3. Penting atau Tidak

1432 Kata
"Aku akan pergi menemui Om Edwin dan Tante Elena." Alex sudah duduk di meja makan. Dia memilih duduk di samping Ana dan Sera di sampingnya. Jadilah Sarah duduk sendiri di depan semuanya. Hati Sarah semakin tenggelam. Tangannya mengepal tanpa sadar. Pria itu mengambil segelas air putih dan memberikannya kepada Sera. Gadis yang masih menyisakan Rina merah di pipi itu meraih dan meminumnya perlahan. Ah, Sera memang seperti itu. Gadis itu polos dan murni. Tidak banyak bicara dan lebih sering tersenyum. Sedikit pendiam dibanding dengan saudara kembarnya, Ana. "Kamu akan ke Amerika?" Darren yang sedari tadi hanya diam, kini bersuara. Alex mengangguk. "Aku akan meminta ijin langsung kepada Om Edwin. Sekalian cuti. Sudah lama aku tidak pergi ke manapun. Boleh 'kan, Pa?" "Boleh saja." Bukan Darren yang menjawab, tapi Amber. Mama Alex itu sangat bahagia hingga dia langsung menyetujui keinginan putranya. Darren menoleh dengan cepat. Dia baru saja hendak mengatakan jika Alex tidak seharusnya meninggalkan perusahaan begitu saja. Setidaknya dua minggu ke depan atau bulan depan, tapi Amber sudah berucap. Dan ucapan Amber adalah titah baginya. Jadi, dia hanya tersenyum tipis lalu mengangguk. Alex sepertinya memahami maksud papanya. "Papa tidak perlu khawatir. Aku akan membereskan semua urusan pekerjaan sebelum berangkat." Senyum di bibir Darren menjadi semakin lebar. "Ya, begitu lebih baik." Dan percakapan tentang pernikahan Alex dan Sera terjadi begitu saja. Alex menyerahkan semua konsep pernikahannya kepada sang mama dan calon istri. Dia hanya berpesan agar pernikahan itu digelar secepatnya. Hati Sarah semakin ciut mendengar semua itu. Perasaannya hancur dan dadanya semakin sesak. Matanya memanas. Dia tidak bisa berada di sini lebih lama. Jika tidak, dia akan mempermalukan dirinya sendiri dengan menangis di depan semua orang. Sarah memang tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Dia sudah menahan diri untuk tidak terlalu sering menatap apalagi memperhatikan Alex. Semuanya terbongkar saat Sarah tidak sengaja menjatuhkan bukunya di halaman. buku yang berisi coretan-coretan Sarah. Tidak ada yang spesial di dalamnya, tapi buku itu jatuh dan satu halaman telah terbuka. Parahnya, halaman itu berisi tentang sebuah puisi yang setiap barisnya diawali dengan huruf-huruf tertentu. Jika digabungkan, maka akan terbaca Alex. Saat itu, mereka masih duduk di bangku SMA. Perasaan Sarah sedang menggebu. Dia begitu naif berpikir tidak keberatan jika hanya dia ya g merasakan perasaan ini. Cinta sepihak tidak akan begitu menyakitkan. Nyatanya, hatinya pecah berserakan. Alex memungut buku itu. Jantung Sarah sudah berkejaran. Gadis itu merasakan gugup, takut, bahagia, sekaligus penasaran dengan reaksi yang akan diterimanya. Matanya menatap Alex tanpa kedip dia ingin merekam momen ini baik-baik. Alex membacanya sekilas, melirik sinis kepada Sarah, lalu melemparkan buku itu kembali ke tanah seperti sampah. Hati Sarah mencelos. Jantungnya seakan teriris dan darah mengalir deras darinya. Meski Alex tidak mengucapkan satu katapun, dia tahu jawabannya. Semua sudah jelas. Dering ponsel membuyarkan lamunan Sarah. Dalam hati, dia berterima kasih pada siapapun yang telah meneleponnya kali ini. "Maaf, aku harus mengangkat panggilan ini." Tanpa menunggu jawaban, Sarah berdiri dan berjalan ke halaman belakang. Amber, Ana, dan Sera melanjutkan kembali percakapan mereka. Darren mengangguk dan setuju saja dengan para wanita. Hanya Alex yang pikirannya tertuju pada Sarah. Matanya yang berwarna kuning keemasan menatap tajam ke arah punggung Sarah yang menjauh. Jauh di lubuk hatinya, dia merasa jika Sarah memang menghindar. Tanpa dia sadari, satu sudut bibirnya terangkat ke atas, membentuk seringai. 'Bagus jika kamu menyadari tempatmu. Aku memang sengaja mengajak mama dan Ana membahas pernikahan di depanmu. Aku mulai muak melihatmu terus di samping Ana. Aku yakin mulai sekarang kamu akan berpikir seribu kali jika hendak mengunjungi Ana atau bergabung dengan liburan kami.' Alex tersentak saat merasakan seseorang menyentuh tangannya dengan cepat lalu menariknya kembali. Dia menoleh dan mendapati Sera tersenyum padanya. "Apa yang kamu pikirkan?" Suara lembut Sera menyapa gendang telinga Alex membuat seringai di wajahnya berubah menjadi senyuman. "Tidak ada," jawabnya cepat. Kepalanya menggeleng. "Sudah malam. Apa kamu tidak ingin istirahat?" Sera melirik pintu belakang. Dia mencoba memulai percakapan dengan Alex, ingin tahu apa yang menyebabkan calon suaminya melamun selama itu. Alex menatap sekeliling. Rupanya hanya tinggal mereka berdua di meja yang besar ini. "Ke mana semua orang?" "Sudah kembali ke kamar," jawab Sera sambil tersenyum lebar. Bahunya sedikit bergetar karena menahan tawa. "Apakah pernikahan kita membosankan bagimu hingga kamu melamun?" Alex terkejut mengetahui dia cukup lama melamun tentang masa lalu. Namun, dia segera menormalkan wajahnya. "Siapa bilang? Aku justru tidak sabar." Alex meremas tangan Sera. "Ayo, aku akan mengantarmu ke kamar." Alex menggandeng tangan Sera. Bersama, mereka berjalan menuju lantai dua. Sera merasakan kehangatan mengalir dari tangannya. Dia melirik ke bawah. Bibirnya berkedut menahan senyum melihat tangannya yang kecil tenggelam dalam tangan Alex yang besar. Tiba di depan kamar Sera, Alex melepas genggamannya, mengelus pelan rambutnya, lalu mendoakan Sera agar gadis itu mimpi indah. Sera menjawabnya dengan senyum semanis madu, lalu menutup pintunya. Begitu pintu tertutup sempurna, Alex berbalik untuk kembali ke kamarnya. Langkahnya berhenti saat melihat Sarah berdiri tidak jauh darinya. Sarah mematung melihat wajah hangat Alex untuk Sera. Pria tampan yang masih merajai hatinya setelah bertahun-tahun itu bahkan mengusap rambut Sera sambil tersenyum. Sesuatu yang pernah menjadi mimpi sarah, kini dia melihatnya, tapi bukan untuknya. Tangannya terkepal menahan sakit. Ternyata memiliki cinta sepihak sakitnya tidak main-main. Sarah merasa dadanya selalu sesak dan air matanya seakan tidak pernah habis, terus saja mendobrak pertahannya agar luruh membasahi pipinya. Sarah merasa dirinya begitu bodoh! Alex terang-terangan menolaknya sejak SMA. Pria dingin itu telah membanting bukunya, menghancurkan hatinya, tapi kenapa rasa cinta ini semakin menumpuk dan kuat? Sarah benci hal ini! Otak Sarah masih mencoba mencerna isi hatinya saat Alex berjalan melewatinya. Tanpa senyum, apalagi sapaan. Wajah pria itu begitu datar. Tatapannya lurus dan tidak meliriknya sedikitpun. Sarah tidak bisa menebak apa yang pria dingin itu rasakan. Wanita yang tengah patah hati itu hanya bisa merasakan hembusan angin saat Alex melewatinya dengan acuh, menyisakan wangi parfum yang sudah menjadi ciri khasnya sejak dulu. -- Pagi datang dengan cepat. Sarah baru saja memejamkan matanya saat dia mendengar alarm ponselnya berdering. Huft, ini pasti gara-gara dia memikirkan hidupnya semalaman! Semangat, Sarah! Jangan biarkan sakit hati menghancurkan hidupmu. Tidak perlu menyalahkan siapapun karena di sini, kamulah yang menjadi bodoh! Sarah mendengkus kasar mengingat betapa bodohnya dia selama ini. Dia tidak bisa terus-terusan merenungi nasib cintanya yang tragis. Alex bukan jodohnya! Dengan semangat baru, menyambut hari baru, Sarah turun dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi, keluar setelah lima belas menit, lalu bersiap. Hari ini, Sarah memilih baju yang lebih cerah. Atasan berbahan sifon berwarna kuning tanpa lengan dan celana panjang kulot yang membuat tubuhnya bebas bergerak. Dia juga sengaja menggerai rambutnya dan mengganti parfumnya. Pokoknya, hari ini Sarah benar-benar ingin membebaskan dirinya dari belenggu apapun. Ketukan di pintu disertai dengan teriakan Ana terdengar keras. Sarah menggeleng mendengar tingkah sahabatnya. "Sebentar!" Sarah berbalik dan l membuka pintu dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. "Kenapa kamu lama sekali? Ayo, aku sudah bilang mau mengajakmu ke pantai sebelum matahari semakin panas." Ana meraih tangan Sarah dan menariknya begitu saja tanpa menunggu jawaban. Sarah tidak menolak saat dirinya ditarik keluar. Lagi pula, dia ingin bersenang-senang setelah kejadian kemarin. Keluar dari vila, Sarah bisa melihat langit gelap yang berangsur terang. Cahaya matahari mulai menyinari langit, menembus awan-awan. Laut yang tadinya gelap, berangsur berubah menjadi kebiruan. Sangat cantik. Sarah terpana. Matanya berbinar dan mulutnya menganga. Namun, semua keindahan itu sirna saat dia mendengar Ana menyapa seseorang. "Hai! Kalian di sini juga??" Sarah ikut menoleh. Sepasang kekasih, berjalan bersama. Keduanya memiliki kesempurnaan wajah yang saling melengkapi. Sang pria, tampan, dingin, dan tampak acuh. Sedangkan sang wanita tersenyum manis hingga matanya menyipit, ramah, dan penyayang. "Cuaca pagi ini cukup cerah. Alex membangunkan aku dan mengajakku kemari. Sebenarnya aku masih mengantuk, tapi aku rela bangun sepagi ini untuk melihat matahari terbit." Sera tersenyum tipis sambil menatap kekasihnya. Pandangan mereka bertemu, penuh kasih, membuat Sarah iri. Sarah menatap nanar. Hatinya berdarah sekali lagi. Kenapa? Padahal dia sudah mati-matian ingin menghapus perasaan ini. Kenapa susah sekali?? Sarah sontak mengalihkan pandangan dan menunduk. Tidak kuasa melihat betapa sempurna mereka berdua. Rasa tidak percaya diri menggelayuti hatinya. Sepertinya dirinya tidak akan sanggup berada di sini lebih lama lagi. Lebih baik Sarah pamit terlebih dulu sebelum dadanya meledak karena sesak. "Kemarin ada telepon penting ya, Kak Sarah?" Sarah mendongak dan mengangguk. Tidak lupa, dia juga memasang senyum palsu. "Iya, cukup penting. Jadi aku akan kembali setelah sarapan." "Kamu yakin?" Ana menoleh dengan cepat. Tentu saja dia terkejut. Pasalnya, Sarah sama sekali tidak menyinggung apapun sedari tadi. Kenapa sekarang ingin pulang? "Iya, tentu saja! Untuk apa aku mengada-ada?" Mata Alex menyipit, menatap lurus ke arah Sarah. Dia mencoba mencari kebenaran dari perkataan wanita itu. Tapi, untuk apa dia peduli? Terserah jika Sarah sedang berbohong. Bukankah wanita itu tidak penting dalam hidupnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN