8. Melepas

1592 Kata
Sera tidak berniat menyembunyikan kebahagiaannya. Matanya yang polos bersinar terang sementara tangannya yang mungil berada dalam genggaman hangat tangan Alex. Sepanjang jalan setapak di central park, bibir Sera tidak pegal untuk terus menampilkan senyuman. Otaknya terus bekerja menyimpan memori bahagia ini. "Ayo bermain ice skating!" seru Sera saat melihat beberapa pengunjung bermain olahraga tersebut di atas danau beku tidak jauh darinya. Matanya yang bulat menatap Alex, berkedip dan penuh harap. Alex sebenarnya keberatan dengan usul itu, namun melihat mata bulat yang menggemaskan itu, dia tidak bisa menolak. "Hmm." Alex mengangguk. Tanpa menunggu, Sera menyeret Alex ke arah danau, melepas sepatunya dan menggantinya dengan sepatu khusus yang dia bawa dari rumah. Alex mengernyit melihatnya. Dia tidak menyangka tas yang dibawa Sera ternyata berisi sepatu seluncur es. "Kamu sengaja membawa sepatu itu?" Kedua sudut bibir Sera terangkat sempurna hingga menampilkan giginya yang putih. "Iya! Sudah lama aku tidak bermain seluncur di sini. Ayo ganti sepatumu, Kak! Apa kakak tidak ingin bermain juga? Lihatlah wajah bahagia mereka! Aku juga ingin seperti mereka." Sera bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. Dia ingin memanfaatkan setiap waktu bersama Alex, pria yang dia cintai. Itu sebabnya dia rela membawa sebuah tas besar berisi dua pasang sepatu seluncur es. Sera ingin memorinya merekam setiap momen yang ada. Alex tidak bisa menolak. Diapun mengganti sepatunya, menggandeng tangan Sera, dan bergabung dengan pengunjung lain di atas danau. "Apa kamu yakin danau ini aman? Ada begitu banyak pengunjung. Bagaimana kalau lapisan esnya pecah? Kita bisa tercebur. Lagi pula, tidak ada petugas keamanan atau medis di sekitar sini. Seharusnya pemerintah memperhatikan kebutuhan seperti ini." Alex terus saja menggerutu. Wajahnya bersungut. Tangannya tidak pernah melepaskan tangan Sera sedikitpun. Setiap kali berpapasan dengan orang lain, Alex akan menarik Sera mendekat, melindunginya agar tidak sampai menyenggol yang lain. Di sisi lain, Sera seakan ingin menggoda Alex. Dia sengaja membuat gerakan tiba-tiba agar pegangan mereka terlepas. Setelah itu, dia akan melajukan kakinya, menjauh dari Alex secepat mungkin seraya terkekeh. Alex menggeram melihat Sera yang menjauh. Diapun melajukan kakinya, meluncur di atas es dengan cepat, meliuk dengan lincah. Tatapannya tertuju pada sosok gadis cantik dan mungil itu. Saat berhasil meraihnya, Alex menariknya, menjatuhkannya ke dalam pelukan. Tubuh mereka berputar di atas es. Angin menyapa tubuh mereka. Mata Sera tertutup seiring dengan putaran mereka yang semakin kencang. Tawa Sera terdengar semakin keras. Bibir Alex berkedut menahan senyum. Atmosfer bahagia terasa kuat di sekeliling mereka. Sera tertawa bahagia, berada dalam dekapan hangat pria yang dia cintai, berputar di atas danau yang membeku dengan latar putihnya salju. Impiannya terwujud! Tiba-tiba, dia merasakan pusing. "Sudah, aku pusing karena terus berputar." Pegangan Sera mengerat karena takut terjatuh. Alex mendengarnya. Diapun mengurangi kecepatan dan akhirnya berhenti. "Apa kamu tidak apa-apa?" "Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing," jawab Sera sera di antara sisa-sisa tawanya. Alex mengedarkan pandangannya, mencari bangku untuk calon istrinya. "Tidak ada kursi," keluhnya. "Tidak apa-apa. Hanya pusing biasa. Ayo berseluncur lagi! Tapi, jangan mengajakku berputar cepat." "Hmm." Alex dan Sera melanjutkan bermain seluncur untuk beberapa saat sebelum Sera merasa kepalanya semakin pusing. "Kita pulang sekarang!" Suara Alex begitu tegas. Tatapannya mendominasi dan tidak bisa dibantah. Sera menghela nafas, lalu mengangguk. "Maaf, aku membuat acara kita berantakan." "Tidak perlu meminta maaf. Kamu sudah terbiasa dengan cuaca Jakarta yang panas. Jadi, mungkin sedikit terkejut dengan hawa dingin New York." Alex membantu Sera melepas sepatu seluncur dan menggantinya dengan sepatu boots-nya. Setelah itu, dia juga cepat-cepat mengganti sepatunya dan memapah Sera menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Sera lebih banyak merenung. Melihat jam di dashboard, dia menyadari jika mereka baru satu jam berada di central park. Kenapa tubuhnya semakin lemah? -- Sarah melihat pantulan dirinya sekali lagi di cermin. Setelah yakin penampilannya rapi, diapun meraih tasnya dan keluar dari kamar. Putri Ghani dan Sandra itu menuruni tangga dengan cepat. Langkahnya ringan, namun pasti. Tujuannya jelas. Dia akan pergi ke rumah Ana. Di dalam tasnya terdapat sebuah surat untuk Alex; surat yang telah dia buat dengan sungguh-sungguh, surat yang menyatakan bahwa Sarah telah melepas semua perasaannya untuk Alex dan mendoakan kebahagiaan Alex. Sarah sudah bulat dengan keputusannya. Meskipun hatinya belum sembuh seratus persen, dia harus mulai melepas Alex dengan sungguh-sungguh. Akan sangat berdosa bagi Sarah jika dia masih mengharapkan Alex saat pria itu berencana menikah dengan gadis lain. Kening Sarah berkerut saat dia melihat seorang wanita cantik duduk bersama mommy dan Sean di ruang tamu. Siapa dia? "Hai, Mom!" Sarah mendekat, lalu memberikan kecupan singkat di pipi mommy-nya. "Hmm, putri mommy mau ke mana? Sudah cantik begini." "Aku hendak ke rumah Ana. Ada yang harus aku lakukan." Sean, saudara kembar Sarah, menoleh dengan cepat. Ada tatapan tidak ikhlas di matanya. "Sarah, untuk apa pergi ke sana? Apa kamu ingin bertemu dengan Alex? kenapa kamu tidak juga melepasnya?" Sarah adalah wanita tinggi dan cantik. Selain itu, dia juga memiliki karir yang bagus, cerdas, dan penuh percaya diri. Saudara mana yang rela jika hati Sarah terus terjebak pada cinta monyetnya? Sandra meraih tangan Sarah dan menggenggamnya erat. Matanya menatap Sarah dalam dan penuh harap. "Mommy dengar Alex akan menikah dengan Sera dalam waktu dekat. Mommy harap kamu sudah bisa tersenyum lebar sebelum saat itu tiba." Senyuman tulus tercipta di bibir Sarah. "Mommy tidak perlu khawatir. Tujuanku ke sana bukan untuk menemui Alex. Aku memang ada perlu dengan Ana." Hati Sarah tercubit. Dia tidak menyangka jika perasaannya untuk Alex juga menyakiti keluarganya. Ini membuat Sarah semakin yakin untuk melepas perasaannya. Mungkin dia harus mulai memikirkan kencan atau aplikasi jodoh. Siapa tahu dia menemukan pria yang cocok. "Siapa ini? Kenapa mommy tidak memperkenalkan kami?" Sarah berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia menatap wanita cantik di samping mommy-nya. "Oh, ini Amelia. Dia salah satu karyawan Sean. Kamu masih ingat dengannya? Mommy sengaja mengundangnya untuk memasak kue bersama." "Wah, ini ternyata kamu!" Sarah mengulurkan tangan untuk menyalami Amelia. "Mommy sudah sering bercerita tentang kamu dan kue buatanmu." "Tinggallah lebih dulu! Sebentar lagi kuenya matang." "Lebih baik aku berangkat sekarang saja, Mom, agar urusanku cepat selesai." Tanpa menunggu respon mommy dan saudaranya, Sarah berdiri dan berpamitan, lalu berjalan keluar tanpa menoleh. Perjalanan menuju mansion keluarga Darren memakan waktu setidaknya empat puluh menit. Setibanya di sana, pelayan segera membuka pintu dan mempersilakannya masuk. Suara langkah Sarah terdengar, menggema di seluruh ruangan. Anehnya, Sarah tidak mendengar suara yang lain. "Sarah, kamu sudah datang?" Ana berteriak dari lantai dua lalu bergegas menuju lift saat melihat temannya berdiri di tengah lantai satu. Sarah mengurungkan niatnya untuk pergi ke kamar Ana dan memilih duduk menunggu temannya itu di salah satu sofa. "Sarah, kamu