Bab 6. Sengaja

1022 Kata
Arthur menekan rem perlahan ketika mobilnya memasuki area parkir apartemen mewah yang ia sewa untuk ibunya. Suasana di dalam mobil terasa berat, seolah udara di dalamnya dipenuhi beban yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Luna menatap kosong ke arah luar jendela, matanya masih sembab setelah tangisnya tadi. Arthur menghela napas panjang sebelum akhirnya bertanya, "Gimana Ayah bisa dapet video itu, Bu?" Luna menoleh pelan ke arah putranya, lalu menggeleng lemah. "Ibu juga nggak tahu, Arthur," katanya, suaranya terdengar letih. "Ibu udah hati-hati banget, nggak mungkin ada yang tahu, lagipula siapa yang bisa ngaruh kamera di kamar hotel, pasti ada yang mengincar Ibu, atau ayahmu sudah curiga dari lama ...." Arthur mengetukkan jarinya ke setir, pikirannya bercabang. "Kalau udah kayak gini, rencana kita buat nguasain harta Ayah jadi kacau," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Luna tersenyum kecil, senyum yang mengandung ketenangan palsu. "Belum tentu," katanya, lalu menatap Arthur penuh arti. "Bramansyah cuma tahu Ibu selingkuh. Dia belum tahu yang lebih penting ...." Arthur mengernyit. "Maksud Ibu?" Luna mengusap wajahnya, lalu menatap putranya dengan sorot mata tajam. "Dia belum tahu kalau kamu bukan anak kandungnya, Arthur. Itu berarti kita masih punya peluang." Arthur terdiam. Matanya menatap lurus ke depan, mencerna ucapan ibunya. "Lagipula, selama Ibu nggak ada di rumah, kamu masih bisa manfaatin Bramansyah," lanjut Luna. "Rayu dia, bikin dia percaya penuh sama kamu. Kalau bisa, pastikan dia menurunkan perusahaan atas nama kamu." Arthur menghela napas. "Tapi Bu, apa rencana itu bakal berhasil?" Luna menyentuh tangan Arthur, menatapnya dengan keyakinan penuh. "Kita nggak punya pilihan lain. Ibu udah kehilangan tempat di rumah itu, sekarang satu-satunya cara adalah lewat kamu, untungnya cuma Ibu yang dia curigai, bukan kamu. Jadi kamu masih punya peluang untuk merampas seluruh hartanya." Arthur menunduk, pikirannya berkecamuk. Ia tahu ibunya ambisius, tapi ini berisiko. Jika Bramansyah sampai tahu kenyataan sebenarnya, mereka bisa kehilangan segalanya. "Oh, iya ... kamu bisa menggunakan pernikahan Sera sebagai alasan. Kamu tinggal bilang kalau ingin memberikan kehidupan yang lebih layak untuk Sera dengan mengolah perusahaan juga meminta saham yang besar di sana." Ide dari ibunya terdengar bagus juga, karena sebelumnya Arthur mendekati Seraphina karena dia tahu Sera sudah yatim piatu, tapi memiliki perusahaan peninggalan orang tuanya yang besar yang suatu saat akan jatuh juga ke tangan Seraphina. Pikiran Arthur jika dia mendapatkan perusahaan Seraphina dan perusahaan Bramansyah, sudah pasti dia akan jadi kaya raya. "Ide bagus itu, tapi kita harus menundanya dulu," kata Arthur. "Lagipula," Luna menambahkan, "sekarang prioritas kita adalah mencegah ayahmu buat menceraikan Ibu. Kalau sampai perceraian ini resmi, semuanya bakal makin susah." Arthur mengangguk pelan. "Ya … mungkin aku bisa coba bujuk Ayah nanti," katanya. "Tapi Bu, yang penting sekarang jangan ketemu sama Papa Arlo dulu." Luna terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk. "Ibu nggak akan ketemu dia untuk sementara waktu," ucapnya. "Tapi ibu tetap harus kasih tahu dia soal ini." Arthur mendesah. "Jangan sampai ada yang curiga, Bu." Luna tersenyum tipis. "Ibu tahu harus gimana." Arthur hanya diam. Ia tidak yakin rencana ini bisa berjalan mulus, tapi ia juga tahu mereka tidak punya pilihan lain. Jika tidak hati-hati, semuanya bisa berantakan lebih cepat dari yang mereka kira. *** Langit mulai meredup saat Seraphina melangkah menuju meja kerja Anya. Lampu-lampu di kantor perlahan menyala, menggantikan cahaya matahari yang mulai tenggelam. Beberapa karyawan sudah pulang, hanya menyisakan segelintir orang yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Namun, Seraphina tidak peduli. Fokusnya hanya satu: Anya. Anya yang tengah merapikan dokumen di mejanya mendongak ketika merasakan kehadiran Seraphina. Ekspresinya tampak bingung. "Sera?" panggilnya ragu. Seraphina menyilangkan tangan di depan d**a. Tatapannya tajam, menusuk langsung ke mata Anya. "Aku mau bicara," ucapnya tegas. Anya menatapnya dengan ragu. "Bicara soal apa?" Seraphina menoleh ke sekitar, memastikan mereka tidak menjadi pusat perhatian. "Di tempat lain," katanya singkat. Anya tampak semakin gelisah, tapi tetap mengangguk. Mereka berjalan keluar kantor tanpa berkata-kata, hanya ada suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong. Saat sampai di area parkiran yang mulai lengang, Seraphina bersandar pada mobilnya. Suasana di sekitar terasa hening, hanya sesekali suara klakson mobil terdengar dari kejauhan. Seraphina menatap Anya lama sebelum akhirnya membuka suara. "Aku sudah tahu semuanya." Anya mengerutkan kening. "Maksud kamu?" tanyanya, berusaha tetap tenang meskipun napasnya terasa berat. Seraphina menyeringai kecil. "Kamu ngerti maksudku. Aku tahu kamu selingkuhan Arthur." Seketika wajah Anya berubah pucat. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tapi ia berusaha menjaga ekspresi tetap datar. "Sera, kayaknya kamu salah paham," ujarnya dengan suara sedikit gemetar. "Aku sama Arthur tuh—" Seraphina tertawa kecil, tawa yang terdengar sinis dan menyebalkan. "Udah, nggak usah pake alasan," katanya santai. "Aku nggak bodoh, Anya. Ngaku aja, biar gampang." Anya menggigit bibirnya, berusaha menyusun kalimat yang tepat untuk membela diri. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Seraphina melanjutkan. "Kamu tahu dia sudah tunangan, tapi masih juga jadi selingkuhannya." Seraphina menggeleng pelan, nadanya terdengar seperti sedang menilai sesuatu yang sangat menjijikkan. "Murahan banget, Anya. Kamu nggak punya harga diri?" Anya terperanjat, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku suka sama Arthur dari dulu!" serunya, suaranya bergetar penuh emosi. "Aku kenal dia sebelum kamu kenal dia! Harusnya aku yang ada di posisi kamu, bukan kamu!" Seraphina tersenyum miring, tanpa sedikit pun menunjukkan belas kasihan. "Oh ya? Kalau gitu kenapa Arthur nggak milih kamu? Kenapa dia tetep ngelamar aku?" Anya terdiam. Ia tidak bisa menjawab, karena ia pun tahu jawabannya. Seraphina melangkah mendekat, menatap Anya dari atas ke bawah dengan tatapan meremehkan. "Karena kamu nggak berarti apa-apa buat dia, Anya." Tangan Anya gemetar. Bahunya naik turun, mencoba menahan isak tangis yang ingin pecah. Seraphina menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada lebih ringan, seolah memberi solusi, "Tapi tenang aja. Aku bakal kasih Arthur ke kamu dengan ikhlas. Aku nggak tertarik." Anya mendongak, matanya berbinar penuh harap. "Tapi ada satu masalah," lanjut Seraphina, menyeringai. "Kamu harus siap bersaing." Kening Anya berkerut. "Maksud kamu?" "Sepupuku juga ngincer Arthur." Ekspresi Anya kembali menegang. Seketika, hatinya yang sempat dipenuhi harapan kembali mencelos. Seraphina tertawa kecil sebelum berbalik menuju mobilnya. "Silakan rebut Arthur, kalau kamu bisa," katanya sebelum membuka pintu mobil. Anya hanya bisa berdiri terpaku, perasaannya bercampur aduk antara malu, marah, dan ketakutan. Sejak awal, ia sudah kalah dalam permainan dengan Arthur. "Maksud kamu apa, Sera?! Kamu sengaja buat aku berharap ya ...?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN