Edwin dan Elena menyambut baik kedatangan Alex. Setuju tiga bulan lagi menikah. Pergi ke central park. Banyak salju. Sera merasa lemas. Pulang. Di kamar, setelah mengoles salep, tidur.
Sera merasa dia baru saja memejamkan matanya saat merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Gadis itu sontak mengangkat selimut untuk menutupi wajahnya. Rasa kantuk masih menguasainya. Dia ingin tidur sebentar lagi, namun ketukan di pintu memaksanya bangun.
Siapa?
Sera tidak pernah memiliki teman selama tinggal di apartemen. Saat dia menyibak selimut, saat itu pula dia menyadari jika saat ini, dia tidak berada di Jakarta, melainkan di rumah orang tuanya.
"Mi hija?"
Itu suara papinya! Siapa lagi yang memanggilnya dengan bahasa spanyol jika bukan dia?
Senyum otomatis terbit di wajahnya. Dia bergegas turun dari kasur untuk membuka pintu. Saat tangannya berada di pegangan pintu, gerakannya berhenti. Melihat ruam di tangannya, Sera langsung meraih jubah tidur yang menggantung di dekatnya. Dia tidak ingin orang tuanya khawatir tentang keadaannya. Setelah yakin semua tertutup, Sera membuka pintu dan memeluk papinya dengan erat.
"Papi!!" serunya sambil membuka pintu.
Sera menubruk Edwin tanpa kata, memeluknya, menenggelamkan dirinya pada kasih sayang sang ayah.
Edwin terkekeh melihat tingkah putrinya. Dia membalas pelukan itu dengan erat sebelum menjauhkan wajahnya.
"Biarkan papi melihat putri papi yang cantik." Edwin mengamati Sera dari atas sampai bawah, memastikan putrinya masih utuh tanpa cacat.
"Papi, aku sudah dewasa. Aku sudah lulus kuliah, bahkan sudah menerima lamaran seseorang." Sera memamerkan berlian putih yang bertengger cantik di jari manisnya. Gadis itu tampak bahagia sekaligus bangga karena dilamar bukan pria biasa.
Dia sudah lama mengenal Alex. Papinya adalah mantan asisten Darren -papa Alex- sebelum mewarisi perusahaan kakeknya. Hubungan keluarga mereka juga sangat erat. Sesekali, Sera dan keluarganya berkunjung ke Jakarta atau Alex dan seluruh keluarganya pergi ke New York untuk berlibur.
Jika semua mengatakan bahwa Alex adalah sosok pemuda yang dingin, angkuh, dan acuh, maka Sera tidak akan mempercayainya. Sejak dulu, Alex tidak pernah menunjukkan wajah dingin padanya. Meskipun Alex bukan termasuk pria hangat dan ramah, Alex sering memberikan perhatian kecil padanya, seperti membelikan makan siang, mengantar les, atau mengajarinya mata pelajaran yang sulit baginya.
Edwin tertawa melihat tingkah putrinya. "Iya, iya. Putri papi sudah besar. Sudah punya calon suami dan sebentar lagi akan menikah," ucapnya sambil mengelus rambut Sera.
"Ayo turun! Mamimu sudah menunggu di bawah. Tapi, lebih baik kamu mandi dulu." Edwin menutup hidungnya seolah mencium bau tidak sedap dari tubuh putrinya.
"Papi!!" Sera melotot.
Edwin tertawa, mengacak rambut Sera, lalu berbalik untuk turun.
Dua puluh menit kemudian, Sera sudah wangi dan segar. Rambutnya dibiarkan setengah kering dan digerai hingga punggung. Sebuah sweater panjang berwarna biru menutup tubuhnya, menghalau udara dingin di bulan Januari.
Setelah yakin penampilannya rapi, ruamnya terobati dan tertutup sempurna, Sera keluar dari kamar dengan wajah bahagia. Tujuan langkahnya jelas ke lantai satu.
Di meja makan, semua orang sudah berkumpul. Edwin sudah duduk di kursinya. Papi Sera itu tampak gagah. Rambutnya yang sudah berwarna abu-abu, tersisir dengan rapi. Kehangatan bisa terlihat di matanya. Senyumnya cerah dan tulus membuat siapapun merasa nyaman di dekatnya.
Di sampingnya, Elena tidak berhenti tersenyum sambil menatap suami dan Alex di depannya. Wanita paruh baya itu masih tampak cantik meski beberapa keriput terlihat di wajahnya.
Dan yang paling membuat Sera bahagia adalah pria tampan dengan mata kuning keemasan yang mampu memberikan rasa hangat namun memiliki tatapan yang dingin dan setajam elang. Alex duduk dengan tenang di depan elena. Tidak ada banyak ekspresi di wajahnya. Sesekali, kedua sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. Namun, hanya sebatas itu. Alisnya yang meruncing di ujung membuat fitur wajahnya semakin jauh untuk dijangkau. Sera merasa beruntung karena Alex telah memilihnya.
"Selamat pagi!" Suara Sera membuat percakapan ketiga orang itu terhenti.
Elena langsung bangkit dan mendekati putrinya, memeluknya dengan erat. Rasa rindu menguasai hatinya, membuat satu air mata lolos membasahi pipinya. "Putriku!"
"Mami, kenapa sikap mami seolah kita tidak bertemu untuk waktu yang lama? Bukankah bulan kemarin kita baru saja bertemu saat aku wisuda?" Sera terkekeh.
"Ish, kamu ini!" Elena melepaskan pelukannya. "Mana ada orang tua yang tidak rindu pada anaknya meski baru beberapa hari tidak bertemu?"
"Mi amor, biakan dia duduk dan kita sarapan dulu. Dia mungkin sudah lapar dan masih jet lag karena baru mendarat beberapa jam yang lalu," sahut Edwin.
Elena sebenarnya masih ingin berbincang dengan Sera sambil memeluknya, tapi apa yang dikatakan suaminya memang benar. "Ayo, duduk! Mami sudah memasak enak untukmu."
Elena menggandeng Sera dan mengajaknya duduk bersama.
Sera memilih duduk di samping Alex. "Oh iya? Apa itu?"
"Ada roti isi juga empanada. Ayo makan!"
Edwin memimpin doa makan sebelum memulai sarapan. Selesai sarapan, Alex diajak duduk di ruang keluarga. Putra Darren itu duduk di sofa tunggal dan Sera di sebelahnya. Di depan mereka, Edwin dan Elena duduk berdampingan di sofa panjang. Teh hangat dan beberapa makanan ringan menemani bincang mereka.
"Jadi, kedatangan saya kemari untuk meminta ijin Om dan Tante untuk menikahi Sera. Sebenarnya, sudah lama saya memperhatikan dia. Selama ini, saya sengaja bersabar dan menunggu Sera dewasa. Setidaknya sampai kuliahnya selesai. Saya, secara pribadi, sudah meminta putri anda untuk menjadi istri saya. Jadi, saya harap Om dan Tante bisa memberi kami ijin."
Perkataan Alex begitu tenang dan teratur seolah dia sudah melatihnya sejak lama. Tatapannya tegas dan penuh percaya diri. Wajahnya menunjukkan tekad yang tidak tergoyahkan. Dalam hati, Edwin memuji kemiripan Alex dengan papanya dalam hal mendominasi dan intimidasi.
"Jadi, kamu sudah menyukai Sera sejak lama?" Edwin tidak ingin kalah dengan pemuda kemarin sore. Meski Alex adalah putra mantan bosnya dan memiliki kelakuan baik dan tidak memiliki skandal, tapi yang mereka bahas adalah Seraphina, putri semata wayangnya. Edwin ingin tahu sampai sejauh mana keinginan Alex mempersunting Sera.
Alex mengangguk mantap. "Sudah sejak lama," jawabnya sambil melirik gadis di sebelahnya.
Alex adalah pria serius, sama seperti papanya. Hatinya tulus untuk Sera. Irisnya yang kuning keemasan seperti madu, menatap Sera tanpa kedip seolah Alex ingin membawanya masuk ke dalam jiwanya dan melihatnya sendiri betapa dalam perasaan Alex untuknya.
Mendapat tatapan sedalam itu, Sera menjadi gugup. Jantungnya berdetak semakin kencang. Dia merasakan pipinya menghangat. Digigitnya bibir yang bawah, lalu menundukkan kepalanya. Sera menjadi salah tingkah. Di tidak sanggup menerima pesona Alex yang begitu kuat.
Melihat Sera yang bertingkah malu, Alex menjadi gemas sendiri. Rasanya, dia ingin menggigit pipi Sera yang bersemu merah.
"Ehm!" Edwin sengaja berdehem untuk menarik perhatian dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
Alex dan Sera tersentak. Alex menoleh ke arah calon mertuanya dan Sera semakin menundukkan kepalanya. Rasanya dia ingin menenggelamkan dirinya ke dasar bumi.
"Apakah kamu sungguh-sungguh bisa membahagiakan putriku?" Tatapan Edwin berubah serius. Dia tidak akan melepas Sera kecuali pria yang melamarnya tidak akan menyia-nyiakannya.
"Saya berjanji, Om. Saya akan selalu berusaha membahagiakan Sera dan menomorsatukan dirinya. Satu-satunya alasan saya tidak pernah dekat dengan wanita manapun adalah karena putri anda. Saya ingin menjadikan Sera sebagai ratu di hatiku."
"Pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan, tapi juga rasa sakit dan kesedihan. Apa kamu yakin bisa....."
"Saya yakin. Sera akan selalu menjadi nomor satu, dalam suka dan duka. Saya yakin dengan perasaan saya." Alex mulai tampak tegang. Dia merasa Edwin sengaja memberikan pertanyaan yang berbelit-belit untuknya. Apakah papi Sera ini tidak percaya padanya?
"Hmm." Edwin menganggukkan kepalanya. Papi Sera itu tampak puas dengan jawaban yang diberikan Alex. Tatapannya kemudian beralih pada Sera.
"Sera, mi hija, apakah kamu sungguh menerima Alex tanpa ada paksaan?"
Sera mendongak, lalu mengangguk. "Si, Papi. Aku ingin melewati hidup bersama Kak Alex."
Edwin mengambil nafas dalam-dalam, menoleh kepada istrinya. Dilihatnya wajah Elena sudah memerah karena haru. Istrinya itu pasti tidak menyangka jika Sera akan dilamar di saat baru saja lulus kuliah. Gadis mereka itu bahkan belum mengecap kehidupan. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Kedua sejoli ini sudah saling menyukai. Rasanya tidak adil jika Edwin mengulur-ulur waktu dan mencegah mereka bersama.
"Baiklah, jika itu mau kalian. Papi setuju."
Wajah tegang Alex sontak kembali rileks. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna, membentuk senyuman hingga matanya. Pun dengan Sera. Gadis itu tampak bahagia dengan kalimat papinya. Sudut matanya mulai basah karena air mata. Hati keduanya kini dibanjiri dengan bunga.
--
"Kamu sudah siap?" tanya Alex begitu Sera keluar dari kamarnya. Pria itu sudah memakai jaket tebal, sepatu boots, dan topi rajut. Tidak lupa, sepasang sarung tangan terselip di saku jaketnya.
Setelah melewati ketegangan tadi pagi, Alex mengajak Sera berjalan-jalan. Edwin dan Elena tentu saja tidak keberatan. Tidak ada hujan salju selama beberapa hari. Cuaca tidak terlalu dingin dan tujuan mereka adalah Central park.
Sera mengangguk antusias. "Ayo!"
Alex sengaja menolak sopir saat Edwin menawarkannya. Putra Darren sekaligus saudara kembar Ana itu ingin merasakan pergi berdua saja dengan Sera.
Begitu masuk ke dalam mobil, Alex segera mengaktifkan pemanas. Sera tampak lega dan lebih nyaman. Setelah Sera memasang sabuk pengaman, Alex pun menjalankan mobilnya. Tidak perlu terlalu cepat karena Alex sendiri ingin menikmati waktu berdua bersama Sera.
Karena tidak ada hujan salju selama beberapa hari, salju di jalanan juga tidak terlalu tebal. Sera bisa melihat orang-orang berjalan bergandengan bersama pasangan atau teman-temannya. Ada juga beberapa orang yang tengah sibuk membersihkan jalanan rumahnya dari salju.
Daun-daun dan ranting-ranting ditutupi oleh salju, begitu pula dengan sisi-sisi jalan. Sepanjang jalan, Sera mengagumi keindahan yang ada. Perpaduan antara jalanan aspal, putihnya salju, dan birunya langit mampu memanjakan mata siapa saja yang memandangnya.
Tidak terasa, hampir enam puluh menit mereka berkendara. Alex sudah memarkirkan mobilnya di area taman. Saking bersemangatnya, Sera turun tanpa memedulikan Alex. Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna, membentuk senyum manis yang mampu melelehkan hati siapa saja, terutama Alex.
Matanya menatap kagum suasana taman. Ada banyak pasangan maupun keluarga yang juga ingin menikmati central park yang bersalju. Beberapa dari mereka bermain salju. Ada juga yang membuat manusia salju. Namun, tidak jarang juga yang hanya ingin menikmati pemandangan.
"Sudah berapa lama tidak pulang? Sepertinya, kamu sangat terpesona." Alex tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya.
Suara bas yang rendah itu mengejutkan Sera. Gadis itu menoleh dengan cepat. Di sebelahnya, Alex menatapnya dalam-dalam. Sera bisa melihat dengan jelas hidungnya yang memerah karena hawa dingin membuat wajahnya yang tampan dan acuh tampak menggemaskan.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Kening Alex berkerut.
Senyum Sera semakin merekah. "Wajahmu tampak imut," ucapnya tanpa dosa.
Mata Alex sontak melebar mendengarnya. Tampak imut? Memangnya dia anak kecil? Apakah Sera lupa jika umurnya sudah tiga puluh tahun?
Sera mengerti apa yang ada di pikiran Alex. Tawanya meledak, lalu mulai berlari untuk menghindari amukan Alex.
Melihat Sera yang berlari sambil menjauh darinya, bibir Alex berkedut menahan senyum. Gadisnya itu sungguh luar biasa.
Alex menggelengkan kepalanya, lalu mulai berlari mengejar calon istrinya.
Tawa Sera semakin keras saat Alex berhasil meraihnya dan memasukkannya ke dalam pelukannya. Berat badan Sera seolah seringan bola karena Alex bisa mudah mengangkatnya. Tubuhnya yang lebih kecil tertutup sempurna oleh d**a Alex yang lebar.
"Hahahaha! Kak, turunkan aku!" serunya di sela-sela tawanya.
"Tidak!" Alex tentu saja keberatan. Siapa yang mau melewatkan momen manis seperti ini? Meskipun senyumnya tidak selebar Sera, tapi hatinya meledak karena kegirangan. Bertahun-tahun, dia menahan diri untuk menyentuh Sera. Kini, Alex tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk menyentuh dan memeluknya.
"Sudah, aku menyerah!"
Mendengar kata-kata itu, barulah Alex menurunkan Sera tanpa membuatnya menjauh.
Nafas keduanya naik turun dengan senyum di wajah. Kepulan asap putih keluar dari mulut mereka saat bernafas. Keringat muncul di kening Sera. Refleks, Alex menyekanya.
Sera mendongak, terkejut dengan tindakan alex. Matanya yang bulat dan polos, berkedip.
Alex menggeram.
Seorang gadis muda, cantik, dengan mata polos menatapnya. Sesuatu dalam dirinya memberontak. Posisi mereka yang berdekatan, memudahkan Alex melahap kecantikan murni di depannya.
Alex meneguk ludahnya. Tatapannya beralih ke bawah. Bibir itu tampak merah dan semakin merah karena hawa dingin. Wajah Alex semakin mendekat tanpa dikomando, lalu ciuman itu terjadi begitu saja.
Mata Sera membelalak, tapi sedetik kemudian, dia membiarkan Alex melakukan apa yang dia mau.
Alex menciumnya dengan lembut dan penuh kehati-hatian. Saat dirasa tubuhnya akan meledak, Alex menghentikan ciumannya. Matanya terpejam. Tangannya meremas pinggul Sera sambil menahan dirinya agar tidak lepas kendali. Sayangnya, tindakan alex justru membuat Sera memekik pelan.
Nafas Alex tercekat. Fantasinya berkelana., tapi dia harus menghentikan gejolak dirinya. Dengan berat hati, Alex menjauhkan dirinya.
"Ayo!" Alex menggandeng Sera dan mengajaknya berkeliling. Dia harus bersabar sedikit lagi.