"Jadi, Tuan Philips menolakmu?" tanya Mirna, sembari menyeruput teh melati di depannya, aromanya menyelinap ke udara, seolah ingin meringankan beban Lika yang tampak gelisah. "Iya," keluh Lika, menggenggam erat cangkir kopinya. Matanya menerawang, seperti mencari jawaban di sela-sela uap panas itu. "Dan aku enggak tahu harus bagaimana. Tidak ada pengacara yang sehebat dia di kota ini." Mirna menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu tersenyum samar, matanya menyipit penuh arti. "Mmm... kamu tahu, kalau besok Tuan Philips akan berada di lapangan golf?" "Benarkah?" Mata Lika mendadak berbinar. Seperti secercah cahaya masuk ke ruang gelap hatinya. "Iya," jawab Mirna, matanya menari penuh tipu muslihat. "Cobalah datang ke sana. Pakai baju yang bisa membuat pria kehilangan logikanya. Goda dia