Arthur membuka pintu rumah dengan sedikit tenaga yang tersisa. Matanya langsung menangkap sosok Bramansyah yang duduk di sofa, laptop terbuka di pangkuannya, sementara tangan kanannya menggenggam gelas kopi yang sepertinya sudah hampir habis.
Langkah Arthur melambat. Ia tak yakin ingin berbicara sekarang, tetapi jika tidak sekarang, kapan lagi? Namun, sebelum ia sempat bersuara, ayahnya sudah lebih dulu mendongak dan menatapnya.
“Mau ngomong apa?” Bramansyah bertanya tanpa basa-basi, seolah sudah tahu isi kepalanya.
Arthur menghela napas, lalu melangkah lebih dekat dan duduk di seberang ayahnya. Ia menatap meja di antara mereka, berusaha menyusun kata-kata yang tepat. “Nggak bisa diperbaiki lagi, ya?”
Bramansyah menutup laptopnya dengan satu tangan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. Ekspresinya dingin, nyaris tanpa emosi. “Nggak ada yang perlu diperbaiki.”
Arthur menggigit bibirnya. “Tapi … gimana kalau Ibu bisa berubah?”
Bramansyah menatapnya lama sebelum akhirnya tertawa kecil. Tawa itu bukan tawa yang menyenangkan, melainkan penuh dengan nada mengejek. “Kamu pikir orang kayak dia bisa berubah? Dia udah berkali-kali ngelakuin hal yang sama. Udah cukup.”
Arthur menelan ludah, tangannya mengepal di pangkuannya. “Tapi dia tetap Ibu .…”
“Ibu yang mana?” potong Bramansyah cepat. “Yang ngaku pergi perjalanan bisnis tapi ternyata tidur sama laki-laki lain? Yang bohong sama suaminya bertahun-tahun?”
Arthur menunduk. Ia tahu semua itu benar, tapi tetap saja, ini ibunya. “Aku cuma pengen keluarga kita utuh, Yah .…”
Bramansyah mendengus. “Keluarga? Keluarga kayak gimana? Kamu pikir kita masih bisa balik ke kehidupan kayak dulu? Bangun pagi, sarapan bareng, ngobrol kayak nggak ada yang terjadi?”
Arthur menggeleng. “Aku nggak bilang kayak gitu. Aku cuma pengen ada kesempatan buat nyelesain ini tanpa harus bercerai.”
Bramansyah mendengus. “Dengar, Arthur.” Suaranya berat, penuh ketegasan. “Aku udah cukup sabar. Aku diem bertahun-tahun. Aku tutup mata karena aku pikir mungkin aku salah. Tapi sekarang? Bukti ada di depan mata.”
Arthur mengangkat kepala, menatap ayahnya yang sekarang mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya tajam.
“Kamu terlalu membela Luna.”
Arthur terdiam. Ia ingin menyangkal, tapi bukankah itu memang yang sedang ia lakukan?
“Aku nggak ngebela siapa-siapa,” katanya akhirnya. “Aku cuma … nggak mau kita tercerai-berai kayak gini.”
Bramansyah menyipitkan matanya, menilai Arthur dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kalau kamu masih lebih memilih dia daripada aku, lebih baik kamu keluar dari rumah ini.”
Arthur menegang. “Apa?”
“Kamu denger sendiri.” Nada Bramansyah terdengar datar, tapi dingin. “Kalau kamu terus ngebela Luna, itu artinya kamu berdiri di pihaknya. Aku nggak butuh orang yang nentang aku di rumah ini.”
Arthur membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Ia menatap ayahnya, mencari tanda-tanda bahwa pria itu mungkin sedang bicara dalam emosi, mungkin hanya sedang marah dan tidak benar-benar bermaksud mengatakan itu. Tapi Bramansyah tidak menunjukkan tanda-tanda menarik ucapannya.
Arthur tertawa kecil, lebih kepada dirinya sendiri. “Jadi gitu, ya? Aku harus milih?”
Bramansyah tak menjawab, hanya menatapnya seolah itu sudah cukup sebagai jawaban.
Arthur mengepalkan tangannya. Kepalanya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan, tapi tak satu pun terasa seperti pilihan yang benar. Ia ingin membela ibunya, tapi ia juga tak ingin kehilangan tempat di sisi ayahnya.
Ia menarik napas dalam, lalu berdiri. Tapi belum sempat dia melontarkan kalimat lagi, dia sudah mendapat telepon dari seseorang yang dia kenal sebagai tunangannya.
"Halo, ada apa, Sera?" tanya Arthur.
Tak ada jawaban dari Seraphina, melainkan Arthur mendengar suara tangisan.
"Arthur, tolong aku ... Seraphina sudah tahu semuanya."
***
Langit sore mulai meredup, menggelapkan sudut-sudut kota dengan cahaya jingga yang hampir hilang. Di parkiran belakang gedung perkantoran, Seraphina berdiri tegak dengan wajah penuh kejengkelan. Napasnya sedikit memburu, menahan diri agar tidak meledak. Namun, kesabarannya benar-benar diuji ketika Anya tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dengan kasar, menariknya hingga hampir membuatnya terjatuh.
"Apa-apaan sih kamu?!" bentak Seraphina, matanya menyala tajam menatap perempuan yang berdiri di hadapannya.
Anya tidak mengendurkan cengkeramannya. Wajahnya penuh emosi, bibirnya bergetar menahan amarah. "Jelasin maksudmu tadi!" serunya dengan nada tinggi. "Apa maksudmu bilang sepupumu juga suka sama Arthur? Kamu sengaja, ya?!"
Seraphina mendengus, lalu menarik tangannya dengan kasar hingga lepas dari genggaman Anya. "Aku nggak punya urusan lagi sama kamu. Arthur itu udah bukan urusanku, terserah kamu mau ngapain sama dia!"
"Tapi kenapa kamu bilang soal Elara?!" Anya masih tak terima, matanya membulat penuh dengan amarah. "Apa kamu sengaja bikin aku makin susah?! Aku pikir masalahku cuma kamu, tapi ternyata ada lagi penghalangnya!"
Seraphina menatap Anya dengan penuh ejekan, lalu menyilangkan tangan di depan d**a. "Aku nggak bisa ngatur orang mau suka sama siapa, Anya. Kalau Elara suka Arthur, itu bukan urusanku. Lagian, kamu harusnya seneng aku udah kasih Arthur ke kamu. Harusnya kamu berterima kasih."
"Berterima kasih?!" Anya tertawa sarkastik. "Gimana aku mau tenang kalau ada Elara juga?! Aku udah cukup stres karena kamu, sekarang ada satu lagi yang harus aku pikirin!"
Seraphina mengangkat alis, ekspresi bosannya semakin terlihat. "Itu masalahmu, bukan masalahku. Aku udah berbaik hati kasih Arthur ke kamu, tapi kalau kamu nggak puas, ya bukan urusanku."
Anya menggigit bibirnya, lalu tanpa peringatan menarik tangan Seraphina sekali lagi, lebih kuat hingga Seraphina meringis kesakitan.
"Anya!" Seraphina menggeram, tubuhnya terhuyung sedikit karena tarikan yang kasar itu. Rasa nyeri menjalar dari pergelangan tangannya yang dicekal erat.
Anya masih belum melepaskan tangannya, matanya penuh amarah. "Kamu emang cewek licik! Kamu pikir aku bakal percaya sama omonganmu? Kamu pasti masih mau rebut Arthur dari aku!"
Kesabaran Seraphina benar-benar habis. Dengan cepat, ia mengangkat tangannya dan menjambak rambut Anya dengan kuat, menarik kepala perempuan itu ke bawah. Anya berteriak kaget, tubuhnya langsung berlutut karena tarikan keras Seraphina.
"Aku udah baik-baik kasih Arthur ke kamu, tapi kamu malah kurang ajar!" Seraphina mendesis, jemarinya masih menekan rambut Anya yang kusut akibat jambakan itu.
Anya meronta, tapi Seraphina lebih kuat. "Lepasin, Sera! Kamu gila!"
Seraphina mencibir. "Oh, aku lebih dari gila kalau ada cewek murahan kayak kamu yang berani main tangan sama aku!"
Dan tanpa banyak berpikir, Seraphina mengayunkan tangannya ke wajah Anya. Suara tamparan menggema di antara kesunyian parkiran. Kepala Anya terhempas ke samping, pipinya memerah seketika.
"Aku muak sama perempuan nggak tahu diri kayak kamu!" geram Seraphina.
Anya terisak, masih dalam posisi berlutut sambil meraba pipinya yang panas akibat tamparan itu.
Seraphina menarik napas dalam, lalu tiba-tiba ide muncul di kepalanya. Dengan senyum mengejek, ia mengeluarkan ponselnya dari saku dan mulai menekan layar.
"Aku rasa Arthur harus tahu kalau selingkuhannya dalam masalah," ucapnya dengan nada santai, lalu menekan panggilan.
Anya menatapnya dengan mata membesar. "Sera! Jangan!"
Terlambat. Sambungan sudah terhubung, dan setelah beberapa detik, suara Arthur terdengar di seberang.
"Arthur, tolong aku ... Seraphina sudah tahu semuanya."
"Halo?"
"Hai, tunanganku," Seraphina berkata dengan nada penuh sarkasme. "Kamu bisa ke parkiran belakang kantor sekarang? Selingkuhanmu butuh bantuan."
Di ujung sana, Arthur terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara tegang. "Sera, kamu kenapa?! Kamu ketemu Anya?"
"Udah, dan aku pikir kamu harus segera ke sini sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran."
Seraphina menutup telepon tanpa menunggu jawaban. Ia menatap Anya yang masih terdiam di lantai, air matanya mengalir deras.
"Selamat, Arthur bakal segera ke sini," ucap Seraphina dengan nada dingin. "Sekarang kita lihat gimana reaksi dia."
20 menit kemudian, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar. Arthur muncul dari balik gedung dengan wajah panik. Saat matanya menangkap Anya yang masih terduduk di lantai dan Seraphina yang berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin, ia langsung tahu bahwa segalanya telah terungkap.
"Sera ...." Arthur mendekat, napasnya memburu. "Apa yang kamu lakukan?"
Seraphina menyeringai, lalu melipat tangan di depan d**a. "Harusnya aku yang tanya, Arthur. Apa yang kamu lakukan?"