"Sarah, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Tante kira kamu akan kembali besok bersama kami semua." Amber masih belum rela melepas teman putrinya ini.
Mereka semua sedang berada di meja makan, menikmati sarapan. Betapa terkejutnya Amber saat Ana memberi taunya jika Sarah akan kembali ke Jakarta tepat setelah sarapan.
"Iya, Tante. Semalam aku mendapat telepon cukup penting. Maaf, aku tidak bisa lagi menginap." Ada raut penyesalan terbaca di kedua mata Sarah.
"Apa sebenarnya yang penting sih, Sar? Bukankah ini libur akhir tahun?" sahut Ana. Namun, sedetik kemudian, dia memakluminya. Bagaimanapun, Sarah memiliki posisi yang penting dalam perusahaan. Tentu saja selalu ada hal yang bisa mengganggunya.
"Sarah tidak sepertimu yang masih suka berbelanja dan jalan-jalan, Princess." Darren berkata dengan suaranya yang dalam dan mendominasi. Pria tampan dengan mata segelap malam itu memberikan lirikan berarti pada putrinya.
Ana memang menolak jabatan apapun dalam struktur grup perusahaan papanya. Dia lebih suka berpetualang, berkeliling kota-kota di Indonesia, mencari inspirasi, lalu menuliskan kisahnya dalam sebuah buku. Meski menulis adalah hidupnya, dia tetap menolak jabatan apapun di Elang.
Setelah sarapan, sebuah helikopter mendarat di halaman vila untuk menjemput Sarah. Putri Ghani dan Sandra itupun berpamitan pada semua orang. Entah disengaja atau tidak, Alex tidak terlihat di manapun.
"Mungkin dia sedang berada di kamar. Dia sempat mengeluh sakit perut tadi saat sarapan." Sera berusaha memberikan penjelasan.
Sarah tersenyum. "Tidak masalah. Aku pamit ya."
Sarah mengulurkan tangannya dan disambut ramah oleh Sera. Ujung lengan bajunya sedikit naik hingga memperlihatkan kulitnya. Namun, Sarah melihat ada sedikit keanehan di sana.
Kulit putih itu tampak sedikit kemerahan dan bentol. Sarah belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya.
"Kulitmu kenapa?" Sarah menatap Sera dengan kening berkerut.
Meskipun Sera adalah saingan cintanya, tapi Sarah tahu jika Sera adalah gadis yang baik. Sera memiliki hati sebening kristal. Senyumnya tulus dan memikat. Tidak salah jika Alex memilih gadis ini. Bukan salah Alex jika menolaknya. Bukankah cinta memang tidak bisa dipaksakan? Sarah hanya kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa perasaannya tidak segera berganti atau menghilang sejak Alex menolaknya?
"Oh, tidak apa-apa. Hanya gatal biasa. Aku sudah memberikan salep tadi pagi. Sekarang sudah mendingan," jawab Sera malu-malu.
Sarah mengangguk setuju. "Mungkin udara pantai yang panas mempengaruhi kulitmu."
"Kamu benar, Kak. Aku pikir juga begitu."
Setelah berpamitan pada semua orang, Sarah segera menaiki heli dan kembali ke Jakarta.
Setelah helikopter Sarah tidak lagi terlihat, Ana segera menghampiri Sera. "Apakah gatalnya serius?"
Dia tampak khawatir. Bagaimanapun juga, Sera adalah putri kesayangan om Edwin. Ana tidak ingin terjadi sesuatu padanya. Apalagi, gadis ini akan menjadi kakak iparnya
Sera mengangkat ujung lengannya sampai siku, memperlihatkan bentol-bentol merah yang merusak kulitnya. Memang tidak terlalu besar, tapi tetap saja tidak sedap dipandang.
"Tidak apa-apa, Kak. Sudah mendingan."
"Itulah sebabnya kamu memakai baju panjang meski kita di pantai?"
Sera tersenyum malu-malu dan mengangguk. "Jangan khawatir! Mungkin karena terkena uap air asin. Nanti juga hilang kalau sudah kembali ke Jakarta."
"Iya, mungkin saja. Sebaiknya kamu segera masuk agar tidak semakin merah dan banyak."
"Baik, ayo!"
Sera berlalu dan kembali ke kamar untuk kembali mengoleskan salep sementara Ana mengambil air minum di dapur.
"Ada dengan Sera?" tanya Amber. Mama Ana itu mengikuti anak gadisnya ke dapur untuk menanyakan hal itu. "Tadi aku melihatmu dan Sarah bergantian memeriksa tangannya."
"Tangannya memerah dan gatal. Tapi, dia sudah mengobatinya," jawab Ana setelah meletakkan gelasnya.
"Apakah parah?"
Ana menggeleng. "Tidak begitu banyak. Dia bilang mungkin karena terkena uap air asin. Kalau sudah pulang ke Jakarta nanti juga sembuh."
"Oo, begitu. Ya sudah. Hari ini, kamu mau ke mana?"
"Di kamar saja, Ma. Aku mau menulis. Tidak seru kalau tidak ada Sarah."
Semenjak menghabiskan sarapannya, Alex Mengurung dirinya di kamar. Dia sengaja menyibukkan diri dengan buku dan laptop. Saat dia mendengar suara helikopter datang dan pergi tidak lama kemudian, senyum samar muncul di bibirnya.
Bukan maksud Alex untuk membenci Sarah. Dulu, dia menyukai kedatangan Sarah meski tidak pernah mengungkapkannya. Sarah yang periang sangat cocok dengan Ana. Jika keduanya bertemu, rumah menjadi ramai dan hidup. Alex menikmatinya. Namun, semua berubah sejak Alex hendak membantu Sarah mengambil bukunya yang terjatuh. Tidak sengaja, dia membaca sebuah puisi yang sangat indah. Alex sempat tersentuh. Dia hendak bertanya siapa pemuda yang beruntung itu saat dia menyadari huruf awal setiap barisnya. Rasa jijik menyeruak dengan tajam di hatinya. Dia tidak menyangka jika Sarah tidak berbeda dengan para gadis di luaran sana yang selalu memberinya surat atau puisi dan cokelat. Seluruh rasa simpati Alex hilang. Dengan tangan gemetar, menahan emosi, dia membanting buku itu kembali ke tanah dan meninggalkan Sarah sendiri.
Sejak saat itu, penilaian Alex tentang Sarah menurun drastis. Baginya, Sarah termasuk golongan gadis-gadis yang selalu histeris setiap kali dirinya lewat, kumpulan gadis yang selalu membuatnya muak dan pening.
Alex bisa melihat tatapan sedih dan terluka yang terpancar dari matanya saat itu, tapi Alex tidak mau ambil pusing. Dia harus membuat batasan yang jelas agar Sarah tidak menaruh harapan padanya. Selain itu, hatinya sudah tertambat pada sosok gadis kecil yang polos. Dan Alex bertekad akan menunggu si gadis hingga cukup umur dan langsung melamarnya.
Alex tidak lagi mendengar suara helikopter meski dari kejauhan. Dengan santai, dia menutup bukunya dan keluar dari kamar. Tujuannya sudah jelas. Siapa lagi jika bukan calon istrinya.
Ah, betapa indah kata-kata itu!
Kedua sudut bibir Alex terangkat. Hatinya sudah menandai Sera sejak gadis itu kanak-kanak. Wajahnya yang polos dan tingkahnya yang masih murni membuatnya seperti secarik kertas kosong yang rapuh. Alex bertekad untuk terus menjaganya dan tidak membiarkan apapun merusak keindahannya.
"Di mana Sera?" tanya Alex pada Ana saat mereka berpapasan di tangga.
"Sepertinya, dia di kamar. Kamu dari mana saja? Sarah sudah pulang dari tadi."
"Apa dia mencari aku untuk berpamitan?"
"Mmm." Ana mencoba mengingat-ingat, lalu menggeleng. "Sepertinya tidak."
"Cukup kamu dan mama yang mengantarnya. Dia juga bukan temanku. Tidak ada bedanya aku mengantar dia pulang atau tidak."
"Tapi setidaknya tunjukkan niat baikmu sebagai tuan rumah."
"Ck! Sudahlah, Princess. Hanya masalah kecil." Alex memutar matanya lalu berbalik menuju kamar Sera.
Alex hanya butuh satu kali mengetuk pintu kamar Sera sebelum gadis itu membukanya.
Senyum otomatis terbit di bibir Alex saat melihat gadis cantik alami berdiri di depannya.
"Kakak?"
"Kenapa cuma di kamar? Kamu bilang hari ini ingin bermain jet ski. Ayo! Aku akan mengganti bajuku."
Alex hendak melangkah kembali ke kamarnya namun tangan Sera lebih cepat menjangkaunya.
"Tunggu, Kak!"
Alex menghentikan langkahnya, lalu berbalik. "Ada apa?"
"Mmm." Sera tampak ragu untuk menjelaskan. Bagaimana bisa dia mengatakan dengan gamblang pada pria yang dia sukai jika kulitnya sedang bermasalah? Sudah otomatis seorang gadis ingin tampil cantik sempurna di mata kekasihnya.
Alex mengernyit melihat gadisnya tidak kunjung berkata. Apa ada sesuatu yang mendesak? Lebih penting? Atau ada yang salah?
"Ada apa, Ser? Katakan!" Iris Alex yang berwarna keemasan menyorot tajam dan fokus.
Sera jadi salah tingkah dibuatnya. Jantungnya berdebar mendapat tatapan penuh intimidasi dari pria tinggi di depannya ini.
"Aku sedikit pusing. Bagaimana kalau kita membaca buku saja?
Alex sontak memutar tubuhnya, menghadap penuh kepada Seraphina, menggenggam kedua tangannya dan tatapan khawatir terpancar kuat dari matanya. "Pusing? Mulai kapan? Kenapa kamu tidak bilang?"
Hati Sera menghangat mendapat perhatian seperti itu. Gadis Itu menunduk, tersipu. "Hanya pening biasa, bukan hal besar. Kakak tidak perlu khawatir."
"Apa kamu yakin?" Alex meraba dahi Sera, memastikan suhu tubuhnya tidak berubah.
"Iya. Sudahlah, ayo!" Sera menepis tangan Alex, menggenggamnya, lalu mengajaknya menuju ruang baca.
Alex menurut saja saat Sera menariknya turun menuju ruang baca. Gadis itu berjalan sedikit cepat, terkesan terburu-buru. Untungnya, kakinya cukup panjang untuk bisa mengejar. Alex jadi curiga jika Sera sebenarnya tidak pusing. Entah apa yang coba dia tutupi.
Alex melirik gadis di sampingnya. Wajah polos dan senyum tanpa dosa milik Sera membuat kecurigaan Alex sirna seketika. Rasa-rasanya, tidak mungkin gadis seperti ini membohongi dirinya. Lagi pula, untuk apa dia berbohong? Bukankah Sera menyukai olah raga itu?
Merasa diamati sedari tadi, Sera menoleh. "Kenapa, Kak?"
Alex segera menghapus kecurigaannya. Tidak masalah jika tidak bermain jet ski. Yang terpenting, mereka tetap bersama.
"Kamu cantik." Alex refleks menjawab.
Wajah Sera sontak memerah. Bibirnya berkedut menahan senyum. Sera langsung memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin Alex menyadari. Dia juga tidak ingin dianggap terlalu baper dan cepat besar kepala mendapat pujian seperti itu. Sayangnya, Alex sudah terlanjur melihat wajah tersipunya yang menggemaskan.
Sera mendengar Alex terkekeh. Lalu, pria menarik Sera mendekat untuk memberikan pelukan di bahunya. Secara tidak sadar, gerakan itu membuat ujung lengan Sera terangkat. Dan ruam kemerahan yang berusaha Sera tutupi akhirnya terlihat.
Alex menghentikan langkahnya, mengangkat ujung lengan Sera untuk melihat kemerahan di tangannya. "Ini kenapa? Kok merah begini?"
"Bukan apa-apa, Kak" Sera menarik kembali ujung lengannya agar menutupi ruam-ruam itu. "Mungkin karena terkena uap air asin."
Alex mengernyit. Dia seperti berpikir keras. "Apa mungkin kamu mengenai sesuatu saat berenang kemarin?"
"Mungkin saja."
"Apa perlu kita ke dokter sekarang?"
"Eh, tidak perlu! Sudah aku beri salep. Akh juga sudah meminum obat. Tidak perlu khawatir. Nanti juga sembuh kalau sudah kembali ke Jakarta."
Alex menatap lurus ke arah pupil Sera. Wajah gadis itu penuh ketegasan. Dia yakin dengan apa yang dia katakan. Alex pun pasrah.
"Baiklah, tapi berjanjilah kamu akan ke dokter jika penyakitnya tidak kunjung sembuh."
Senyum perlahan terbit di wajah Sera. Gadis itu mengangguk dengan cepat. "Tentu saja!"
Mereka pun melanjutkan langkah menuju ruang baca. Sayangnya, hingga kembali ke Jakarta, ruam itu tidak kunjung hilang.