Malam itu, gedung pencakar langit yang merupakan perusahaan utama Sky sudah mulai sepi meskipun ada beberapa pegawai yang masih lembur. Lampu-lampu di lantai eksekutif menyala redup, menciptakan suasana yang dingin dan hampa. Sky duduk di kursi besar di balik meja kerjanya, matanya menatap kosong pada layar laptop yang sudah mati sejak beberapa jam lalu. Pikirannya dipenuhi oleh kekacauan emosi—kemarahan, kekecewaan, dan rasa sakit yang mendalam. Dia belum bisa menerima apa yang baru saja terjadi antara dirinya dan Star. Setelah meninggalkan perusahaan di mana Star bekerja, dengan amarah yang membara, Sky memilih untuk tidak pulang ke apartemennya dan langsung pergi ke perusahaan pusat. Dia tahu bahwa dia tidak akan bisa tidur atau bahkan beristirahat dalam kondisi seperti ini.