Semakin sering mereka menghabiskan waktu bersama, semakin banyak pula hal yang mereka pelajari tentang satu sama lain.
Sky ternyata punya sisi yang lembut di balik sikap santainya. Ia terkadang memperhatikan hal-hal kecil yang membuat Star nyaman—seperti memastikan kursi favoritnya di meja makan tidak pernah berpindah tempat atau membawa bunga segar yang dibelinya sebagai kejutan kecil.
Star pun mulai membuka diri, menceritakan tentang keluarganya, teman-temannya, dan mimpi-mimpinya yang selama ini dia pendam.
Suatu malam, Sky datang dengan membawa sekotak pizza. Ia langsung masuk ke apartemen Star kali ini karena Star sudah mulai memberikan kode pin pintunya pada Sky.
Namun kali ini, dia menemukan Star sedang duduk di sofa dengan wajah yang tampak letih.
“Kau baik-baik saja?” tanya Sky sambil meletakkan pizza di meja.
Star mengangguk pelan. “Hanya lelah. Hari ini cukup berat di kantor.”
Sky duduk di sebelahnya, menatap Star dengan perhatian. “Mau cerita?”
Star ragu sejenak, tetapi akhirnya ia mulai berbicara tentang betapa sulitnya berurusan dengan klien yang terlalu banyak menuntut, serta tekanan untuk selalu mencapai target tinggi.
Sky mendengarkan dengan serius, tidak menyela sedikit pun. Setelah Star selesai, ia berkata, “Kau tahu, kadang-kadang kau tidak harus selalu jadi sempurna. Kau boleh merasa lelah, kau boleh membuat kesalahan. Itu bagian dari menjadi manusia.”
Kata-kata itu, meskipun sederhana, terasa sangat menenangkan bagi Star. Ia tersenyum kecil, lalu berkata, “Kau benar. Terima kasih, Sky.”
Sky mengangkat alisnya, lalu berkata dengan nada menggoda, “kau bisa bekerja di perusahaanku jika mau. Aku tak akan membebanimu dengan target yang terlalu besar.”
Star tertawa kecil, merasa lebih baik. “Aku akan memikirkannya nanti.”
Malam itu, mereka makan pizza di sofa sambil menonton film komedi yang dipilih Sky.
Tidak ada formalitas, tidak ada tekanan, hanya dua orang yang saling menikmati kebersamaan.
Saat Sky pulang malam itu, Star menyadari betapa berartinya kehadiran pria itu dalam hidupnya.
Sky bukan hanya teman makan atau pengganggu yang suka bercanda—dia adalah seseorang yang membuat Star merasa lebih hidup, lebih nyata.
Dan bagi Sky, Star adalah misteri yang perlahan mulai dia pahami. Wanita itu penuh dengan lapisan—mandiri, perfeksionis, tetapi juga hangat dan peduli.
Ia menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama, bahkan saat Star sedang kesal karena godaannya, namun wanita itu tak pernah benar-benar kesal dan masih sangat menyenangkan untuk diajak bercanda.
*
*
Hari-hari berikutnya, rutinitas mereka tetap berlanjut. Tetapi sekarang, ada sesuatu yang berbeda di antara mereka.
Sesuatu yang hangat, sesuatu yang perlahan tumbuh tanpa mereka sadari. Rutinitas yang dulu hanya sekadar kebiasaan kini menjadi bagian penting dari hidup mereka.
Sebuah hubungan yang tidak lagi hanya tentang sarapan dan makan malam, tetapi tentang saling memahami, saling melengkapi, dan mungkin, sesuatu yang lebih dari itu.
Pagi itu, seperti biasa Sky datang untuk sarapan di apartemen Star. Dia dengan sabar menunggu di dekat meja dapur sambil melihat ke arah Star yang sedang memasak.
“Oh ya, nanti malam kau sibuk?” tanya Sky.
Star menghentikan kegiatannya dan menoleh pada pria tampan itu. “Tidak. Hanya memeriksa beberapa pekerjaan untuk besok.”
“Bolehkah aku minta tolong padamu?”
Star menaikkan satu alisnya. “Katakan saja. Mungkin aku bisa membantu.”
“Akan ada gala dinner nanti malam. Dan aku tak punya teman untuk pergi ke sana. Kau mau menemaniku?”
Star terpaku sejenak. Dia tak menyangka Sky akan meminta bantuan seperti ini padanya. Padahal Sky bisa dengan mudah mendapat pasangan ke acara mana pun.
“Hmm … baiklah.” Star akhirnya menyetujui.
Sky tersenyum. “Terima kasih, Star. Kau pasti sudah terbiasa dengan pesta-pesta semacam ini. Maka dari itu aku mengajakmu. Mungkin kau bisa membantuku melobi beberapa pelaku bisnis untuk bergabung dengan perusahaanku.”
Star tertawa kecil. “Bisa saja, asal masuk akal dengan bayarannya.”
Sky ikut tertawa. “Tentu saja. Bisnis tetap bisnis. Aku suka itu.”
“Deal,” jawab Star dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya.
*
*
Malam itu, Star berdiri di depan cermin besar di kamar apartemennya, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali.
Ia mengenakan gaun satin berwarna emerald hijau dengan potongan elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna.
Rambutnya ditata dalam gelombang lembut yang tergerai di bahu, sementara riasannya mempertegas kecantikan alaminya tanpa terlihat berlebihan.
Ia sudah terbiasa menghadiri acara formal seperti ini, tetapi dia tetap ingin memastikan dirinya tampak sempurna.
Bukan hanya karena dia menemani Sky, tetapi juga karena dia tidak ingin membuat Sky terlihat buruk sebagai CEO yang dikenal memiliki reputasi tak bercela.
Star menarik napas panjang sebelum mengambil clutch kecilnya. Tepat saat itu, suara bel di pintu menggema. Ia tahu siapa yang berdiri di sana.
“Kenapa dia tak membuka pintunya sendiri? Bukankah dia sudah tahu pin-nya?” Lalu Star pun keluar dari kamar dan langsung menuju pintu utama.
Ketika dia membuka pintu, Sky berdiri di depannya dengan setelan tuksedo hitam yang membuatnya tampak luar biasa gagah.
Ia memandang Star dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan untuk pertama kalinya, Star melihat Sky terdiam tanpa sepatah kata pun.
Biasanya, pria itu selalu punya komentar lucu atau menggoda. Tetapi malam ini, sia hanya menatap Star dengan mata yang berbinar, seolah-olah melihat sesuatu yang luar biasa.
“Sky?” panggil Star, merasa canggung dengan keheningan itu.
Sky berkedip beberapa kali, lalu tersenyum lebar. “Kau terlalu sempurna. Aku takut jika ada yang mengambilmu dariku malam ini.”
Star tertawa pelan, menutupi rasa malunya dan kini merasa pipinya memanas, tetapi dia berusaha tetap tenang. “Terima kasih. Kau juga terlihat sangat tampan malam ini.”
Sky tertawa kecil, lalu menyodorkan tangannya. “Kalau begitu, Nona Cantik, siapkah kau menemani pria kesepian ini ke acara membosankan itu?”
Star mengangkat alisnya sambil tersenyum. “Membosankan? Bukankah ini gala dinner bisnis besar?”
“Percayalah, kau akan tahu apa yang kumaksud nanti,” balas Sky dengan nada bercanda.
Star tertawa pelan. “Sepertinya kau sangat berbeda denganku. Aku justru sangat suka acara yang dianggap membosankan bagi sebagian orang. Apakah aku tak normal?”
Sky menggenggam tangan Star dan menoleh padanya. “Ya, kau sedikit tak normal, tapi aku suka.” Lalu pria itu mengecup punggung tangan Star dan membuat wanita itu terdiam—berusaha tak salah tingkah di depan pria yang penuh pesona itu.
*
*