Langit Manhattan masih muram ketika fajar mulai naik perlahan dari balik gedung-gedung pencakar langit yang bisu. Jalanan belum ramai, masih basah oleh hujan semalam, dan udara menggigit kulit dengan dingin menusuk. Di antara trotoar yang lengang dan lampu jalanan yang berkedip redup, Kiara melangkah dengan kaki telanjang. Telapak kakinya memijak dinginnya aspal dan batu-batu kecil yang menyakitkan, tapi ia tak peduli. Rambut panjangnya tergerai berantakan, sebagian menempel di pipinya yang basah oleh air mata, sebagian tertiup angin malam yang belum sepenuhnya sirna. Gaun tidurnya kusut, tipis, nyaris transparan, tak cukup menutupi tubuhnya dari dingin yang membekukan tulang. Tapi Kiara terus berjalan. Terus menelusuri lorong gelap kota yang asing. Ia tidak tahu ke mana arahnya, tidak t