harus membantuku!!" Ana menubruknya dengan keras, membuatnya mengaduh. "Kamu kenapa?? Pesanmu kemarin mencurigakan. Apa kamu baru saja melakukan kejahatan?" Sarah keheranan melihat tingkah Ana yang tidak biasa. Semalam, Ana mengirim pesan berisi emoji menangis dan meminta tolong. Saat Sarah bertanya kenapa, Ana tidak menjawabnya. "Kamu benar-benar harus menolongku!" Ana melepas pelukannya lalu duduk menghadap Sarah. "Aku mendapat undangan kencan buta. Aku tidak tahu dia siapa atau siapa nama aslinya. Kamu harus menolongku!" "Lalu, bagaimana kamu bisa mengenalnya? Apa kamu gila??" "Ya, aku mungkin memang sudah gila. Awalnya, aku hanya iseng bermain aplikasi mencari jodoh. Lalu, aku bertemu dengan pria ini. Dia sangat tampan. Kami berkirim pesan beberapa kali dan akhirnya dia mengajakku bertemu. Aku harus bagaimana?" "Kapan?" "Sudah beberapa Minggu yang lalu." "Bukan itu! Kapan kalian akan bertemu??" "Oh, nanti sore." Wajah Ana memerah mengingat betapa mempesonanya pria asing itu sebelum rasa cemas kembali menghantuinya. "Aku harus bagaimana??? Aku belum pernah berkencan sebelumnya." "Ehm!!" Sarah sontak berdehem, memutar bola matanya, lalu menggodanya. "Aku ingat ada seorang gadis cantik menikmati makan malam dengan pria incarannya di restoran Perancis saat kuliah dulu. Pernah juga aku mendengar kabar sepasang kekasih yang pergi ke Bogor untuk menikmati akhir pekan." Ana mencebik. "Itu sudah lama, dan itu hanya cinta monyet. Aku sekarang sudah menjadi seorang wanita. Aku tidak tahu harus melakukan apa saat berkencan cara dewasa." "Kenapa bingung? Bersikaplah normal dan biarkan semuanya mengalir. Jika dia jodohmu, dia akan kembali menghubungimu. Jika tidak, ya,,, paling-paling kamu akan patah hati untuk sementara waktu." "Berarti kamu harus mendoakan aku agar kami berjodoh." Ucapan Ana tegas dan lugas. Matanya yang gelap menatap Sarah penuh harap, membuatnya jadi salah tingkah sendiri. "Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kamu cantik, pintar, dan ramah. Jika dia tidak tertarik padamu, kamu harus merekomendasikan dokter mata terbaik." Ana sontak tertawa mendengarnya. Rasa cemasnya sudah jauh berkurang. "Omong-omong, di mana mama dan papamu? Sepi sekali." "Mereka sedang di Jogja lalu langsung ke Kalimantan. Minggu depan baru pulang." "Tumben. Bukankah biasanya kamu ikut jika Tante Amber ke Kalimantan?" Ana mengangkat bahunya acuh. "Mungkin ingin berpamitan kepada para sesepuh di sana untuk menikahkan Alex. Eh, kamu tahu 'kan, kalau Alex dan Sera sudah beberapa hari ini berada di New York? Sepertinya mereka bersenang-senang. Sera mengirim beberapa foto mereka saat berseluncur. Lihatlah!" Ana mengeluarkan ponsel dari sakunya, mencari ikon galeri dan memperlihatkan foto-foto Alex dan Sera dalam berbagai pose dan sudut. Sarah awalnya enggan melihat foto-foto tersebut. Namun, saat dia menyadari jika dia hanya merasakan sedikit rasa sakit, Sarah tersenyum lebar. "Lihat bagaimana Alex tersenyum lebar! Aku baru pertama kali melihat senyum Alex selebar itu. Sepertinya, saudara kembarku itu sungguh menyukai Sera," sambung Ana. Sarah mengangguk setuju. Setelah sekian lama, akhirnya Sarah bisa melihat Alex tersenyum lebar dan lepas. Dan alasan di balik senyum itu bukanlah dirinya. Hatinya sedikit tercubit, tapi dia juga merasa hatinya menjadi sedikit lebih tenang. Keputusannya untuk mengikhlaskan Alex adalah keputusan yang sangat tepat. Sarah teringat sepucuk surat yang berada di dalam tasnya. Mengirim surat ini adalah salah satu cara baginya untuk mengobati hati dan melepas perasaannya yang sepihak. Setelah surat ini terkirim, Sarah yakin hatinya akan menjadi semakin ringan. Kebahagiaan akan menghampirinya tidak lama lagi. Sarah yakin itu!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN