Beberapa minggu telah berlalu. Alex sudah menyiapkan pesawat jet pribadinya sendiri untuk mengantarnya ke New York. Pria tampan dengan mata sebening madu itu sudah tidak sabar untuk meminta restu langsung kepada Edwin dan Elena.
Putra Amber dan Darren itu sudah berdiri dengan tegak, menunggu sang pujaan hati di bandara pribadinya. Sosoknya tinggi dengan aura dominan yang memancar kuat di sekujur tubuhnya. Matanya boleh jadi indah dengan warnanya yang bening keemasan, tapi tatapannya tajam dan menakutkan membuat siapapun enggan mendekat.
Tidak lama kemudian, sebuah mobil memasuki area bandara. Saat Alex melihatnya, senyum perlahan terbit di wajah yang semula yang datar. Diapun berbalik, merapikan penampilannya, untuk menyambut kedatangan kekasih hatinya.
Sera memarkirkan mobilnya tepat di sebelah mobil Alex. Gadis itu keluar dengan membawa satu koper kecil di tangannya. Seorang pelayan segera mengambilnya dan membawakannya ke dalam pesawat.
Alex tidak membuang waktu untuk meraih tangan Sera dan menggenggamnya. "Sudah siap?"
Sera mengangguk. Tidak lupa, senyum manis dia tampilkan. Jantungnya mulai berdebar saat merasakan kedua tangannya yang mungil tenggelam dalam kehangatan calon suaminya.
"Maaf, aku terlambat. Tadi pagi ada kemacetan di beberapa tempat."
"Kamu tidak terlambat. Aku saja yang datang terlalu cepat."
Sera menggigit bibirnya. Alex sungguh manis dan penuh pengertian. Dengan semua pesona fisik dan kehangatan hatinya, tidak mungkin dia menolak pria sesempurna ini. Namun, sedikit rasa bersalah mendiami sudut hatinya. Bukan karena macet yang menyebabkannya terlambat, tapi lamanya dia memilih baju.
Ruam di tangannya yang muncul sejak liburan terakhir kemarin belum sembuh sampai sekarang bahkan bertambah besar. Sera sudah mencoba mandi air hangat dengan obat tetes anti kuman. Dia juga sudah mengganti sabun mandi, lotion, dan semua macam obat. Tapi, tidak ada yang berhasil. Jadilah dia lama berdiri di depan lemari, mengamati baju apa yang sekiranya cocok dia pakai. Pilihannya jatuh pada kemeja sifon longgar lengan panjang dengan manset di ujungnya. Bahan sifon yang flowy diharapkan bisa mengurangi rasa panas yang menerpa tubuhnya. Untungnya, awal tahun seperti ini, cuaca New York masih dingin. Salju di mana-mana. Sera tidak perlu khawatir memilih alasan untuk memakai baju panjang.
Alex mengajak Sera menaiki pesawat dan memerintahkan pilot untuk segera lepas landas saat semua sudah siap.
Selama di dalam pesawat, Sera memilih menghabiskan waktunya dengan membaca majalah dan tidak ingin mengganggu Alex yang sedang fokus dengan tablet di depannya. Satu tangannya sengaja menggenggam tangan Sera dan tidak bermaksud untuk melepasnya. Sera terkikik tanpa mampu melepas tangannya.
Siapapun yang melihat tingkah Alex tidak akan menyangka jika pria yang selalu tampil datar dan cuek itu bisa bersikap semanis ini.
Seorang awak kabin datang dan menawarkan sesuatu.
"Ada yang kamu inginkan?" Alex menoleh.
"Mmm, aku ingin sesuatu yang segar."
"Berikan sesuatu yang paling enak untuknya!" perintah Alex pada awak kabinnya.
"Baik, Tuan."
"Kakak, belum memesan apapun." Sera sedikit menarik tangan Alex, membuat pria itu menoleh padanya. "Apa kakak tidak lapar? Makanlah sesuatu untuk menemanimu bekerja."
"Baiklah, Nyonya." Alex mengangkat tangannya yang menggenggam tangan Sera lalu mengecup punggung tangannya sebelum beralih kepada pramugari. "Croissant dan teh."
"Baik, Tuan." Sang pramugari sedikit membungkuk, lalu kembali ke belakang.
Tidak lama kemudian, dia kembali dengan membawa troli makanan, meletakkan pesanan tuannya di atas meja, dan berbalik.
"Minumlah!" Alex menyerahkan segelas es pada Sera yang langsung disambut antusias oleh sang gadis.
"Mmm." Sera bergumam sambil memejamkan matanya. Minuman ini sungguh nikmat dan menyegarkan tenggorokannya. Sera bisa merasakan air soda, melon, dan heli di dalamnya. Namun, ada rasa lain yang Sera tidak mengerti.
"Bagaimana?" tanya Alex.
Sera mengacungkan jempolnya. "Enak banget, Kak," jawabnya sambil tersenyum lebar.
"Syukurlah kalau kamu suka. Jangan lupa dihabiskan."
"Hmm, pasti!"
Setelah menghabiskan segelas es, Sera merasa penuh dan kenyang.
Perjalanan menuju Amerika tidaklah singkat. Sera merasa tubuhnya pegal-pegal karena duduk terlalu lama. Ditambah dengan rasa kenyang membuat kantuk menyerang matanya.
Alex menyadarinya. Diapun meminta Sera beristirahat di kamar. Sera menurut dan meminta Alex membangunkannya sebelum mendarat.
Sera tidak yakin berapa lama dia tertidur, tapi dia yakin itu sangat lama. Dia hanya bangun sekali untuk makan sebelum melanjutkan tidurnya. Saat bangun, Dia masih merasa sangat lemas hingga seakan semua tulangnya copot dan ototnya terlepas begitu saja. Mungkin efek dia membersihkan apartemennya kemarin masih dia rasakan hingga sekarang.
"Sebentar lagi mendarat. Apa kamu masih mengantuk?" Suara Alex terdengar dalam, namun penuh dengan kehangatan.
Sera langsung memaksa matanya terbuka. "Tidak, ayo keluar."
Alex membantunya turun dari kasur. Sera membutuhkan sedikit waktu untuk mengumpulkan kesadarannya dan mulai melangkah dengan keluar Rasa lemas yang tadi dirasanya, kini sudah menghilang saat menyadari dia akan bertemu dengan kedua orang tuanya sebentar lagi.
Kakinya mendadak ringan. "Ayo, Kak!" Sera meninggalkan Alex di belakang dan segera duduk di kursinya, lalu memasang sabuk pengamannya.
Alex tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. "Siapa yang tadi tidur nyenyak dan sulit dibangunkan?"
Sera tersenyum lebar, menampilkan giginya yang putih dibingkai oleh keindahan bibirnya yang berwarna merah muda.
Setelah Alex duduk dan memasang sabuk pengaman, pilot mengabarkan jika mereka akan mendarat. Perlahan, pesawat mulai turun, melewati awan, lalu tampaklah gedung-gedung pencakar langit yang bertebaran di seluruh New York. Ribuan lampu-lampu menari seakan menyambut kedatang Sera kembali ke kota kelahirannya.
Hati Sera bertabur bunga. Sudah agak lama sejak terakhir dia pulang. Dulu, dia mengatakan akan pulang dengan membawa ijazah. Kini, tidak hanya dia pulang membawa ijazah, dia juga membawa calon suami!
Sebuah sedan telah menunggu mereka, siap mengantarkan mereka menuju penthouse Edwin dan Elena.
"Selamat datang Tuan dan Nona," sapa sopir yang bertugas sebelum membukakan pintu untuk mereka.
"Terima kasih," jawab Sera.
Setelah keduanya duduk dengan nyaman, sopir segera masuk dan melajukan mobil.
Jalanan masih begitu ramai meski jam menunjukkan dini hari. Hanya tersisa beberapa saat saja sebelum matahari mulai terbit.
Sera masih bisa melihat toko-toko yang masih buka. Juga orang-orang yang berlalu lalang, bercanda dan tertawa seolah esok mereka tidak pergi bekerja.
Setelah satu jam perjalanan, sedan itu akhirnya terparkir di basemen apartemen paling mewah di lingkungan ini. Alex segera turun, memutar, dan membuka pintu untuk Sera, sedangkan sopir menurunkan koper-koper mereka.
"Mami dan papi mungkin masih tidur. Nanti jangan bicara terlalu keras ya, Kak!" pesan Sera saat mereka memasuki lift yang langsung membawa mereka menuju penthouse.
Alex mengangguk mengerti. Kedua calon mertuanya itu tidak mungkin masih bangun atau sudah bangun tidur dan menunggu kedatangan mereka. Selain itu, dia sendiri sudah capek. Dia ingin beristirahat sebentar sebelum sarapan nanti bertemu dengan Edwin dan Elena.
Suasana penthouse masih sepi dan gelap saat Sera dan Alex membuka pintu. Tanpa menimbulkan banyak suara, Sera membawa Alex menuju kamar tamu dan menyuruhnya beristirahat. Setelah itu, Sera menyeret langkahnya menuju kamarnya sendiri.
Setelah mengunci pintu, Sera meletakkan kopernya di pojok kamar lalu segera menuju kamar mandi. Tubuhnya terasa lengket dan tidak nyaman. Selain itu, dia merasa lengan dan tangannya sangat gatal. Dia takut ruam di tangannya semakin memerah.
Sera bergegas berdiri di depan kaca dan membuka jaket serta kemejanya. Tampaklah kulitnya yang putih bersih. Sayangnya, di area lengan dan tangan kanannya, terdapat ruam-ruam merah dan benjolan. Area itu tampak sangat merah dan gatal.
Sera ingin menangis. Kenapa kulitnya jadi seperti ini? Berbagai produk obat-obatan sudah dia konsumsi, tapi belum ada perubahan yang signifikan. Obat-obat itu hanya bertahan beberapa kali pakai saja. Setelah itu, ruam itu kembali memerah dan memberikan efek gatal yang luar biasa. Untungnya, sebelum pulang kemarin, dia pergi ke dokter yang berbeda. Dokter itu meresepkan sabun mandi khusus untuknya, salep, dan juga pil.
Selama perjalanan, Sera tidak bisa leluasa mengoleskan salep. Dia hanya bisa meminum obat. Itupun dengan diam-diam. Dia tidak ingin Alex mengetahuinya.
Tidak ingin semakin bersedih, Sera memilih untuk mandi air hangat dan memakai sabun khusus yang sudah dia dapatkan dari seorang dokter. Selesai mandi, Sera mengoleskan salep di tangannya, lalu pergi tidur dan berharap lukanya akan membaik saat bangun nanti.