Seraphina terbangun dengan perasaan nyaman yang jarang ia rasakan akhir-akhir ini. Cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai menyorotkan sinarnya ke dalam kamar hotel, menambah kehangatan di udara yang masih dipenuhi sisa-sisa keintiman semalam.
Di sampingnya, Bramansyah masih terlelap, napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu damai. Untuk pria yang usianya jauh di atasnya, Bramansyah benar-benar tampan. Kulitnya masih kencang, garis rahangnya tegas, dan auranya tetap begitu memikat.
Seraphina menoleh sedikit, mengamati setiap detail wajah pria yang kini telah berjanji untuk tetap di sisinya. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibirnya.
"Gemas."
Ia pun mendekat, lalu mengecup pipi Bramansyah singkat.
Mata pria itu bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Tatapan tajamnya langsung mengunci Seraphina yang baru saja hendak menarik diri. Senyum nakal tersungging di bibirnya.
"Kamu goda Om terus, ya?" Suaranya masih serak karena baru bangun tidur.
Seraphina mengangkat bahu santai. "Aku cuma takjub aja sih, calon suamiku kok awet muda dan tampan banget."
Seketika wajah Bramansyah berubah. Ia menatap Seraphina dengan ekspresi yang sulit dijelaskan—antara terkejut, tersanjung, dan salah tingkah. Namun, tak lama kemudian, ia menarik Seraphina ke dalam pelukannya, erat.
"Om enggak akan nyakitin kamu," gumamnya, tangannya membelai rambut panjang Seraphina. "Om akan jaga kamu, setia sama kamu. Om janji."
Seraphina tertawa kecil. "Ya harus setia dong." Ia menarik diri sedikit dan menatap pria itu dengan mata penuh arti. "Kalau enggak setia, hartamu jatuh ke aku semua. Sesuai dengan yang udah Om tanda tangani."
Bramansyah terdiam sesaat sebelum akhirnya ikut tertawa kecil. "Pintar juga, ya, kamu."
Seraphina menyeringai. "Makanya jangan macem-macem."
Ia pun turun dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaiannya satu per satu. Saat dirinya sudah siap, ia berjalan mendekat, menunduk, dan menjatuhkan ciuman terakhir di bibir Bramansyah.
"Aku pergi dulu, Om," bisiknya.
Bramansyah hanya tersenyum tipis, membiarkan Seraphina pergi meninggalkannya.
***
Begitu sampai di parkiran, Seraphina sudah bersiap untuk masuk ke dalam mobilnya. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan menarik lengannya dengan kuat.
"Kenapa kamu bisa keluar dari hotel ini?!"
Seraphina menoleh dengan ekspresi datar. Arthur.
Dengan wajah tegang dan rahangnya yang mengeras, Arthur menatapnya penuh selidik. Matanya menyapu pakaian Seraphina, seakan mencari sesuatu yang bisa dijadikan bukti.
Seraphina mendesah. "Urusan pribadi. Dan yang jelas, itu bukan urusan kamu."
Arthur mencengkeram lengannya lebih erat. "Jadi kamu selingkuh? Kamu tidur sama pria lain?"
Seraphina menatapnya dingin. "Lucu ya, Arthur. Dulu aku yang lihat kamu keluar dari hotel kayak gini, sekarang giliran aku, kamu langsung nuduh."
Arthur menajamkan tatapannya. "Aku tadi malam ngikutin kamu."
Seraphina mendengus. "Aku enggak peduli."
"Aku nungguin kamu sampai kamu keluar dari sini," lanjut Arthur, emosinya semakin tak terkontrol. "Dan sekarang kamu mau bilang apa? Jangan-jangan kamu udah selingkuh sebelum kamu batalin pertunangan kita?"
Seraphina tertawa kecil, nada suaranya penuh ejekan. "Jadi? Kalau kamu bisa tidur sama wanita lain, kenapa aku enggak bisa?"
Arthur terdiam. Matanya melebar, seolah tak percaya bahwa Seraphina bisa mengucapkan hal itu dengan begitu enteng.
Tapi Seraphina tidak ingin berlama-lama di situ. Ia menepis tangan Arthur dari lengannya dan berjalan menuju mobilnya.
"Aku enggak perlu menjelaskan apa-apa ke kamu," katanya sebelum membuka pintu mobil. "Karena kita udah bukan siapa-siapa lagi."
Arthur masih terpaku di tempatnya, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan—marah, kecewa, atau mungkin sakit hati. Tapi Seraphina tidak peduli.
Ia masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Tanpa menoleh lagi, ia langsung melajukan kendaraannya, meninggalkan Arthur yang masih berdiri di sana.
***
Panas terik siang itu terasa menyengat, membuat siapa pun yang berdiri di luar akan merasa gerah. Namun, Arthur tetap berdiri tegap di depan kantor Seraphina. Matanya tak lepas menatap pintu masuk gedung, menunggu sosok wanita yang sejak tadi belum juga keluar.
Banyak karyawan yang berlalu-lalang, sebagian melirik ke arahnya dengan rasa ingin tahu. Bagaimanapun, Arthur adalah nama yang cukup dikenal, apalagi dalam kaitannya dengan Seraphina.
Dari dalam kantor, Seraphina melipat tangan di depan dadanya, menatap Arthur yang masih berdiri di luar dengan ekspresi datar. Ia bisa menebak dengan mudah alasan pria itu datang.
“Kenapa sih dia masih aja nyari aku?” gumamnya kesal.
Beberapa rekan kantornya juga memperhatikan. Salah satu dari mereka, meliriknya dengan tatapan penuh makna.
“Mau aku suruh satpam usir dia?” tanyanya santai.
Seraphina menghela napas panjang. “Enggak perlu. Aku bakal urus sendiri.”
Dengan langkah malas, ia akhirnya keluar dari kantor. Begitu matanya bertemu dengan Arthur, ia langsung menatapnya dingin.
“Apa lagi?” tanyanya tanpa basa-basi.
Arthur tak membuang waktu. Ia langsung meraih pergelangan tangan Seraphina dan menariknya mendekat. “Aku enggak mau batalin pertunangan kita.”
Seraphina mendengus. “Lucu. Aku sih udah batalin dari kemarin-kemarin.”
“Sera.” Suara Arthur melembut, “kita bisa memperbaiki semua ini.”
Seraphina menarik tangannya dengan kasar, melepaskan diri dari cengkeraman Arthur. “Dengar, Arthur. Aku udah enggak mau menikah sama kamu. Titik.”
Arthur menatapnya dalam. “Jadi kita impas, kan? Kamu juga tidur dengan pria lain.”
Seraphina terkekeh, nada tawanya penuh ejekan. “Bedanya, aku tidur dengan pria lain setelah aku putus dari kamu. Sedangkan kamu? Kamu selingkuh pas kita masih bertunangan.”
Arthur mengatupkan rahangnya. “Jadi kamu benar-benar punya hubungan sama pria lain?”
Seraphina mengangkat bahu acuh tak acuh. “Terus kenapa kalau iya?”
Arthur ingin membalas lagi, tetapi perdebatan mereka tiba-tiba terganggu oleh seseorang yang mendekat dengan ekspresi penuh amarah dan kesedihan.
Anya.
Wanita itu berdiri di hadapan mereka, tangannya terkepal, matanya merah karena menahan tangis.
Seraphina menyipitkan mata, merasa ada pertunjukan menarik yang akan segera terjadi.
“Arthur.” Suara Anya bergetar, “jadi selama ini kamu enggak baca pesan-pesan aku, tapi malah ke sini buat nemuin Seraphina?”
Arthur terdiam, terlihat tak nyaman dengan perhatian yang mulai tertuju kepada mereka. Beberapa karyawan yang keluar dari kantor mulai melambatkan langkah, tertarik dengan drama yang terjadi di depan mereka.
Anya yang sudah dikuasai emosi langsung menghampiri Arthur dan memukul dadanya berulang kali.
“Kamu b******k, Arthur!” teriaknya. “Aku pikir kamu serius sama aku! Aku pikir kamu milih aku! Tapi ternyata kamu masih ngejar-ngejar mantan tunanganmu?”
Arthur menggenggam pergelangan tangan Anya, menghentikan pukulannya. “Anya, jangan bikin drama di sini.”
“Drama?” Anya tertawa miris. “Jadi perasaan aku ini cuma drama buat kamu?”
Semua orang mulai berbisik-bisik. Seraphina hanya melipat tangan di depan d**a, menikmati bagaimana Arthur terjebak dalam kekacauan yang ia buat sendiri.
Anya menatap Arthur dengan mata penuh kemarahan dan kepedihan, lalu tanpa ragu, ia berteriak, “Biar semua orang tahu, aku hamil anak kamu, Arthur!”
Hening.
Seketika, suasana menjadi sunyi. Semua orang yang tadinya hanya memperhatikan dari jauh kini menoleh dengan ekspresi terkejut.
Arthur mematung. Raut wajahnya berubah drastis, antara syok dan frustasi. Sementara Seraphina menyeringai tipis, merasa semakin bersyukur karena telah lepas dari pria itu.
Sekarang, semuanya telah terbuka.
Dan Arthur tidak bisa lari dari konsekuensinya.
"Mending kamu tanggung jawab ke Anya, aku tetap nggak mau nikah sama tukang selingkuh, pertunangan kita tetap batal!"