Seraphina duduk di tepi ranjang, membiarkan Bramansyah yang duduk di sampingnya menggenggam tangannya. Ada sesuatu dalam sorot mata lelaki itu yang membuatnya gelisah—sebuah ketulusan yang justru menekan beban di dadanya. Seraphina menelan ludah, seolah otaknya bekerja lebih cepat untuk mencari jawaban yang paling masuk akal. “Dua minggu lagi,” katanya akhirnya. “Aku nggak bilang karena nggak mau bikin Om Bram repot. Om Bram udah cukup sibuk sama urusan perceraian.” Bramansyah tersenyum tipis, mengangkat tangannya untuk menyelipkan helaian rambut Seraphina ke belakang telinganya. “Aku nggak akan pernah terlalu sibuk untuk kamu dan bayi kita.” Seraphina menundukkan kepalanya, menyembunyikan kegelisahan dalam senyumnya. “Tapi, Om Bram lebih baik fokus sama urusan Om Bram dulu.” Bramansya