ANGGAP saja aku sudah gila. Bukannya ikut waspada pada serangan yang mungkin kami terima berikutnya. Aku malah menarik kerah jaket Bian dan mencium bibirnya dengan kasar. Bian tersentak, tapi ia membalas ciumanku hanya sepersekian detik sebelum tangannya mendorong bahuku untuk menjaga jarak dengannya. "Apa yang kau pikirkan?" Aku tersenyum. Senyuman tipis penuh luka yang membuat Bian menatapku dengan raut curiga. "Airish?" "Aku telah membuat kesalahan," ucapku. Bian mengernyitkan dahinya. "Tujuh tahun lalu, bukan Stevan yang menolongku, tapi kau. Sama seperti yang kau lakukan sekarang padaku." Bian menunjukkan ekspresi tidak mengerti. Aku berniat menjelaskan lebih rinci saat jemari tangan itu berada di bibirku. Memaksaku bungkam untuk sementara waktu. "Kita akan membahasnya lagi set