aku ke sini buat jelasin semuanya." Seraphina mengabaikannya dan berjalan menuju dapur. Namun, tatapan dari bibinya, Zahara, dan pamannya, Ronan, membuatnya sadar bahwa ia tak punya pilihan selain duduk bersama mereka. Dengan enggan, ia akhirnya menarik napas dalam dan melangkah ke ruang tamu, lalu duduk di salah satu kursi dengan tangan terlipat di d**a. "Baiklah," katanya datar. "Jelaskan." Arthur menatapnya dalam-dalam. "Aku nggak selingkuh, Sera. Itu semua salah paham. Aku ke sini bukan cuma buat ngomong sama kamu, tapi juga buat kasih tahu semua orang yang ada di sini kalau aku nggak bersalah." Seraphina menatapnya dengan ekspresi kosong, tak menunjukkan emosi apa pun. Zahara, yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. "Sera, mungkin kamu terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mungkin ini cuma kesalahpahaman. Aku kenal Arthur, dia bukan tipe orang yang akan menyakitimu seperti itu." Ronan mengangguk. "Aku juga setuju. Arthur nggak mungkin melakukan hal kayak gitu. Kamu tahu sendiri gimana perasaannya ke kamu selama ini." Seraphina mengepalkan tangannya. Ia bisa merasakan darahnya mendidih mendengar mereka membela Arthur. Apakah dia satu-satunya yang melihat kenyataan? "Jadi kalian lebih percaya Arthur dibanding aku?" tanya Seraphina, nadanya penuh ketidakpercayaan. "Bukan begitu, Sayang," sahut Zahara. "Kami cuma nggak mau kamu salah paham dan menyesal nantinya." Seraphina tertawa sinis. "Aku nggak mungkin menyesal." Arthur mencoba meraih tangannya, tapi Seraphina dengan cepat menarik tangannya menjauh. "Aku nggak butuh penjelasan lagi," katanya tegas. "Aku udah ambil keputusan. Aku mau batalkan pernikahan ini." Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan keheningan sejenak. Tapi keheningan itu segera pecah oleh suara lain. "Dengerin tuh," suara Elara muncul dari sudut ruangan. Seraphina melirik ke arahnya, baru menyadari bahwa sepupunya itu sudah berdiri di sana sejak tadi. Elara melipat tangannya di d**a, bibirnya melengkung membentuk senyum penuh sindiran. "Nggak mungkin laki-laki baik kayak Arthur selingkuh," katanya dengan nada mengejek. "Kalaupun iya, pasti karena lo yang nggak becus jadi tunangan." Seraphina menoleh dengan tatapan tajam. "Apa maksud lo?" tanyanya dingin. Elara mengangkat bahu. "Gue cuma bilang yang sebenarnya." Seraphina menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Elara dengan pandangan yang sulit diartikan. "Jujur aja, Elara. Lo lagi cari muka di depan Arthur, kan?" katanya santai. "Gue tahu lo suka dia." Mata Elara melebar, wajahnya seketika memerah. "Gue—gue nggak—" "Tidak perlu pura-pura," potong Seraphina tajam. "Dari dulu lo selalu iri sama gue. Sekarang gue batalkan pertunangan ini, lo pikir ini kesempatan buat lo, ya?" Elara menggigit bibirnya, tak bisa menjawab. Semua orang di ruangan itu menatapnya dengan berbagai ekspresi. Zahara tampak terkejut, Ronan mengerutkan dahi, dan Arthur hanya diam, tak tahu harus berkata apa. Seraphina berdiri, merapikan bajunya seolah tak ada yang terjadi. "Kalau lo mau Arthur, ambil aja," katanya santai. "Gue sudah nggak ada hubungan lagi dengannya." Setelah mengatakan itu, ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan ruang tamu. Arthur memanggilnya, tapi ia tak berhenti. Elara berdiri di tempatnya dengan wajah malu, sementara Arthur masih terdiam, tak percaya bahwa Seraphina benar-benar memilih untuk pergi. Tapi bagi Seraphina, itu bukan lagi tentang mempertahankan harga diri. Itu tentang melepaskan sesuatu yang tidak lagi berharga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN