Bab 5. Sudah Diusir

1064 Kata
Arthur berdiri di hadapan ayahnya, rahangnya mengatup erat, napasnya memburu. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, mencoba menahan gejolak emosi yang bergulung di dalam dadanya. Di meja, ponsel Bramansyah masih menyala, menampilkan video yang membuat semua kenyataan terbuka tanpa celah untuk disangkal. "Ayah .…" Suara Arthur sedikit bergetar, tapi ia tetap berusaha tegar. "Ini mungkin aja cuma salah paham." Bramansyah yang sedang bersandar di sofa langsung tertawa pendek, namun tanpa sedikit pun nada humor. Ia menatap Arthur tajam, seakan menunggu apakah anak itu benar-benar serius dengan ucapannya barusan. "Salah paham?" Bramansyah mendengus, lalu menyilangkan tangan di d**a. "Arthur, kamu liat sendiri tadi. Itu salah paham menurutmu?" Arthur membuka mulutnya, ingin berkata sesuatu, tapi kepalanya masih penuh dengan penolakan. "Mungkin aja ada penjelasan lain, Yah," ucapnya, meskipun dalam hati ia sendiri tidak yakin dengan kata-katanya. "Penjelasan?" Bramansyah mengangkat alis. "Kamu pikir video itu rekayasa? Atau mungkin ibumu cuma lagi ngobrol bisnis di ranjang sama laki-laki lain?" Arthur terdiam. Ia tahu ayahnya benar, tapi ia masih berusaha mencari celah untuk membela ibunya. Luna, yang sejak tadi menangis, akhirnya angkat suara. "Arthur, jangan dengerin Ayah kamu! Kamu harus bela Ibu karena Ibu bisa menjelaskannya." Bramansyah mendadak mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Luna dengan sorot mata penuh penghinaan. "Jelasin apa lagi, Luna?" suaranya dingin. "Kamu mau ngomong apa? Kalau kamu ke Bali buat bisnis, padahal buat tidur sama laki-laki lain? Mau bilang itu juga salah paham?" Luna menunduk, tidak lagi punya jawaban. Arthur menelan ludah, merasa dadanya semakin sesak. "Tapi, Ayah … kasih Ibu kesempatan, dong," katanya akhirnya. "Mungkin dia nyesel … semua orang bisa khilaf, kan?" Bramansyah mendengus sinis. "Kesempatan?" Ia menatap putranya dengan penuh sindiran. "Arthur, kamu denger baik-baik. Ini bukan sekali. Bukan dua kali. Bukan tiga kali. Ibumu udah selingkuh berkali-kali. Aku udah tutup mata lama banget. Tapi ini cukup. Aku nggak bakal kasih kesempatan lagi buat perempuan kayak dia." Arthur terdiam. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia pakai untuk membela ibunya. Bramansyah menatap Arthur lebih lama. Dalam hatinya, ia ingin sekali menyingkirkan anak ini dari hidupnya. Ia tahu Arthur bukan darah dagingnya. Anak ini bukan siapa-siapa, hanya benalu yang siap menghabiskan harta yang bukan miliknya. Tapi untuk saat ini, ia masih bersabar. Seraphina punya rencana sendiri, dan Bramansyah tidak akan merusaknya. "Aku udah ambil keputusan," katanya akhirnya. "Dan nggak ada yang bisa ganggu gugat. Luna, kamu beresin barang-barangmu. Sebelum perceraian ini resmi, aku nggak mau kamu tinggal di rumah ini lagi." Luna terisak keras. "Bram … Kumohon." "Tidak ada gunanya memohon," potong Bramansyah dingin. "Pergi." Luna menutupi wajahnya, menangis tanpa bisa berkata-kata lagi. Arthur hanya berdiri di tempatnya, padahal baru kemarin mereka menghabiskan waktu keluarga, tapi semuanya kacau begitu ayahnya tahu apa yang terjadi. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Semuanya sudah berakhir terasa sudah berakhir. *** Seraphina baru saja memasuki kamarnya ketika pintu terbuka dengan kasar. Ia menoleh, dan di ambang pintu berdiri Elara dengan ekspresi puas seolah baru saja menang lotre. Seraphina menghela napas, matanya menatap Elara malas. "Mau apa?" tanyanya datar. "Gue lagi capek, nggak mood ribut sama lo." Elara tertawa kecil, senyum mengejek terpatri di wajahnya. "Kenapa? Takut citra lo jelek?" Ia melipat tangan di depan d**a. "Lo itu perempuan nggak bener, Sera. Pulang pagi kayak gini … apa nggak malu? Mau jadi apa sih lo?" Seraphina tidak merespons, hanya berjalan menuju tempat tidurnya dan duduk sambil memainkan ponselnya. Dia lebih tepatnya tidak peduli dengan apa yang sepupunya katakan karena baginya terdengar tidak berbobot. Melihat sikap Seraphina yang seolah tidak peduli, Elara semakin panas. "Padahal lo udah tunangan sama Arthur, ya? Dikit lagi mau nikah, tapi masih keluyuran nggak jelas. Lo kira lo siapa? Wanita terhormat? Yang ada malah orang-orang ngecap lo wanita ga bener, tapi memang keliatan ga bener sih sekarang." Seraphina tetap tidak menoleh, jarinya terus menggulir layar ponsel. Seakan kehidupannya lebih penting dari pada mendengar ocehan sepupunya. Elara mendengus kesal. "Kasihan banget Arthur, ya. Harus nikah sama cewek kayak lo. Pasti nyesel dia!" Kali ini, Seraphina akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Elara dengan tatapan dingin. "Oh? Lo peduli banget sama Arthur?" Ia menyeringai. "Bilang aja lo yang pengen jadi tunangannya. Tapi ya, sayang banget … Arthur lebih milih gue daripada lo. Oh bukan milih, karena memang dari awal lu ga pernah dilirik, sih. Muka sama hati lu jelek, makanya jadi orang kalau muka jelek minimal hati jangan jelek juga." Wajah Elara menegang. "Gue cuma kasihan sama dia. Lo tuh bukan perempuan yang baik! Sedangkan dia dari keluarga terhormat, apalagi bapaknya pengusaha besar!" Seraphina terkekeh, lalu bersandar santai di tempat tidurnya. "Terus, lo pikir lo perempuan baik?" ujarnya sinis. "Lo cuma cewek miskin yang punya keluarga nggak tahu diri, numpang hidup di rumah gue. Kalau Arthur harus kasihan, harusnya dia lebih kasihan kalau nikah sama lo. Udah miskin, kampungan, nggak tahu diri pula." Elara tersentak, wajahnya merah padam karena amarah. "Setidaknya gue bukan perempuan murahan!" Seraphina tertawa pelan, kemudian menatap Elara dengan pandangan menantang. "Gue pernah jual diri di mana sampai lo bisa bilang gue murahan?" Elara terdiam. Tidak bisa menjawab. Seraphina mendengus. "Justru gue yang liat lo masuk hotel sama beberapa dosen tahun lalu. Gue yang lihat dengan mata kepala gue sendiri." Mata Elara membelalak. "Lo—lo fitnah gue!" Seraphina menaikkan alisnya, masih dengan senyum santai. "Fitnah? Yakin?" Elara semakin gelisah, tetapi ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk membantah. Seraphina mendengus, lalu bangkit berdiri, berjalan mendekati Elara. "Denger, kalau lo mau Arthur, ambil aja. Gue nggak peduli. Rebut dia dari gue." Elara mengepalkan tangan, bibirnya bergetar menahan emosi. Tapi tidak ada lagi kata yang bisa ia lontarkan. Dengan kesal, ia membanting pintu kamar Seraphina dengan keras, meninggalkan ruangan tanpa menang dalam perdebatan itu. Seraphina tersenyum tipis sambil duduk kembali di tempat tidurnya. "Silakan rebut Arthur," gumamnya pelan. "Karena gue udah tahu dia bukan anak kandung Bramansyah. Lo itu bukan mau Arthur … lo cuma ngincer hartanya, biar keluarga lo bisa hidup enak dan keluarga lo bisa buang gue gitu aja." Ia kembali menatap layar ponselnya, tidak lagi peduli dengan sepupunya yang pergi dengan amarah. Ponselnya mendapatkan notifikasi dari pesan yang masuk. Seraphina membukanya dan pesan itu dari Bramansyah. Om Bram: dia sudah aku usir dari rumah dan aku tidak tinggal di rumah. Seraphina senang, tapi juga masih kesal. Dia membanting dirinya ke ranjang. "Duh ... kenapa sih Ayah pake syarat suruh nikah segala, padahal tinggal serahin aja perusahaan. Apes banget malah dapat calon suami kea Arthur, nyesel kenal dia."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN