Malam itu, langit di luar jendela apartemen Novan tampak gelap, hanya ditemani cahaya neon kota yang berpendar lembut menembus tirai tipis. Udara dingin dari pendingin ruangan membuat suasana terasa sunyi dan janggal.
Nadiva keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan. Rambutnya masih lembap, jatuh di bahu. Ia mengenakan lingerie tipis berwarna merah muda yang baru saja ia beli. Wajahnya tampak gugup tapi juga berharap, malam ini, ia ingin Novan benar-benar menganggapnya sebagai wanita, bukan anak kecil.
Namun pemandangan yang ia temukan di ruang tamu jauh dari bayangannya.
Novan duduk di depan meja kerjanya. Laptop terbuka, layar penuh dokumen kerja. Di meja, secangkir kopi masih mengepul. Tatapannya fokus ke layar, seolah tidak menyadari apa pun di sekitarnya.
"Sayang …" panggil Nadiva pelan, mendekat sambil menatapnya.
Lelaki itu hanya menoleh sekilas. "Hm?" sahutnya datar.
"Kamu belum selesai kerja?"
"Belum," jawabnya singkat, tanpa melepaskan pandangan dari layar.
Nadiva menggigit bibir bawahnya. "Tapi kamu janji malam ini, aku nginep di sini. Aku pengin bareng kamu."
"Aku tahu. Kamu istirahat dulu aja di kamar," ucap Novan tetap tenang, suaranya tanpa emosi.
Nadiva berdiri terpaku. Tatapannya mulai berubah sendu. "Kamu bahkan gak lihat aku, Van."
"Aku lagi kerja," balas Novan lagi, kali ini sedikit menghela napas.
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara ketikan keyboard yang terdengar. Nadiva menunduk, mencoba menahan air matanya. Ia tahu Novan memang sibuk, tapi mengapa setiap kali ia berusaha mendekat, lelaki itu selalu menciptakan jarak yang tak bisa dijangkau.
"Kalau kamu beneran sayang sama aku, kamu pasti lihat aku sekarang," ucap Nadiva lirih.
Novan menghentikan ketikannya. Ia menutup laptop pelan dan menatap gadis itu dengan mata yang dingin, tapi juga letih. "Diva, denger ya. Sayang itu bukan soal malam atau tubuh. Aku cuma gak mau kamu nyesel nanti."
Nadiva terdiam. "Jadi kamu beneran gak suka sama aku?"
Pertanyaan itu membuat d**a Novan terasa sesak. Ia menatap wajah polos itu, wajah yang mirip sekali dengan Greta, hanya saja jauh lebih muda dan belum mengerti dunia.
"Bukan gitu maksudku," jawab Novan akhirnya. "Aku cuma gak mau kamu salah paham sama perasaanmu sendiri. Aku mau kamu selesaikan dulu kuliahmu, Diva."
"Tapi aku beneran cinta kamu, Van. Aku rela ngelakuin apa aja buat kamu," ucap Nadiva cepat, suaranya bergetar.
Novan menunduk. Ia tidak sanggup menatap mata itu lebih lama. Di dalam hatinya, ada rasa bersalah yang menggerogoti, tapi misinya belum selesai. Ia harus tetap mendekati Greta, dan hubungan dengan Nadiva hanyalah pintu menuju ke sana.
"Diva, tolong. Sekarang kamu istirahat, ya. Besok aku antar kamu ke Bnadara," katanya pelan, kemudian beranjak meninggalkan ruangan.
Nadiva hanya bisa berdiri diam. Air matanya jatuh begitu saja.
Ia menatap punggung Novan yang menjauh, merasa seolah cintanya tak pernah cukup untuk menembus dinding hati lelaki itu.
Saat pintu kamar kerja tertutup, Nadiva perlahan berjalan ke kamar tidur. Ia berbaring di kasur besar itu, menatap langit-langit yang dingin dan kosong.
Tak ada pelukan. Tak ada kata sayang. Hanya sunyi dan jarak yang terasa semakin jauh.
Sementara di ruang kerjanya, Novan menatap layar laptop yang kini hitam. Ia tidak lagi membaca apa pun, pikirannya melayang ke Greta. Wajah wanita itu terus menghantui kepalanya, membuatnya sadar bahwa setiap langkah yang ia ambil bersama Nadiva hanya menambah beban di dad4nya.
Dan malam itu, dua hati di bawah atap yang sama sama-sama tidak tenang, yang satu terluka karena cinta, yang satu terjebak dalam kebohongan.
***
Pagi itu, udara masih lembap setelah hujan semalam. Langit Jakarta tampak kelabu, pesawat-pesawat yang baru mendarat menimbulkan suara gemuruh dari kejauhan. Di antara keramaian bandara, langkah Novan terdengar tenang dan pasti. Tangannya menenteng koper kecil milik Nadiva.
Nadiva berjalan di sampingnya, memakai jaket putih dan kacamata hitam yang tak mampu menyembunyikan sembab di matanya. Ia diam sejak dari mobil, hanya sesekali menatap ke arah Novan dengan pandangan yang menuntut.
"Diva …," ucap Novan lembut, membuka percakapan ketika mereka berhenti di depan area check -in.
"Kamu udah yakin mau berangkat sendiri? Bukannya Kakek bakal memberimu pengawal untuk menemanimu?" tanya Novan dnegan suara bijak.
Nadiva mendengus pelan. "Aku bukan anak kecil, Van. Aku bisa kok."
Nada suaranya terdengar dingin, tapi getaran kecil di ujungnya mengungkapkan perasaan sesungguhnya, ia sedang menahan tangis.
Novan menatap wajah itu dalam diam. "Aku tahu kamu bisa. Tapi aku tetap pengin pastiin semuanya aman buat kamu."
"Kalau kamu pengin pastiin semuanya aman, kenapa kamu gak ikut aja ke sana?" sergah Nadiva cepat. Tatapannya tajam, tapi matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku gak butuh dijagain dari jauh, Van. Aku butuh kamu di samping aku." Kata Nadiva menambahkan. Ia mengeaskan hanay butuh Novan di dalam hidupnya. Bukan yang lain.
Novan menarik napas dalam. "Diva, kamu harus fokus dulu sama kuliahmu. Skripsi kamu belum selesai. Aku gak mau kamu kehilangan masa depan cuma karena ..."
"Karena cinta?" potong Nadiva. "Cinta itu bukan halangan, Van. Aku bisa kok kuliah sambil pacaran. Aku bahkan bisa kuliah sambil nunggu kamu."
Novan menunduk, mencoba menyembunyikan senyum getirnya. Nadiva terlalu polos. Ia mengira cinta bisa menunggu, padahal yang ia jalani hanya permainan dengan tujuan yang lebih kelam.
"Nadiva," ucapnya pelan tapi tegas. "Aku cuma minta satu hal. Fokus dulu. Lulus dulu. Setelah itu … kita bicarakan lagi soal kita."
Nadiva menatapnya dalam. "Jadi kamu janji?"
"Ya," jawab Novan cepat, meskipun suaranya terdengar hambar.
"Janji akan menikahi aku setelah aku wisuda?" desak Nadiva.
Novan menatap wajah muda itu, penuh harap, penuh cinta yang naif. Ia tahu kebohongan berikutnya akan melukai gadis itu, tapi ia juga tahu misinya belum boleh berhenti sekarang.
"Janji," ucapnya akhirnya, menatap matanya dalam-dalam.
Untuk sekejap, Nadiva tersenyum, senyum yang membuat d**a Novan sesak.
Ia ingin percaya bahwa janji itu nyata. Ia ingin memeluk lelaki itu dan tak pernah melepaskannya. Tapi dunia nyata tidak sesederhana itu.
Ketika pengumuman keberangkatan terdengar, Nadiva menarik napas panjang. Ia menggenggam tangan Novan erat-erat, seolah takut waktu akan memisahkan mereka.
"Diva bakal balik, Van. Diva bakal buktiin kalau Diva pantas buat kamu."
Novan hanya mengangguk. "Aku tunggu," katanya, padahal dalam hatinya, kata itu terasa kosong.
Nadiva kemudian melangkah perlahan menuju pintu keberangkatan. Setiap langkah terasa berat. Sesekali ia menoleh ke belakang, Novan masih berdiri di tempatnya, tangan di saku, wajahnya dingin tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Saat tubuh kecil itu akhirnya menghilang di balik pintu, Novan menghela napas panjang. Ia berjalan keluar bandara dengan langkah cepat, mencoba menepis perasaan bersalah yang mulai menggerogoti hatinya.
Di luar, hujan mulai turun lagi.
Dan di balik kaca pesawat yang mulai bergerak di landasan, Nadiva menatap keluar, senyum kecil masih tersungging di bibirnya, percaya sepenuhnya pada janji seorang lelaki yang bahkan tidak benar-benar mencintainya.