Bab 10. Wanita Licik

1174 Kata
Seraphina sedang duduk di taman belakang rumahnya, menikmati secangkir teh hangat sambil menatap langit senja yang mulai memerah. Hari itu terasa lebih tenang, lebih ringan, setelah akhirnya ia membebaskan dirinya dari ikatan pertunangan yang sudah terlalu lama menyesakkan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Langkah kaki mendekat, disusul suara yang sudah sangat ia kenal. "Sera." Suara Elara terdengar manis di awal, tapi Seraphina tahu pasti racun akan segera menyusul. Ia tetap diam, memilih untuk menyeruput tehnya perlahan, tidak peduli dengan kehadiran sepupunya yang selalu saja mencari masalah. "Gue cuma mau bilang, gue nggak heran sih kalau akhirnya Arthur selingkuh." Seraphina mengangkat alis tapi tetap tidak menoleh. "Wajar aja dia cari yang lain," lanjut Elara dengan nada puas. "Lo itu nggak becus jadi tunangan. Mana ada laki-laki tahan sama perempuan kayak lo? Sok sempurna, sok paling benar, dan selalu ngerasa di atas orang lain." Seraphina tetap diam. Menanggapi Elara hanya akan membuang-buang waktu. "Diam aja?" Elara terkekeh. "Pura-pura nggak peduli, ya? Tapi dalam hati pasti sakit, kan? Perempuan kayak lo memang pantas diselingkuhi. Lo terlalu sombong. Terlalu merasa lebih tinggi dari yang lain. Sekarang lihat sendiri akibatnya." Akhirnya, Seraphina mendesah pelan dan menaruh cangkirnya di meja. Ia menoleh dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan nada tenang. "Tentu saja gue di atas lo." Wajah Elara berubah merah padam. "Lihat, kan? Ini nih yang bikin Arthur nggak tahan! Lo tuh nggak pernah bisa menurunkan harga diri lo sedikit pun! Pantas aja dia cari perempuan lain!" Seraphina menatap Elara dengan tatapan kosong, lalu kembali mengangkat cangkirnya dan menyesap tehnya. "Kalau menurut lo begitu," katanya santai. Elara semakin kesal melihat Seraphina yang tidak terpengaruh sedikit pun. "Lo itu malu, kan? Makanya pura-pura nggak peduli. Lo sudah terlanjur sombong, tapi akhirnya dibuang juga!" Seraphina tersenyum tipis. "Gue nggak malu, Elara. Yang seharusnya malu itu Arthur, bukan gue. Dialah yang mengkhianati, bukan gue. Dan lo juga seharusnya malu, karena selalu ikut campur dalam masalah orang lain padahal hidupmu sendiri masih menumpang di rumah ini." Mata Elara membelalak. "Gue lebih baik dari lo!" bentaknya. "Kalau gue mau, gue bisa merebut Arthur kapan saja!" Seraphina tertawa kecil, suara yang penuh ejekan. "Rebut aja. Lagipula, gue dan Arthur sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Itu bukan merebut, Elara. Itu namanya mengambil sisa." Elara mengepalkan tangannya. "Lihat saja! Gue akan buat Arthur memilih gue!" Seraphina hanya menggeleng pelan. Lalu, tiba-tiba, matanya tertuju pada cincinnya—cincin pertunangan yang masih melingkar di jarinya. Seharusnya ia sudah melepaskannya sejak tadi. Tanpa ragu, ia melepas cincin itu dan mengangkatnya di depan Elara. "Nih," katanya sambil melempar cincin itu ke pangkuan Elara. "Kalau lo mau Arthur, pakai aja ini. Tapi semoga beruntung, karena sudah ada perempuan lain yang hamil anaknya." Elara terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia menatap cincin itu di pangkuannya, lalu kembali menatap Seraphina dengan mata membelalak. Seraphina tersenyum tipis, lalu berdiri dan berjalan pergi, meninggalkan Elara yang masih terdiam dengan cincin di tangannya. "Apa maksud lo, Sera?!" tanya Elara dengan panik. "Lo tahu apa maksud gue. Sudah jelas kalau Arthur emang selingkuh, bukan cuma sekedar soal pacaran, dia juga berhubungan badan dan bolak-balik masuk hotel sama itu perempuan, sampai jadi hamil, tapi semoga beruntung, ya ...." *** Bramansyah duduk di ruang kerjanya, tangan kokohnya menekan pelipis seakan berusaha mengusir kepenatan. Layar laptop di hadapannya masih menyala, menampilkan laporan keuangan perusahaan yang sejak tadi kehilangan daya tariknya. Namun, perhatiannya teralihkan ketika ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Seraphina. "Om, aku menunggu di hotel. Kamar 709." Bramansyah membaca pesan itu sekali, dua kali, lalu tanpa sadar ujung bibirnya tertarik ke atas. Ada sesuatu yang membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sensasi yang tak seharusnya dia rasakan, tetapi tetap saja mengalir deras dalam darahnya. Dia baru saja hendak membalas pesan itu ketika satu gambar menyusul. Sebuah foto. Seraphina, dalam balutan lingerie merah, berdiri di depan cermin dengan sorot mata tajam. Seolah sengaja ingin membakar habis sisa-sisa kendali yang Bramansyah miliki. Bramansyah segera menutup laptopnya dan meraih jaket yang tersampir di sandaran kursi. Tanpa banyak berpikir, dia keluar dari ruangannya dan berjalan dengan langkah tegap menuju tempat yang telah disebutkan Seraphina. *** Hotel itu berdiri megah di tengah kota, salah satu yang paling eksklusif. Bramansyah tahu, Seraphina bukan tipe wanita yang sembarangan memilih tempat. Dia selalu ingin yang terbaik, yang paling mahal, yang paling mewah. Saat tiba di lantai tujuh, dia tak repot-repot mengetuk pintu. Dia langsung memutar kenopnya dan mendorong pintu dengan satu tangan. Seraphina, yang tengah berdiri di dekat jendela, menoleh dengan tatapan terkejut. “Kok masuk gitu aja, sih?” protesnya, melipat tangan di d**a. Bramansyah menutup pintu di belakangnya dan mengunci dengan satu sentakan. Pandangannya turun, mengamati bagaimana lingerie itu melekat di tubuh wanita itu. Ia menarik napas dalam, menenangkan gejolak dalam dadanya. “Om kira udah enggak sabar,” ujar Bramansyah santai. Seraphina tersenyum kecil, lalu berjalan pelan ke arah meja dan mengambil sebuah map berwarna hitam. Dengan gerakan anggun, dia meletakkannya di atas meja di antara mereka. “Om mau aku, kan?” Seraphina bertanya, suaranya tenang tapi penuh tantangan. “Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus Om lakuin dulu.” Bramansyah menyipitkan mata, menatap map itu dengan penuh kewaspadaan. “Apa ini?” “Perjanjian,” jawab Seraphina tanpa basa-basi. “Aku enggak mau cuma jadi mainan Om. Kalau Om benar-benar mau aku, tanda tangan dulu.” Bramansyah terkekeh kecil. “Kamu pikir aku bakal nurut begitu aja?” Seraphina mengangkat bahunya. “Kalau enggak mau, silakan pergi. Aku enggak kekurangan pilihan.” Mata Bramansyah menajam. Wanita itu, yang tadinya adalah calon menantunya, kini berdiri di hadapannya, menantangnya dengan cara yang bahkan tak pernah dilakukan Luna. Seraphina adalah seseorang yang sulit ditaklukkan, dan itu membuatnya semakin ingin menaklukkan wanita itu. Dengan gerakan perlahan, Bramansyah meraih map itu dan membukanya. Matanya menyapu isi dokumen yang terdiri dari beberapa lembar halaman. Seraphina menunggunya dengan ekspresi tenang, sesekali mengetukkan jarinya di meja. “Aku enggak mau jadi yang kedua, apalagi sekadar hiburan,” katanya akhirnya. “Om harus bercerai. Harus tunjukin kalau aku yang Om pilih. Dan yang paling penting—” Seraphina tersenyum miring. “Om harus kasih aku saham perusahaan.” Bramansyah mendongak, menatap Seraphina lama. Lalu, tanpa peringatan, dia tertawa rendah. “Kamu benar-benar licik,” katanya akhirnya, masih tertawa kecil. Seraphina mengangkat alis. “Dan Om benar-benar laki-laki yang gampang ditipu perempuan. Tapi aku enggak bakal nipu Om. Aku cuma mau jaminan.” Bramansyah mengamati wanita di hadapannya, matanya berkilat penuh perhitungan. Seraphina bukan tipe yang bisa dipermainkan. Jika ingin memiliki wanita ini, dia harus bermain sesuai aturan yang ditentukan Seraphina sendiri. Dengan satu tarikan napas panjang, Bramansyah mengambil pena dari dalam sakunya. Seraphina tersenyum tipis melihat gerakan itu. “Kalau Om setuju, kita lanjut,” kata Seraphina, tangannya bergerak menyentuh dagu Bramansyah dengan lembut. Bramansyah hanya menatapnya lama sebelum akhirnya meletakkan ujung pena di atas kertas. “Kamu benar-benar licik, Sera.” Seraphina tersenyum lebar. “Aku belajar dari Arthur yang tukang selingkuh, aku nggak mau terulang dua kali.” Dan suara pena yang menggores kertas menjadi awal dari perjanjian yang akan mengubah segalanya. "Ayo, sekarang kita bisa mulai."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN