Di ruangan yang beraroma luka dan kekecewaan, udara seperti berhenti mengalir, tertahan oleh perasaan yang mencekik. Bayang-bayang kesedihan menyelimuti wajah Adira, sementara ayahnya—dengan tubuh bergetar, seakan terpukul oleh badai yang tak kunjung reda—terus menumpahkan kata-kata tajam, masing-masing bagaikan pisau yang menancap lebih dalam dari sebelumnya. "Lihat, Adira," suara ayahnya bergetar namun penuh dendam yang terselubung. "Bayangkan jika dia menemukan anaknya nanti—mungkin dia akan pergi, dan kamu hanya akan menjadi bayangan dari apa yang telah hilang. Kasih sayang yang pernah menjadi milikmu, akan berpindah pada mereka." Adira mengatupkan bibirnya, menahan gemuruh di dadanya. Baginya, kata-kata itu bagaikan palu yang menghancurkan kepercayaannya, satu per satu. Di hadapann