Jam sudah hampir menunjukkan pukul sembilan pagi. Matahari menerobos melalui kaca-kaca tinggi mansion Roberto, menyinari ruang makan yang luas dan megah. Di ujung meja panjang berlapis taplak krem itu, duduk Albert Roberto dengan setelan kemeja putih dan celana hitam rapi. Tangannya memegang cangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap tipis, namun tidak sekali pun ia menyentuh sarapannya. Tatapan matanya tajam menatap ke arah pintu, rahangnya mengeras. Di depannya, meja penuh dengan sajian—roti panggang, omelet, buah segar, dan segelas jus jeruk. Tapi tak ada suara sendok garpu. Tak ada gerakan. Tak ada percakapan. Albert menaruh cangkirnya pelan, membiarkan bunyi dentingan kecil terdengar saat porselen itu menyentuh piring alasnya. Wajahnya tetap datar, tapi matanya menyimpan amarah