Makan Pagi Bersama Yang Cukup Menggoda

900 Kata
Pagi itu, Star baru saja selesai memasak ketika ketukan pelan terdengar dari pintu apartemennya. Dia memandang jam dinding di ruang tamu, mengernyit karena merasa terlalu pagi untuk seorang tamu. Tapi, entah kenapa, ada firasat yang memberitahunya siapa yang datang. Dia merasa bahwa itu pasti Sky yang datang. Ketika dia membuka pintu, firasatnya terbukti benar. Sky berdiri di sana, bersandar santai di kusen pintu dengan senyum miring yang terlalu memikat untuk diabaikan. Kali ini, pria itu tampak lebih santai dari sebelumnya—mungkin terlalu santai. Kaos putih tak berlengan yang dia kenakan menonjolkan tubuh atletisnya, memperlihatkan otot lengannya yang dipenuhi tato yang rumit namun artistik sampai ke leher kanannya. Celana pendek hitam sepaha menambah kesan kasual, membuatnya terlihat seperti pria yang baru saja bangun tidur, tapi tetap memukau. Dan pria itu juga hanya memakai sandal santai dan seperti berada di dalam rumahnya sendiri. Star terdiam sejenak, terpaku oleh penampilan pria di depannya. Ia mencoba fokus, tetapi tatapan matanya secara tidak sadar tertuju pada tato yang menghiasi lengan kanan Sky, menyatu sempurna dengan tubuh atletisnya yang sempurna. “Selamat pagi, tetangga,” sapa Sky dengan suara serak yang terdengar seperti baru bangun tidur. “Aku sudah bilang kemarin, kan? Aku akan menagih sarapan.” Star tersadar dari lamunannya, wajahnya merona karena canggung. “Oh ... Iya, sarapan. Masuk saja,” katanya sambil menyingkir dari pintu. Sky melangkah masuk tanpa ragu, seperti sudah nyaman dengan tempat itu. Star menyesap wangi maskulin di tubuh pria itu ketika Sky melewatinya. Dia memindai ruangan apartemen Star dengan cepat sebelum akhirnya menoleh kembali ke arah wanita itu. “Wangi masakanmu benar-benar menggoda. Apa yang kau buat hari ini?” “Hmm ... hanya masakan sederhana, kentang tumbuk dan sup krim biasa,” jawab Star sambil berjalan ke dapur, berusaha keras untuk tidak memikirkan bagaimana Sky berdiri begitu dekat di belakangnya. Bahkan tangan pria itu menumpu di meja di antara sisi tubuhnya. Napasnya tercekat. Dia bisa merasakan kehadirannya, kehangatan tubuh pria itu seolah menempel di punggungnya meski mereka tidak bersentuhan. “Masakan sederhana?” ulang Sky, mengangkat satu alis. “Ini terlihat lezat dan tidak sederhana.” Star tertawa kecil, mencoba mengalihkan kegugupannya. “Jangan terlalu memujiku, kau belum tahu rasanya. Mungkin tak sesuai dengan lidahmu.” “Lidahku cepat menyesuaikan rasa,” bisiknya di telinga Star. Star menggigit bibirnya dan tengkuk lehernya meremang karena kini pikirannya mulai liar karena ucapan Sky yang begitu sensual. “Aku akan menyiapkan makanannya sekarang. Kau bisa duduk di kursi makan,” kata Star. Sky tersenyum tipis lali perlahan memundurkan langkahnya, namun tetap di sana tak menuju ke meja makan. Star mengambil dua piring dari lemari dapur yang ada di atas kepalanya dan mulai menyusun makanan yang sudah matang. Saat dia membalikkan badan untuk memberikan salah satu piring kepada Sky, dia terkejut melihat pria itu berdiri lebih dekat dari yang dia perkirakan. “Sky! Kau membuatku kaget. Kenapa tak duduk di kursimu?” ujar Star sedikit kaget, tetapi tatapan mata Sky tetap tajam dan intens. “Aku hanya ingin menemanimu sampai kau selesai menyiapkan semuanya.” Sky mengedikkan bahunya dan tersenyum miring yang membuatnya semakin tampan meskipun terkesan sinis. Star menggigit bibirnya, mencoba menahan diri agar tidak tergoda oleh pria itu. Sky memang memancarkan aura yang sulit diabaikan—kepercayaan dirinya, caranya berbicara, dan bahkan caranya berdiri seolah seluruh dunia ada di bawah kendalinya. “Ayo, makan di meja,” kata Star, mencoba mengalihkan perhatian dengan menunjuk meja makan besar di sudut ruangan. Sky mengikuti Star ke meja dan duduk dengan santai, meletakkan piringnya di depan. Dia mulai makan dengan lahap, tapi tetap sempat memperhatikan Star yang duduk di depannya. “Hmm … ini sangat enak,” ujar Sky. “Terima kasih.” Star tersenyum. “Jadi, apa yang kau lakukan hari ini? Ini hari libur, kan?” tanya Sky sambil mengunyah makanannya. “Tidak banyak,” jawab Star sambil menunduk, berusaha menghindari tatapan pria itu. “Mungkin hanya bekerja dari rumah.” “Apa? Kau masih bekerja di saat libur seperti ini? Jangan terlalu stres, Star. Nikmati hidupmu.” Star hanya tersenyum. “Aku memang sedikit gila kerja dan aku perfeksionis. Aku tak mau pekerjaanku tak sempurna dan gagal.” Sky mengangguk, tetapi dia tetap memperhatikan Star dengan intens. “Kau terlihat canggung. Santai saja jika bersamaku,” katanya tiba-tiba. Star menunduk, karena wajahnya memerah. Baru kali ini dia merasa seperti wanita bodoh yang mudah terpesona oleh pria. “Aku tidak canggung!” bantahnya, meski nada suaranya tidak meyakinkan. Sky tertawa kecil, suara rendahnya menggema di ruangan itu. “Aku hanya bercanda. Santai saja.” Star berusaha mengabaikan pesona pria itu, tetapi semakin dia mencoba, semakin sulit rasanya. Ada sesuatu tentang Sky yang membuatnya merasa gugup sekaligus nyaman. Kombinasi yang membingungkan, tapi entah kenapa, dia tidak bisa menjauhi pria itu dan suka jika Sky berada di dekatnya meskipun itu membuat dadanya berdetak tak karuan. * * Setelah beberapa saat, Sky selesai makan dan menyandarkan tubuhnya di kursi, tampak puas. “Masakanmu luar biasa,” katanya sambil menyeka mulutnya dengan serbet. “Aku benar-benar tetangga yang beruntung karena memiliki tetangga yang punya skill seperti ini. Kurasa aku akan sering mengganggumu dan datang kemari setiap aku membutuhkan bantuanmu.” Star berusaha tenang meskipun bertolak belakang dengan hatinya yang bersorak riang. “Ya, boleh saja. Asal imbalannya setimpal,” candanya. Sky menatapnya sebelum berkata dengan mata yang selalu membuat Star tak bisa menatapnya lama, “Aku akan memberikan imbalan apapun yang kau inginkan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN