Lucia mempercepat langkah. Memasuki ruang kontrak, menemui Thomas dengan mata sedikit basah. Ia menarik napas, membenarkan riasan.
"Mrs. Dos Santos?"sapa Thomas, memberikan kotak tissue pada gadis itu.
"Lucia saja,"jawabnya ringkas. Menarik pemberian Thomas, dan mengusap sudut matanya. "Sepertinya ada binatang masuk ke mataku,"tukas Lucia. Memberi penjelasan. Thomas diam, mengangguk pelan. Menjaga privasi Lucia sepenuh nya.
"Kau butuh sesuatu?"
"Tidak. Mana kontrak nya? Akan ku tandatangani. Aku setuju dengan apapun isinya!"
Thomas mengangkat alis. Melirik ke arah Sarah Hill- asisten pribadi. Wanita itu berdiri tegap, membalas tatapan Thomas seksama. "Kau yakin? Kontrak ini penting, Lucia,"tanya Thomas meyakinkan.
"Kalau begitu aku pulang saja!"
"Lucia,"panggil Thomas.
"Kau bisa cari model lain. Aku...."
"Bayarannya akan sangat tinggi hanya untuk satu kali pemotretan dan iklan. Namun, kau di di tuntut profesional."
"Aku hanya harus memakai bikini, 'kan?" It's okay. Tidak ada yang bisa melarang ku!"sebut Lucia sarkas. Merapatkan jemarinya kuat. Thomas diam kembali. Memerhatikan keadaan Lucia.
"Lucia..."
"Aku sedang buru-buru. Tolong! Jika kau ingin aku menandatangani, berikan sekarang! Jika tidak kau bisa cari model lain!"Lucia berkata tegas. Menahan getar di tubuhnya. Ia marah, semakin merapatkan tangan.
"Sarah ambilkan kontraknya!"perintah Thomas. Dengan cepat, Sarah menguatkan langkah. Berjalan mendekati meja dan meletakkan berkas di atasnya. Lucia ikut maju, meraih ballpoint, segera memberikan persetujuan di lembar kertas yang dibuka Sarah.
"Lucia.. Kau tidak apa-apa?"tanya Thomas, memerhatikan.
"Ya,"jawabnya serak. Menekan ujung pena keras. Tangannya basah, dingin dan sedikit bergetar. "Sudah!"
"Aku akan mengirimkan salinan nya agar kau bisa membaca ulang isi....."
"Ya. Antar kan ke mansion daddy ku!"ucapnya. Lucia meletakkan ballpoint. Menatap Sarah dan Thomas bergantian.
"Thanks,"ucap Thomas singkat. Lenyap dalam ketidaktahuannya. Lucia mengangguk, segera memusing tubuh, berjalan keluar dari kantor tanpa kata.
"Apa sikapnya memang seperti itu?"tanya Thomas heran.
"Menurut survey yang sempat aku lakukan, tidak. Lucia sangat profesional, menyenangkan dan...."
"Kau tahu penyebab perubahan nya?"sela Thomas cepat.
"Aku rasa karena suaminya. Tadi, mereka datang bersama,"jawab Sarah.
"Hmm.. Okay. Salin berkas nya dan segera kirimkan!"balas Thomas singkat.
"Yes, sir."
__________________
"Kau lihat istriku? Model, Lucia dos santos,"tanya Matteo, menghadang Sarah yang baru saja keluar dari ruang utama. Mengedarkan mata ke tiap tempat. Terlihat mencari.
"Dia baru saja turun ke lantai bawah,"jawab Sarah.
"Thanks,"Matteo berpusing. Mengayunkan langkah nya cepat. Menarik ponsel dari saku untuk menghubungi gadis yang ia cari.
Dari kejauhan. Sofia menahan napas. Menatap kepergian Matteo dengan tangan mengepal keras. Sudut matanya menajam, penuh ancaman. "Berengsek!"bisik Sofia pelan. Menggigit bibir bawahannya. "Gadis itu tidak seharusnya bisa mendapatkan mu! Theo, tidak."
"Sofia, are you okay?"tegur Sarah, membuat wanita itu lekas berpaling. Sofia tidak menjawab, terlihat menggerutu lalu memalingkan wajah. Berlalu tanpa kata.
"Orang-orang hari ini terlihat aneh!"sebut Sarah, kembali melanjutkan tugasnya.
__________________
Lucia sampai di pekarangan mansion milik daddy nya. Menggunakan taksi yang ia jumpai beberapa meter dari agency. Namun, kedatangannya di hadang oleh sebuah Ferrari merah. Kedua mata Lucia beredar, penasaran dengan sosok pemilik mobil. Kening nya berkedut. Ingin tahu. Sampai pada akhirnya ia menangkap sedikit pergerakan. Pemilik Ferrari turun, melepaskan kaca mata hitam dari wajah tampan nya. Seketika, Lucia mendelik, mendorong pintu taksi dan berlari keluar.
"Om Falcon??"teriaknya lantang, mencetak senyuman lebar dari wajah mungil nya.
"Lucia...."balas Falcon, segera mendekat, melebarkan sudut bibir. Menyambut dan memeluk Lucia. Hingga tubuh gadis itu sedikit terangkat.
"Om kapan datangnya? Kok nggak ngabarin aku?"tanya Lucia.
"Kemarin. Maaf, aku belum bisa mengabari mu,"ujar Falcon. Mencubit gemas pipi Lucia.
"Aku memang selalu di lupakan semua orang,"cebik Lucia mengulum bibir.
"Tidak. Bukan seperti itu. Aku...."
"Wait. Aku harus bayar taksi,"Lucia berputar, namun, Falcon lekas menahan lengannya.
"Aku saja!"
"Thanks Om. Syukur deh, uang ku nggak jadi keluar!"sebut Lucia. Membuat Falcon tersenyum. Pria itu mengeluarkan dompet. Memberikan beberapa lembar uang pada sopir.
"Sir. Ini lebih."
"Ambil saja!"balas Falcon lembut.
"Thanks, sir."
Falcon mengangguk, menyangkut kan kacamata di kerah pakaian, dan menghadap kembali pada Lucia. "Kau sudah sangat tinggi, rupanya!"tutur Falcon mengacak rambut Lucia.
"Ih.. Om.. Nanti rusak,"protes Lucia murung. Merapikan rambutnya kembali.
"Dimana suami mu?"tanya Falcon.
"Om. Kau sibuk?"sela Lucia. Tidak ingin membalas Matteo sementara waktu. Ia tidak ingin menangis.
"Kau mau makan?"tawar Falcon paham.
"Om mau traktir?"
"Okay. Dengan senang hati!"balas Falcon cepat. Menarik tangan Lucia. Membawa gadis itu bersamanya.
___________________
"Kenapa matamu bengkak?"tanya Falcon di sela pembicaraan mereka. Menyadarinya sejak tadi, namun, baru memiliki niat untuk bertanya setelah Lucia kenyang.
"Aku semalaman tidak bisa tidur!"jawab Lucia penuh kebohongan.
"Kenapa?"
"Nggak tahu. Kalau tahu aku bakalan cari tahu,"sebut Lucia terdengar asal. Falcon menaikkan salah satu alisnya. Menatap penuh penilaian.
"Kau punya masalah?"
"Ya. Namanya manusia. Pasti ada masalah. Mati aja bermasalah. Apalagi hidup,"balas Lucia. Melihat Falcon menenggak sebotol minuman keras dengan alkohol tinggi.
"Mau ceritakan masalah mu?"tanya Falcon. Menatap tajam.
"Enggak! Aku mau senang-senang!"
"Jika kau ingin bersenang-senang. Kenapa kau menikah begitu muda?"tanya Falcon menggiring pertanyaan ke arah Matteo.
"Tanya saja sama daddy,"keluh Lucia. Lalu melihat ponsel Falcon yang ada di atas meja berdering. Pria itu melirik, mengeluh kasar.
"Aku angkat ini sebentar!"Falcon bangun dari tempatnya. Menjauhi Lucia, setelah gadis itu mengangguk. Seakan memberi izin.
Lucia menarik ponselnya sendiri. Memeriksa benda yang sengaja ia silent sejak tadi. Ada puluhan nomor tidak di kenal masuk, salah satunya dari nomor Matteo. Lucia meremas ponselnya, lalu menonaktifkan benda itu. Menaruh nya seperti semula. Gadis itu mengulum bibir, menatap botol minuman milik Falcon beberapa detik. Perlahan, jari jemari kecilnya mendekat, menyentuh benda itu.
"Seperti apa rasanya?"pikir Lucia. Melirik ke arah Falcon. Pria itu membelakangi nya. Tampak serius dengan ponsel. Lucia tersenyum, mengangkat botol minuman itu cepat, dan menenggaknya tidak sabar.
"Hoek!"Lucia batuk, ingin muntah, merasakan dadanya panas. Ia merinding. Lidahnya tidak biasa dengan minuman keras. "Tapi enak..."pikir Lucia, kembali mengangkat botol dan meminum nya sebanyak mungkin, ia mengulang beberapa kali, hingga Lucia menghentakkan botol itu ke meja.
Bugh.
Lucia menunduk, menjatuhkan kening nya di meja. Tubuhnya lemas, ngantuk, pening bukan main. Ia tidak tahan pada Alkohol.
"Lucia!"sergah Falcon. Menangkap botol, sekaligus tubuh Lucia yang hampir jatuh.
"Aku gak mau pulang ke apartemen Om Matteo,"isak nya pelan. Terdengar parau.
"Wait. Kita bicara di jalan!"Falcon menahan Lucia dengan tubuhnya. Menarik dompet dan memanggil pelayan untuk meminta bill. Membayar semua pesanan, agar mereka bisa bergegas pergi.
"Ayo, Lucia!"ajak Falcon. Ia merendahkan tubuh, memberi punggung agar gadis itu merapatkan diri.
"Peluk aku!"perintah Falcon.
"Om nggak bawa aku ketemu Matteo, 'kan?"tanyanya berat.
"Tidak! Ayo naik!"Lucia mengganggu, mendekatkan diri, memeluk leher Falcon dari belakang, merebah kan kepala dulu bahu pria itu. Falcon menarik napas, mengangkat paha Lucia ke atas, sekaligus bergerak bangun. Falcon diam sebentar, mendengar racauan tidak jelas dari Lucia. Pria itu melirik, memiringkan wajah ke kiri.
"Om Matteo berengsek!"bisik Lucia pelan. Sesekali terisak menangis. "Aku sayang sama Om. Kenapa sih? Tega banget sama aku."
Falcon mengepal tangan. Mulai memahami yang sedang terjadi pada Lucia. Sial. Rasa sakit Lucia seakan tertular padanya. Menyentuh nadi hingga dalam. Falcon melangkah, berjalan keluar restauran, tanpa memerhatikan banyak pasang mata yang menatap ke arahnya.
___________________
Matteo Apartemen | 2 Jam kemudian.
Langkah kaki Matteo bergerak cepat, berlari kencang menuju pintu, ketika mendengar suara bel. Sorot matanya yang sayu menyiratkan kekhawatiran. Rasa takut menjelma, ketika Lucia hilang beberapa saat dari sisinya.
"Lu...."suara Matteo terhenti, menatap tegas pada sosok yang muncul di depan unit nya. Dua pasang mata elang mereka bertemu, saling menantang satu sama lain. Penuh persaingan yang sulit di ungkapkan.
"Kau bawa kemana istriku?"tanya Matteo dingin. Tanpa sadar, mengepal tinju pada sosok yang membuatnya muak. Falcon D'Carrington.
Falcon tersenyum tipis. Mengeluh kasar. "Istrimu, tidak ingin aku mengantarnya ke sini. Tapi, karena aku memiliki rasa hormat yang besar terhadap George Savalas. Maka aku akan mengalah, agar kau belajar bagaimana memperlakukan putrinya,"jelas Falcon. Menurunkan Lucia, lalu di sambut Matteo. Gadis itu tidak sadarkan diri. Totalitas tertidur pulas. Lucia kini berpindah dalam pelukan Matteo.
"Matteo,"panggil Falcon, ketika pria itu ingin mundur untuk menutup pintu. Matteo menaikkan tatapan. Tajam, penuh pertanyaan.
"Aku.. Semakin menyukai istri mu.."
"Berengsek!"sela Matteo cepat. Mengangkat tubuh congkak. Falcon tetap tenang, tersenyum hangat.
"Sudah ku katakan! Perlakukan Lucia dengan baik, jika tidak, akan ku curi dia dari mu!"tukas Falcon. Melirik Lucia dalam, lalu kembali melakukan kontak mata pada Matteo. Rahang pria itu mengeras. Terlihat marah tanpa alasan.
"See you, Lucia..."sebut Falcon, mengangkat tangan untuk menyentuh. Matteo mundur, menjauhkan gadisnya segera. Refleks. Lagi, Falcon menunjukkan senyuman smirk, kali ini mengartikan ancaman. Falcon berputar, melebarkan bibir lantas bergerak pergi. Matteo mengembuskan napas, melirik wajah Lucia. Mencium aroma minuman yang begitu khas lewat rongga mulutnya Lucia.
"Apa yang kau lakukan?"pikir Matteo, menendang pintu unitnya hingga tertutup rapat, selanjutnya membawa Lucia ke kamar, mengistirahatkan gadis itu di sana.
Matteo duduk di pinggir ranjang, menyingkirkan rambut halus Lucia yang berantakan di sekitar wajahnya. Mengusap lembut. Sesaat, pria itu memerhatikan, menjelajahi tiap sudut wajah Lucia. Ia menelan ludah, terlihat memikirkan sesuatu.
Matteo bangkit, berjalan dua langkah, lalu berhenti. Menoleh pada Lucia kembali. Hmm. Sial. Matteo tidak bisa mengabaikan Lucia. Ia kembali duduk, melepaskan pakaian gadis itu. Membebaskannya dari aroma alkohol yang begitu tajam. Tanpa gadis itu sadari, jari-jari panjang Matteo mengusap sisi pahanya. Tepat pada bekas jahitan sepanjang tiga senti di sana.
Lucia mendadak bergerak, merasakan tubuhnya dingin. Gadis itu memiringkan tubuh, tetap lelap tertidur tanpa terusik. Matteo bangun, menumpuk selimut tebal di atas tubuh gadis itu.