Malam itu, Arthur dan Anya bertemu di apartemen Anya. Suasana tegang menyelimuti ruangan, udara terasa berat dengan kemarahan yang tak terbendung. Arthur berjalan mondar-mandir di ruang tamu, rahangnya mengatup keras, pikirannya kalut. Anya duduk di sofa, matanya masih sembab setelah menangis sejak tadi. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang terus mengguncang dadanya. Arthur akhirnya berhenti melangkah dan menatap Anya tajam. “Kenapa kamu harus ngomong kayak gitu di depan semua orang tadi?” Suaranya rendah, tapi penuh ancaman. Anya mengangkat wajahnya, matanya merah. “Karena aku udah capek, Arthur! Capek jadi perempuan yang selalu kamu sembunyikan! Kamu ngejar-ngejar Sera seolah aku enggak ada. Seolah aku ini cuma—” “Karena aku butuh dia!” potong Arthur dengan suara keras, m