3

1058 Kata
Pagi ini, Greta mengurung dirinya di kamar. Biasanya ia sudah berolah raga di luar rumah besarnya. Entah berjoging, main gym atau sekedar berjemur dan berenang di kolam pribadinya. Greta duduk di sofa yang ada di balkon sambil menimati sarapan pagi yang sengaja ia minta diantar khusus ke kamarnya. Sejak semalam, moodnya hilang. Rasa bahagia yang baru -baru ini ia rasakan juga meluap begitu sja membuat hidupnya merasa tidak berguna lagi sama seperti dua puluh tiga tahun yang lalu. Tok ... Tok ... Tok ... Ceklek ... "Nyonya ... Nona Nadiva datang dan ingin menemui Nyonya," jelas sang pelayan dengan sopan. Greta menoleh ke arah pelayannya dan menatap lama sekali. "Nadiva? Suruh saja kesini," ucap Greta singkat. Greta mengambil teh hangat di meja yang ada di samping sofanya. "Nona Nadiva bersama seorang pria tampan. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan, Nyonya," jelas pelayan itu lagi. "Apa? Dengan seorang pria tampan?" tanya Greta cepat. Bukan kaget, karena Piere, Ayah Greta sudah memberitahukan soal ini. Tetapi, yang paling mengejutkan Greta adalah keberanian Nadiva. Putrinya itu sangat polos dan sama sekali dijaga ketat pertemanannya. Greta memiliki pengawal, tapi entah kenapa pengawal itu bisa kecolongan soal ini. "Betul Nyonya. Pria dewasa yang sangat tampan sekali," puji pelayan itu dengan senyum tipis yang tak begitu ditampakkan. "Okelah. Aku akan ganti baju dulu dan turun ke bawah. Ajak mereka di ruang keluarga saja, biar lebih santai," jelas Greta segera bangkit berdiri. Ia melepas piyama dan mengambil dres pendek tanpa lengan. Rambutnya dicepol ke atas dan kini wajahnya mulai diolesi sunscreen biar terlihat cerah. Maklum saja, Greta datang ke rumah sudah malam skelai dan pagi -pagi sekali sudah bangun karena tidak bisa tidur nyenyak. Tidak lupa lipstik merah kini sudah menghiasi bibirnya yang sensual dan jas berbulu menutupi pundak dan lengannya yang hanya tertutupi oleh tali dres. Semprotan parfum mahal dengan merek terkena yang didatangkan langsung dari Paris. Greta keluar kamar dengan sangat anggun sekali. Ia hanya memakai sandal tidur berbulu dan menuruni anak tangga dengan pelan. Ia menatap ke arah bawah dan melihat kedua sejoli yang duduk bersebelahan. Terlihat jelas, kalau Nadiva memang lebih terlihat manja dan over proktektif. Berbeda dengan sang lelaki yang terlihat lebih santai. Greta berjalan santai menuju ruang keluarga dan duduk di salah satu sofa tepat berhadapan dimana Nadiva dan Novan duduk. Saat menatap ke arah putrinya, tanpa sengaja kedua mata Greta melihat ke arah lelaki dewasa yang kini duduk disamping Nadiva. Greta begitu terkejut sambil membulatkan kedua matanya ke arah Novan. Bibirnya terkatup dan diam seribu bahasa. Lidahnya kelu. Lelaki di depannya adalah lelaki yang bersamanya beberapa bulan lalu. Ta hanay bersama bahkan mereka tidur bersama dan saling menikmati masing -maisng tubuh satu sama lain. Berbeda dengan sikap lelaki itu yang nampak santai, seolah tidak ada apa -apa. Mimik wajah Greta sedikit berubah dan agak menegang. Greta sudah pasti gugup dan cemas, jikalau Nadiva mengetahui kejadian beberapa bulan yang lalu. "Mama ... "panggil Nadiva dnegan suara lantang dan begitu berani. "Diva ... Kamu itu belum lulus, malah melarikan diri kesini. Kmau tidak takut dengan Kakek dan Papa kamu jika mengetahui hal ini?" tanya Greta dengan suara lebih keras. "Apa pedulimu? Aku sudah dewasa, Ma. Aku kesini hanya ingin meminta restu saja. Dia adalah Novan, kekasihku. Kami berdua berniat untuk meniah setelah aku lulus dan wisuda nanti," jelas Nadiva dengan bangga. Dengan manja, Nadva menggelendot ke arah lengan kekar Novan. Dada Greta naik turun. Napasnya memburu, ada perasaan kecewa, kesaldan cemburu. Ya, satu kata cemburu. Kenapa bisa cemburu? Novan bukan siapa -sapa Greta. Bahkan Greta yang meninginkan malam itu tidak pernah diingat lagi Kalau sekarang lelaki yang sudah berhasil memuaskannya itu malah pacaran dengan Nadiva. Seharusnya tidak ada masalah. "Selesaikan kuliahmu dengan baik. Mama baru membeikan restu," jelas Greta lantang. Greta segera berdiri hendak berjalan ke arah ruang makan. Ya, cara menyambut tamu yang baik adalah dengan mengajaknya makan bersama. "Sekarang kita makan dulu. Ayo," titah Greta dengan suara tegas. Greta melirik sekilas ke arah Novan yang juga melirik ke arahnya. Deg! Deg! Deg! Jantung Greta berdebar tak karuan. Lirikan mata Novan membuat Greta salah tingkah sendiri. Greta pun segera mempercepat langkahnya menuju ruang makan. Novan dan Nadiva juga berdiri dan ingin mengikuti Greta yang sudah berjalan mendahului mereka. Tiba -tiba saja, ponsel Nadiva berdering nyaring. Kakek Piere meneleonnya dan terpaksa Nadiva mengangkat telepon itu. Nadiva berhenti sejenak dan melepaskan pegangan ditangan Novan. Novan ikut berhenti dan menatap Nadiva yang mengangguk dengan arti Novan lebih dulu saja ke ruang makan dan duduk di meja makan. Greta sudah duduk dan menunggu Nadiva, putrinya dan Novan, tamu yang sebentar lagi akan menjadi calon menantunya. Novan duduk di salah satu kursi tepat di depan Greta. "Bagaimana kamu mengenal Nadiva, putriku," tanya Greta cepat tanpa basa basi. "Ada bayak cara untuk bisa melihatmu kembali, Greta," jawab Novan begitu lirih dengan tatapan begitu tajam penuh damba. "Ish ... Apa kalian pernah berhubungan? Putriku masih perawan," jelas Greta mengambil roti dan mengoles cokelat nutela di atasnya. "Aku bukan pria b******k. Aku pria yang setia dan bertanggung jawab. Hanya ada satu wanita yang aku tiduri," ucap Novan dengan suara mantap dan tak gentar. Kedua matanya semakin tajam menatap ke arah Greta, membuat perempuan matang yang ada di depannya menjadi salah tingkah. "Maksudmu, putriku kan?" ucap Greta memastikan. Ia berusaha tetap setenang mungkin walaupun batinnya tersiksa sekali. "Kamu, Greta. Bukan putrimu," jelas Novan. Greta melotot tajam, "Kamu gila! Pria yang mendekati putriku harus pria baik -baik, bukan pria b******k speertimu!" ucap Greta kesal. "Sayangnya, aku jatuh cinta padamu, Greta bukan pada putrimu. Kamu segalanya bagiku," ucap Novan serius dan begitu yakin. Baru selesai bicara, dan Greta belum smepat menawab. Nadiva sudah masuk ke ruang makan dan langsung duduk di kursi tepat disamping NOvan. Dengan gaya manja langsung menggelendot manja di lengan kekar yang sangat wangi itu. Greta memperhatikan sikap putrinya yang terlalu bucin pada pria di depannya ini. "Sayang ... Kamu janji mau menyuapi aku?" ucap Nadiva manja. "Kamu tidak malu? Ada mama kamu?" tanya Novan melirik sekilas ke arah Greta yang memilih menyibukkan diri dengan roti selai cokelatnya. Nadiva menatap sang Mama yang tidak memperhatikannya. "Mama pernah muda. Tentu, sudah sering seperti ini dengan Papa dulu," ucap Nadiva begitu santai. Nadiva kembali menatap Novan penuh cinta. Novan mengangguk pasrah. Novan ingin tahu, apakah Greta cemburu atau tidak. Seorang wanita tetap akan terlihat panik atau diam saja jika hatinya berdebar. Dan itu yang saat ini dirasakan oleh Greta.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN