6. Belajar Move On

1413 Kata
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan bagaimana bentuk hati Sarah saat ini. Patah, remuk, hancur, semua dia rasakan. Wanita itu juga merasa sesak yang tak kunjung usai seolah hatinya terus ditusuk jarum tanpa henti. Entah bagaimana lagi Sarah harus menghibur diri. Dia menyadari dengan baik bahwa perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan. Dia juga bisa memahami jika tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membuat Alex menyambut perasaannya. Sekuat apapun dia berusaha menarik perhatian Alex, jika tidak ada namanya dalam hati pria itu, tidak ada yang bisa dia lakukan. Hati Alex sudah terkunci dan hanya satu gadis yang dipercaya menyimpan kunci itu sejak lama. Sarah tidak memiliki peluang sama sekali. Sarah terus mendengungkan dalam hati bahwa pria dingin dengan mata sebening madu itu bukanlah pria yang tepat untuknya. Alex bukan jodohnya. Bersama dengan Sera, Alex tampak bahagia. Bukankah itu yang ingin dia lihat? Ikhlas dan merelakan. Hanya itu yang bisa Sarah lakukan untuk mengobati hatinya. Tentunya tidak bisa instan, tapi Sarah harus terus mencoba. Seperti saat ini, wanita patah hati itu sedang berusaha fokus dengan tumpukan pekerjaan di atas mejanya. Sejak tadi, matanya tidak beralih dari kertas-kertas, laptop, dan telepon-telepon penting. Hanya sesekali, dia akan berdiri untuk meregangkan otot-ototnya, melakukan gerakan-gerakan ringan untuk memperlancar peredaran darahnya sebelum kembali duduk dan tenggelam dalam pekerjaan. "Kembalikan laporan ini! Aku tidak suka ada banyak kolom panjang seperti ini." Sarah mengulurkan beberapa lembar kertas kepada asistennya, Arya. Pria berumur pertengahan tiga puluh itu menerimanya tanpa banyak kata. Entah apa yang merasuki bosnya. Akhir-akhir ini, pimpinan perusahannya ini tampak begitu semangat bekerja, namun tidak ada senyum yang biasa tampil di wajahnya. Arya menghela nafas dalam hati. "Bagaimana dengan laporan bulanan pabrik Pati? Apa kamu sudah menerimanya?" "Sudah, Nona. Baru saja saya menerimanya. Apakah Anda memintanya sekarang atau Anda ingin saya memprosesnya dulu?" Sarah mengibaskan tangannya. "Proses dulu! Aku tidak ingin laporan kacau berada di mejaku. Lalu untuk pabrik tepung yang baru kita ambil alih, ada kendala apa di sana?" "Tidak ada laporan yang berarti, Nona. Pak Heru, yang Anda tunjuk untuk memimpin di sana, beliau melaksanakannya dengan baik. Tidak ada pergolakan yang berarti. Semua berada dalam kendali." "Bagus! Kita harus memastikan pasokan tepung kita selalu tepat waktu dan cukup. Jangan sampai kita mengalami kendala seperti tahun lalu. Membuat produksi terhambat dan kita merugi." "Tentu, Nona." "Baiklah, kamu boleh keluar. Tolong belikan saya salad dan Cordon bleu. Dan minumnya kopi dan es. Terserah kamu mau beli apa. Yang penting, ada kopi dan esnya." "Mm, capuccino?" "Terserah kamu " "Apakah Nona Sarah hendak lembur lagi malam ini?" "Iya," jawab Sarah dengan tegas dan tanpa berkedip. "Baik, Nona." Arya undur diri dari ruangan Sarah. Berdiri sejenak di belakang pintu lalu mengambil nafas sebanyak yang dia mampu. Sepertinya, dia harus mengabari istrinya karena pulang terlambat. Sarah menyandarkan punggungnya ke sofa, memejamkan matanya, dan mengambil nafas dalam-dalam. Namun, bayang-bayang Alex dan Sera yang tengah bergandengan tangan dan saling melempar senyum menyerbu pikirannya. Sarah cepat-cepat membuka matanya. Dia tidak ingin kembali terpuruk dan terpaku di tempat yang sama. Sesakit apapun hatinya, dia masih memiliki masa depan yang tidak boleh dia sia-siakan karena patah hati. Sarah menegakkan punggungnya dan mulai fokus dengan pekerjaannya lagi. Sudah cukup masa patah hatinya. -- Bunyi alarm membuat tidur Sarah terganggu. Sudah bisa dipastikan jika sekarang pukul lima pagi. Biasanya, dia akan bangun dengan segera dan pergi ke ruang fitnes. Saudara Sean itu menggeliat sebelum membuka matanya lebar-lebar untuk mencari keberadaan benda pipih dan canggih itu. Kepalanya menoleh, menyapu seluruh kamarnya, dan menemukan ponsel pintarnya tergeletak di atas tas, di atas meja. Dengan terpaksa, Sarah harus turun dari kasur. Jika tidak alarm itu tidak kan berhenti menjerit. Setelah mematikan alarm, Sarah duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya, menjadikan tangan sofa sebagai bantal, dan kembali memejamkan mata. Sarah melupakan sejenak aktivitas yang biasa dia lakoni. Rasa kantuknya belum hilang sepenuhnya. Semalam, dia pulang pukul dua belas, mengganti baju, membersihkan wajah dan tubuhnya, dan baru bisa terlelap setelah pukul satu. Dan rutinitas ini -kurang tidur- sudah dia jalani selama beberapa minggu. Mungkin tubuhnya mulai memberontak, meminta hak untuk beristirahat. Tidak lama kemudian, dia mendengar ketukan di pintu dan suara pelayan memanggil namanya. Sarah menggeram. Dia ingat meminta salah satu pelayan untuk membangunkannya jika dia belum keluar kamar pukul setengah enam. "Iya, aku sudah bangun!!" teriaknya dengan kencang. Sarah pun bangkit menuju kamar mandi, membersihkan diri dan memakai baju olah raga. Baiklah, dia tidak boleh bermalas-malasan. Setelah hampir enam puluh menit berkutat di ruang fitnes, Sarah keluar dengan keringat di sekujur tubuhnya. Sarah melihat mommy-nya berkutat di dapur, membuat sarapan untuk semua orang. Diapun mendekatinya. "Hai, Mom," sapa Sarah. "Halo, anak mommy." Sandra memberikan pipinya untuk dikecup Sarah. Istri Ghani itu tengah mengaduk sup yang hampir matang. Tanpa aba-aba, Sarah mengambil sendok dan mencicipi sup buatan Sandra yang tidak pernah gagal. "Mmm, lezat seperti biasa." "Kebiasaan kamu itu!" Sandra menggeleng. "Habisnya mommy kalau masak selalu enak. Lihat! Aku harus olah raga setiap hari karena mommy." Sandra tertawa lepas mendengar celetuk putrinya. "Sudah, sana mandi lalu sarapan!" "Oke!" Sarah kembali menyendok kuah sup lalu berlari kencang ke kamar sambil tertawa sebelum mommy-nya memukulnya dengan sendok karena geram. Sarah masih saja tertawa saat dia menutup pintu kamarnya. Mengambil handuk kecil di lemari, Sarah menyeka keringatnya sebelum mandi. Kakinya melangkah menuju sofa, duduk, lalu meluruskannya di sepanjang sofa. Dia perlu mengeringkan keringat sambil melemaskan otot-ototnya. Setelah yakin kering keringatnya, diapun mandi. Dering ponsel membuat Sarah mengurungkan niatnya untuk ke kamar mandi. Keningnya berkerut, mencoba menebak siapa yang menghubunginya sepagi ini? Apa ada hal penting yang terjadi? Apakah mungkin pabrik tepung yang baru dia miliki bermasalah? Tapi, bukankah Arya mengatakan semuanya berada di bawah kendali? Ataukah pabrik yang di Pati mengalami kebakaran seperti waktu dulu? Berbagai pikiran buruk menerjang. Lalu, semuanya sirna saat dia melihat nama di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama, Sarah menggeser tombol hijau. "Halo, An. Ada apa?" "Sarah, ke mana saja? Tidak ada pesan, ajakan ketemu, atau apapun. Lalu sekarang? Lama sekali aku menunggumu mengangkat telepon." Ana terdengar kesal. Itu wajar. Biasanya, mereka bertemu setidaknya seminggu sekali dan berkirim pesan setiap hari. Namun, semenjak Sarah memantapkan diri untuk merelakan Alex dengan sungguh-sungguh, secara tidak langsung, Sarah juga menjauhi Ana. "Iya, maaf. Akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan mendadak dan butuh banyak perhatian. Jangan marah begitu! Aku akan mentraktirmu besok. Bagaimana? Kamu masih ingin mencoba restoran baru di mall itu, 'kan?" Sarah mendengar decakan disertai gumaman di seberang sana, pertanda Ana tertarik dengan iming-imingnya. "Jangan terlalu banyak berpikir kalau kamu tertarik. Jawab saja iya!" Sarah tergelak. "Jangan besok! Bagaimana kalau nanti malam saja? Kamu menginap sekalian ya. Mama dan papa pergi ke Kalimantan. Alex dan Sera ke New York. Aku sendirian di rumah." Sarah tercenung untuk sesaat. Alex dan Sera pergi ke New York? Sarah tersenyum tipis. Hubungan dua orang yang saling mencintai itu semakin serius saja. Meski sudah tidak ada lagi air mata yang mengalir di pipinya, meski hatinya sudah mulai ikhlas, namun tetap saja Sarah merasakan perih. Walau begitu, dia harus menyembunyikannya rapat-rapat. "Aku bisa menemanimu makan malam, tapi tidak bisa menginap, maaf. Pekerjaanku sedang menumpuk sekarang ini." Terdengar helaan nafas di bibir Ana. Mau bagaimana lagi? Hati Sarah belum sembuh benar. Dia tidak ingin berada di dalam rumah yang mengingatkannya pada dia -kamu tahu siapa-. Lebih baik Sarah menyembuhkan hatinya terlebih dulu. Apalagi, Alex dan Sera dipastikan akan segera menikah dalam waktu dekat. Jangan sampai Sarah belum move on saat pria itu berdiri di pelaminan. Tidak! Sarah tidak ingin itu terjadi. "Jadi gimana? Jangan berpikir terlalu lama! Seperti perawan mau dilamar saja." Sarah menutup kalimatnya dengan tawa yang keras. Cukup keras untuk menutupi suasana hatinya. "Iya ya sudah. Kita makan malam saja. Tapi, kamu yang traktir ya. Aku tidak mau tahu. Aku 'kan tinggal seorang diri di rumah. Jadi, harus berhemat." Sarah memutar matanya malas. Dia jadi ingin tahu bagaimana Ana, putri konglomerat, itu berhemat sementara isi rekeningnya bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil sport. "Iya, tenang saja. Aku traktir semua makananmu," sahut Sarah. Ana sontak tertawa ringan. "Oke deh! Sampai nanti malam." Sarah terkekeh seraya menekan tombol merah. Lalu, sedetik kemudian, tawa itu berhenti, digantikan dengan wajah datar dan seringai tipis, mencemooh hatinya yang masih setengah ikhlas. Sarah mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Sudah saatnya untuk benar-benar melepas dia." Sarah membuka galeri ponselnya, mencari folder tersembunyi, dan membukanya. Seketika itu, ribuan foto Alex terpampang. Itu adalah koleksi hasil jepretannya diam-diam sejak sekolah. Setelah beberapa kali mengambil nafas dan menguatkan hati, Sarah mulai meng-klik gambar-gambar itu dan menghapusnya. Semoga setelah ini, dia bisa tersenyum dengan tulus untuk Alex dan Sera. Ya, semoga saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN