2

1054 Kata
Novan terdiam, kedua matanya menatap Nadiva yang terus mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Tapi. ia takmerasakan apa -apa. Semuanya terasa dingin dan hambar. Berbeda saat ia berciuman dengan Greta. Wanita itu benar -benar pandai membangkitkan gairah Novan malam itu. Keduanya berkali -kali mengulang kenikmatan yang penuh dengan kepuasan dan candu. Saat ini, di depannya bukan Greta, melainka Nadiva, wanita yang sengaja ia pacari untuk sesuatu hal. Kedua mata Nadva menutup merasakan bibir tebal Novan yang ia lumat dengan liar. Nadiva tidak pandai berciuman apalagi bercinta. Ia belum pernah merasakan hal itu. Ia gadis baik yang polos dan hidupnya hanya disetir oleh Mamanya. Tapi, setelah ia bertemu Novan, lelaki dengan usia matangdan penuh perhatian. Nadiva merasa bersemangat kembali menjalani hidup dan dunianya begitu indah. Senyum Nadiva mulai muncul lagi karena Novan. Bagi Nadiva, Novan aalah segala -galanya. Tapi, Bagi NOvan, Nadiva tak lebih seperti kelinci kecilyang perlu dijaga. Mata Nadiva terbuka dankini saling bertatap tajam dengan bola mata Noan yang sejak tai menatap liarnya Nadiva. "Kenapa diam?" tanya Nadiva kesal. Ia melepas tautan bibirnya di bibir Novan. "Aku sibuk menatapmu," ucap Novan berbohong. "Jangan bilang, kamu juga belum pernah berciuman seperti aku yang masih polos," ucap Nadiva lantang. "Makan dulu ... Perutmu pasti lapar," ucap Novan begitu lembut sambil mencubit pipi Nadiva dnegan gemas. "Sayang ... Kamu kenapa sih? Kayak gak suka lihat aku datang? Aku sudah persiapkan semuanya. Termasuk ..." ucapan Nadiva terhenti saat jari telunjuk Novan berada di depan bibir tipisnya. "Kita belum menikah. Jangan bicara apapun, Diva. Jalani saja hubungan ini sewajarnya," jelas Novan pada Diva. "Ish! Kamu gak seperti ini biasanya. Apapun yang aku mau selalu kamu turuti," ucap Nadia tak terima. "Itu karena kamu jauh. Sekarang kamu ada di depanku. Aku gak perlu menunjukkan perhatian yang berlebihan, karena aku bisa melihat kamu secara nyata," jelas Novan beralibi. Nadiva mencebikkan bibirnya dengan kesal. Ia tidak mau begini. Maunya selalu diperhatikan, disayangi, dimanja dan diprioritaskan. "Ngambek?" ucap Novan pada Nadiva yang masih memeluk tubuhnya. "Hu um ... Makanya nanti malam, aku tidurnya sama kamu," pinta Nadiva manja. "Ayo kita makan dulu," titah Novan sambil melepaskan tangan Nadiva yang melingkar di lehernya. "Gendong ..." cicit Nadiva manja dan berusaha menguatkan lilitan tangannnya di leher lelaki kekar itu. Novan menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. Lalu dengan terpaksa menggendong Nadiva sampai ke ruang makan. Nadiva tentu sangat senang sekali. Ini yang ia inginkan sejak lama. Nadiva sudah dudu di kursi makan dan Novan menyodorkan piring dan beberapa makanan yang sudah siap disajkan di meja makan. "Mau makan apa?" tawar Novan pada Nadiva. "Mau itu, itu dan itu. Suapin juga ... " pinta Nadiva semakin manja Nada suaranya mirip anak kecil yang sedang merengek meminta permen. "Hmm .. Lalu tanganmu untuk apa?" tanay Novan serius. "Untuk memelukmu, Sayang," jaab Nadiva cepat tanpa ada rasa bersalah. "Oke ..." jawab Novan pasrah. Novan mulai memasukkan beberapa makanan di piring. Tentu saja, makanan itu adalah kenginan Nadiva yang memilih lalu dengan sabar menyuapi Nadiva. Benar saja, tangan Nadiva mengapit lengan Novan dan sesekali menyentuh pipi lelaki dewasa itu dengan gemas. Sambil menyuapi Nadiva, Nadiva juga bertanya beberapa hal lain pada Novan. "Sayang ... Sebentar lagi aku lulus dan wisuda. Kalau setelah wisuda, kita menikah, gimana?" pinta Nadiva dengan mulut yang penuh dengan makanan. "Kunyah yang bener. Kalau sedang makan jangan bicara," jelas Novan pada Nadiva. Nadiva mengangguk paham dan menyelesaikan makan malamnya sebelum ia ingin bicara lagi. *** Malam ini seusai rapat dengan klien baru, Greta memilih duduk santai di baik meja kerjanya. Tubuhnya teasa lelah dan ia butuh besantai sejenak. Aroma kopi latte yang dibuatkan oleh OB tercium menyengat dan masih mengepulkan asap. Tok ... Tok ... Tok ... Greta mengangkat kepala memandang ke arah pintu masuk. Olivia, sekertarisnya masuk lebih dulu sambil menundukkan kepala sebagai sikap hormat. Di belakang Olivia, ada Piere, Pemilik Perusahaan Primordia Group, tak lain Ayah Greta. Greta tekesiap dan merapikan duduknya. Pasalnya ia tidak tahu, kalau Ayahnya bakal datang selarut ini. "Ayah? Ada apa? Ini sudah larut malam? Ayah kenapa gak bilang Greta mau datang? Biar Julian jemput Ayah di Bandara," jelas Greta dengan cepat. Greta berdiri lalu menghampiri sang Ayah. Wajah Piere terlihat sedang tidak bersahabat. Tatapannya begitu tajam menatap Greta, putri semata wayangnya. "Kamu itu ibu macam apa?!" umpat Piere pada Greta. "Ayah? Apa maksud Ayah, bicara begitu?" tanya Greta tak paham. "Aku pikir kamu sudah berubah Greta! Ternyata kamu mengulangnya lagi! Siapa dia!" tanya Piere dengan suara begitu lantang. Piere melempar foto -foto Greta yang sedang bermesraan dengan seorang pria yang sama sekali tida terlihat wajahnya di sebuah klub malam. Greta melotot tajam. Kejadian itu sudah lama sekali. Bahkan ia sama sekali tidak mengingatnya. Kenapa baru sekaran gempar dan viral. Dan yang lebih menautkan lagi, Piere mengetahuinya Ini bisa menjadi mimpi buruk bagi Greta. Piere menatap tajam dan nyalang ke arah Greta yang diam mematung. Sama sekali tidak ada pembelaan dari Greta. Seolah Greta mengakui kesalahannya. "Bagaimana kamu mau dekat dengan Nadiva? Kalau kamu masih ingin bersenang -senang saja? Satu hal lagi, Nadiva itu pegi ke Indonesia. Aku berani bertaruh, kamu tidak tahu soal ini, bukan?" ucap Piere mengambang. "Apa? Nadiva? Pulang ke Indonesia? Bukannya dia sedang skripsi, Ayah? Kemarin au barusaja meneleponnya," ucap Greta membela diri. Hubungan Greta dan putrinya memang tidak seperti layakya hubungan ibu dan anak. Sejak kecil, Greta memilih berkarir dan menyerahkan putrinya untuk di urus oleh kedua orang tuanya. Greta belum siap punya anak dan dia stres berat akibat apa yang dia terima saat masa sekolahnya. Dan hingga kini, Greta memilih sendiri dan tidak ingin berhubungan dengan pria lagi. Tapi, keadaan berubah sejak malam itu. Lelaki itu dengan hebat membuat hasrat Greta kembali menyala. Tak hanya itu, semangat Greta kembali hidup. Dunianya yang selama ini begitu redup dan bahkan gelap menjadi terang dan berwarna. Hanya saja, ia tidak mau terlalu fokus memikirkan itu. Pekerjaannya saat in lebih penting dari apapun. "Kamu mau bela diri setelah ada bukti? Bahkan kamu tidak tahu, kalau Nadiva sudah memliki kekasih. Nadiva itu perempuan, apa kamu tidak takut, jika Nadiva mmeiliki nasib yang sama sepertimu?" bentak Piere pada Greta. Suara lantang itu kembali membuat dunia Greta menggelap seperti dua puluhtiga tahun yang lalu. Hidupnya hancur, harapannya runtuh dan semuanya hilang dalam sekejap saja karena kesalahan fatalnya. "Ma -maafkan Greta, Ayah," ucap Greta lirih. Bayangan dua puluh tiga tahun lalu membuat tubuhnya lemas. Ya, nama baik keluarganya hancur karena perbuatannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN