Bab 4. Tidak Tahu Diri

1149 Kata
Seraphina turun dari mobil dengan langkah santai, meski kepalanya terasa berat setelah malam panjang yang dihabiskannya bersama Bramansyah. Udara dini hari masih dingin, tapi rumahnya sudah terang benderang, menandakan seseorang sudah menunggunya dengan penuh amarah. Dan benar saja. Baru juga sampai di depan pintu, suara nyaring yang sudah terlalu akrab di telinganya langsung menghantam dari dalam rumah. "Perempuan macam apa pulang pagi buta begini?! Kau kira rumah ini tempat keluar masuk sesukamu?!" Seraphina menghela napas panjang sebelum mendongak, mendapati bibinya, Zahara, berdiri di ambang pintu dengan wajah masam. Rambutnya berantakan, ekspresinya penuh kebencian. "Semalaman nggak pulang, hah?! Kau pikir bisa bebas berbuat sesuka hati?! Memalukan! Padahal sudah mau menikah!" Seraphina hanya diam. Matanya menatap Zahara dengan datar, malas menanggapi. Tapi perempuan paruh baya itu tetap melanjutkan ocehannya. "Padahal aku udah janji sama kakakku buat jagain kamu! Tapi lihat sekarang?! Jadi perempuan nggak bener!" Tawa kecil keluar dari bibir Seraphina—bukan tawa geli, tapi tawa sarkastik yang penuh sindiran. Ia melipat tangannya di d**a, menatap bibinya dengan tatapan yang membuat wanita itu semakin mendidih. "Jagain aku?" ulangnya dengan nada mengejek. "Bibi tinggal di sini bukan buat jagain aku. Bibi cuma mau hidup enak, numpang di rumah ini." Zahara langsung naik pitam. Wajahnya merah padam, dan matanya melotot penuh amarah. "Kurang ajar kau, Sera! Aku sama suamiku udah susah payah rawat kamu sejak kecil! Tapi begini balasanmu?! Kamu nggak tahu diri!" Seraphina mendengus, lalu mendekatkan wajahnya ke arah bibinya. "Yang nggak tahu diri itu kalian," katanya dingin. "Udah hidup numpang, masih juga bersikap seolah-olah ini rumah kalian. Elara lulus kuliah aja pakai asuransi Ayah, karena suami Bibi nggak mampu biayain anak sendiri." Zahara tertegun. Wajahnya yang tadi merah karena marah kini memucat. Seraphina tahu ucapannya tepat sasaran. Seketika, tangan Zahara terangkat tinggi, siap melayang ke wajahnya. Tapi Seraphina sama sekali nggak mundur. Ia justru menegakkan tubuhnya dan menatap Zahara penuh tantangan. "Ayo, tampar aku," katanya santai. "Biar aku punya alasan buat jeblosin Bibi ke penjara." Tangan Zahara langsung berhenti di udara. Mata perempuan itu berkedip beberapa kali, seolah baru sadar dirinya hampir masuk perangkap. "Kamu ... kamu memang anak durhaka!" desisnya penuh kebencian. "Kalau kakakku masih hidup, dia pasti bakal ngasih kamu pelajaran!" Seraphina tertawa kecil lagi, tapi kali ini penuh dengan rasa jijik. Ia melangkah melewati Zahara, membuka pintu rumah, dan berjalan masuk tanpa rasa gentar sedikit pun. "Kalau Mama masih hidup, Bibi dan keluarga Bibi nggak bakal bisa tinggal di sini, apalagi berusaha rebut perusahaan Ayah. Kalian menjijikan tahu, enggak? Aku sampai merinding liat orang malas tapi mau dapat uang banyak." "Jaga ucapamu, Sera. Kamu pikir aku di sini enak-enakan saja. Aku juga mengurus rumah dengan baik dan juga mengurus semua keperluanmu! Memang kamu pikir kamu bisa hidup sendiri, hah?!" balas Zahara. Seraphina tersenyum menyindir. "Bukannya bibi seharian hanya berleha-leha, yang mengurus rumah dan keperluanku itu ada pembantu. Lagipula aku bisa hidup tanpa kalian, jangan berpikir aku akan mati juga tak ada kalian, kalau begitu silahkan keluar untuk membuktikannya, aku akan sangat bahagia tanpa kalian!" Zahara hanya bisa terdiam. Mulutnya masih bergerak, mungkin masih mencoba mencari kata-kata untuk menyerang balik, tapi Seraphina sudah tidak peduli. Tanpa membuang waktu, ia langsung naik ke lantai atas, masuk ke kamarnya, dan mengunci pintu. Kepalanya sudah cukup pusing. Dan ia tahu, drama ini masih jauh dari selesai. *** Bramansyah duduk di sofa ruang tamunya, satu tangan menyangga kepalanya, sementara tangan lain menggenggam gelas wiski yang isinya nyaris tak tersentuh. Pikirannya melayang, kembali ke beberapa jam yang lalu—ke kamar hotel itu. Matanya terpejam saat bayangan Seraphina memenuhi benaknya. Wajahnya yang cantik, bibirnya yang sempat menyatu dengan miliknya dalam ciuman yang tak seharusnya terjadi. Sentuhan hangat, desir napas, dan tatapan penuh kebingungan gadis itu masih terasa di kulitnya. Bramansyah menghela napas panjang. Dia tahu ini salah. Dia tahu Seraphina adalah calon menantunya, tunangan putranya sendiri. Tapi apa yang bisa dia lakukan jika perasaannya sudah sejak lama terlanjur jatuh pada gadis itu? Sejak pertama kali melihatnya, dia tahu ada sesuatu yang berbeda dalam diri Seraphina—sesuatu yang tak pernah bisa ia abaikan. Dan tadi malam, dia kehilangan kendali. Sial. Bramansyah menegakkan tubuhnya, meneguk wiski dalam satu tarikan napas. Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuyarkan lamunannya. "Luna?" Istrinya, Luna, masuk dengan senyum yang seperti biasa. Anggun, ramah, seolah dia adalah istri yang sempurna. Matanya berbinar saat melihat suaminya, seakan-akan dia baru saja pulang dari perjalanan panjang dan merindukan kehangatan rumah. "Sayang, aku pulang," sapanya dengan manis. Tapi Bramansyah tidak menjawab. Wajahnya dingin, matanya penuh ketegasan. Tanpa basa-basi, dia mengangkat tangannya dan menyodorkan setumpuk kertas. Luna mengernyit. "Apa ini?" Bramansyah menatapnya tajam. "Surat gugatan cerai." Seketika, senyum di wajah Luna menghilang. Matanya membulat, penuh keterkejutan dan kepanikan. "Apa?" "Aku ingin kita bercerai." Luna tertawa kecil, meski terdengar gugup. "Kamu bercanda, kan? Kenapa tiba-tiba begini? Aku baru pulang dari perjalanan bisnis, dan kamu—" "Aku sudah tahu semuanya, Luna." Luna terdiam. "Aku sudah tahu semua perselingkuhan yang kamu lakukan." Rona wajah Luna berubah drastis. Seketika, kepanikan menggantikan kepura-puraannya. "Itu tidak benar!" serunya cepat. "Aku tidak pernah selingkuh! Bram, kamu pasti salah paham—" Bramansyah tersenyum miring. Senyum yang dingin. Ia mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video, lalu melemparkan ponsel itu ke meja di depan mereka. Luna melirik layar ponsel itu—dan seluruh darahnya seperti menghilang dari wajahnya. Dalam layar itu, tampak dirinya. Tanpa busana. Dengan seorang pria yang bukan suaminya. Luna mundur selangkah. Napasnya tercekat. "Bram … aku bisa jelaskan." "Jelaskan?" Bramansyah terkekeh sinis. "Video ini sudah cukup buat aku mengakhirinya, Luna." Luna langsung berlutut di depan suaminya, tangannya meraih tangan Bramansyah dengan putus asa. "Aku minta maaf! Aku khilaf! Aku nggak akan ulangi lagi! Aku janji!" Bramansyah menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca. Ia menarik tangannya, lalu berdiri, menjauh dari Luna seolah keberadaan wanita itu membuatnya muak. "Aku nggak bisa lagi, Luna," katanya dingin. "Aku nggak bisa melanjutkan pernikahan ini." Tangisan Luna pecah. "Bram, kumohon! Kumohon jangan lakukan ini! Aku masih mencintaimu! Aku menyesal!" Tapi Bramansyah tetap bergeming. Lalu tiba-tiba— "Apa yang terjadi di sini?" Suara berat itu membuat keduanya menoleh. Di ambang pintu, putra mereka, Arthur, berdiri dengan ekspresi kebingungan dan kecurigaan. Matanya bergantian menatap ayah dan ibunya, sebelum akhirnya mendarat pada surat cerai di tangan Bramansyah. Arthur mengernyit. "Apa ini?" Suasana semakin menegang. Luna buru-buru berdiri, wajahnya masih penuh air mata. "Arthur," katanya dengan suara gemetar. "Ini cuma kesalahpahaman. Aku bisa jelaskan—" Arthur menatap ibunya lekat-lekat. Lalu pandangannya beralih ke Bramansyah, meminta jawaban. Bramansyah menghela napas panjang. "Anakmu harus tahu siapa ibunya sebenarnya." Lalu ia menunjuk ke arah ponselnya, ke video yang masih berputar di layar. Arthur melangkah maju dan mengambil ponsel itu. Hanya butuh beberapa detik sebelum wajahnya berubah drastis—matanya melebar, bibirnya sedikit terbuka karena shock. "Ibu .…" Suaranya bergetar, nyaris tak percaya. Luna menutup mulutnya, menangis makin kencang. Arthur membeku. Tangannya yang memegang ponsel sedikit bergetar. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan ekspresi penuh kepanikan dan kemarahan. "Aku ingin bercerai dari ibumu, Arthur."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN