Bab 3. Pulang

1191 Kata
Hari Sabtu waktu subuh, Ummi Nur masuk ke sebuah kamar yang sudah lama tak berpenghuni. Wajah keriputnya tampak cerah dan sumringah. Langkahnya cepat dan ringan. “Nduk ayu, bangun, yuk?” Suaranya terdengar lembut, membelai pendengaran gadis yang sedang meringkuk di atas tempat tidur. “Hm…” Luna menggeliat, belum ingin membuka matanya. “Sebentar lagi Abi keluar dari kamar, kalau kamu belum bangun nanti kena marah, loh!” Kalimat Ummi Nur sama sekali tak terdengar mengancam. Intonasinya yang lembut membuatnya terdengar seperti rayuan. “Masih ngantuk, Mi.” Akhirnya Luna membuka mata. Lebih tepatnya, mengintip ibunya. “Iya, bangun dulu. Nanti siang tidur lagi.” Luna menurut. Kini, ia membuka matanya lebih lebar. Mengerjap-ngerjapkannya perlahan. Semalam, ia baru tiba di rumah besar itu sekitar pukul 11 malam. Perjalanan enam jam dari bandara benar-benar menguras energinya. Beruntung, Nia dan Ummi Nur sigap membuatkannya minuman hangat dan beberapa kudapan. Kesadaran Luna sudah sepenuhnya kembali ketika terdengar suara pintu kamar sebelah terbuka. Cepat-cepat Luna beranjak, sebelum ayahnya itu masuk ke kamar. “Sudah bangun, Nak?” Suara berat Abi Jamal dan perawakannya yang tinggi besar muncul di ambang pintu. Luna menelan ludah. Untungnya ia sudah berdiri, sekalian pura-pura berjalan ke kamar mandi. “Sudah, Bi. Ini mau ke kamar mandi.” Abi Jamal mengangguk. “Abi tunggu di mushollah,” ucapnya kemudian berlalu. Luna menghela nafas panjang, lega. “Masih takut aja sama Abi?” goda Ummi Nur. “Masihlah, Mi. Makanya Luna males pulang.” Luna mengambil handuk yang tergantung di luar pintu kamar mandi. “Sebenarnya bukan takut yang gimana-gimana, males diomelinnya itu.” Ummi Nur tersenyum. “Abi ‘kan ngomelin kamu karena sayang, Nduk.” “Tetep aja. Emang siapa yang suka diomelin?” tanpa menunggu jawaban ibunya, Luna sudah ngeloyor ke kamar mandi. *** “Mbak Niaaaa, bikin apa?” Luna merangkul pinggang Nia, meletakkan kepalanya di pundak kakak sulungnya. “Cuma ngukus ubi, kemarin ada yang ngasih.” Nia menjawab tanpa menoleh. Tangannya sibuk memindahkan yang sudah matang ke piring saji. “Masih sisa banyak, enaknya dibikin apa ya, Dek?” “Hm… bikin kolak ubi, bola-bola ubi, ubi goreng, donat ubi, apa lagi, ya?” Luna menyentuh dagunya, berpikir. Sementara Nia hanya tersenyum sambil menyusun piring dan gelas di atas nampan. “Dek, minta tolong anterin ke ruang kerja Abi, ya?” “Yah, kenapa Luna, sih?” Luna memanyunkan bibirnya. “Terus Luna mau gantiin Mbak Nia ngulek sambel?” “Eh, nggak, deh. Luna nganter ini aja. Dadah Mbak Nia cantik!” Nia terkekeh. Rasanya rumah ini jadi lebih hidup ketika Luna pulang. Luna berdiri di ambang pintu ruang kerja Abi Jamal, mengintip ke dalam. “Nggak ada orang,” bisiknya pada diri sendiri. “Masuk aja, deh. Taruh di meja.” Luna melangkah masuk sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ruangan 6 x 6 meter itu masih sama seperti dua tahun terakhir. Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak. Belasan tahun lalu, Luna paling betah di ruangan ini. Menemani Abi Jamal bekerja, berceloteh tentang kesehariannya di sekolah, atau iseng ikut memakan cemilan ayahnya. Tapi semuanya berubah ketika Luna beranjak remaja. Ruang kerja Abi Jamal jadi seperti ruang hukuman. Karena di tempat itulah Luna yang suka membantah diomeli, Luna yang enggan diatur-atur itu diceramahi, Luna yang ingin mencoba banyak hal itu dimarahi. Luna menghembuskan nafas pelan. Ia sudah tiba di meja kerja Abi. Meletakkan nampan berisi ubi kukus dan segelas jahe hangat yang masih mengepulkan asap. Bahkan, kudapan dan minuman kesukaan ayahnya masih sama. Tiba-tiba pintu yang menghubungkan ruang kerja Abi Jamal dan kantor kesekretariatan terbuka. Menampilkan sosok laki-laki berkemeja biru tua yang membawa sebuah buku tebal. Luna tercekat di tempatnya berdiri, menatap lurus ke arah laki-laki itu. “Eh? Maaf. Saya kira tadi Abi.” Ahsan juga ikut mematung. Tak kuasa untuk berbalik juga tak berani untuk melangkah maju. “Anu… siapa, ya?” hanya itu kalimat yang terlontar dari bibir Luna. Lidahnya mendadak kelu. “Oh! Saya… Ahsan. Sekretarisnya Abi Jamal.” Daripada bicara berjauhan, akhirnya Ahsan melangkah maju. Lagipula ia juga harus meletakkan kitab tebal itu di meja Abi Jamal. Ia tidak tahu, setiap langkahnya justru membuat Luna menelan ludah karena gugup. “Baru, ya?” Luna menegakkan punggungnya. Entah kenapa jantungnya jadi ikut-ikutan tak karuan. “Enggak. Ini sudah tahun kedua.” Ahsan tersenyum, kemudian meletakkan kitab tebal itu di meja Abi Jamal. Ya, sekarang mereka hanya terpisah jarak kurang lebih 1,5 meter. Luna bisa melihat jelas rahang tegas dan hidung mancung Ahsan. Dan ternyata, ia cukup tinggi. Gadis itu mengulum bibir, mencoba terlihat santai. “Berarti kerjanya di ruang sebelah?” Luna menunjuk ke arah pintu yang terbuka. “Iya. Kadang-kadang juga di sini,” Ahsan masih tersenyum. “Oh ya, makasih sudah bawain cemilannya Abi. Biasanya saya yang ambil ke dapur.” “Sama-sama.” “Ehem!” Abi Jamal masuk ke ruang kerjanya, berdehem keras demi melihat putrinya dan Ahsan sedang mengobrol. “Abi!” Luna memekik ringan. Terkejut sekaligus takut. Entahlah, ia merasa ketahuan melakukan suatu kesalahan. “Ini… Luna bawain cemilannya Abi.” Gadis itu nyengir, memamerkan barisan giginya yang putih. Detik berikutnya, ia gegas meninggalkan ruangan. Kabur. “Tadi ngobrol apa sama Luna?” tanya Abi Jamal ketika sudah duduk di kursinya. “Ning Luna tanya siapa saya. Mungkin kaget karena tiba-tiba saya masuk, Bi.” Abi Jamal mengangguk-angguk. “Lain kali jangan berduaan begitu, ya. Langsung keluar kalau ada putri Abi di sini,” tegasnya. Ahsan mengusap tengkuknya. “Iya, Bi. Maafkan saya.” “Iya.” Abi Jamal memakai kacamata bacanya, lalu membuka kitab yang dibawa Ahsan tadi. “Sudah selesai tugasmu?” “Alhamdulillah sudah, Bi.” *** “Mbak Nia, Mbak Nia, Mbak Niaaaaa…” Luna berlari kecil menghampiri Nia yang sedang menyiapkan sarapan. “Apa, sih, ribut-ribut?” “Mbak Nia kenal sama sekretaris Abi yang baru?” Luna mengerling manja, senyumnya merekah cerah. Nia mengernyit. “Abi nggak punya sekretaris baru, Dek.” “Ada!” “Yang mana?” “Itu yang laki-laki…” “Sekretaris Abi yang laki-laki ada 3. Yang mana?” “Tiga?!” Luna melongo. “Kok banyak banget?” “Yang sekretaris pribadi 1, sekretaris buat ngurus internal pesantren 1, trus satu lagi yang ngurus urusan eksternal pesantren. Ngurus bisnis-bisnisnya Abi gitu, deh. Jadi, yang mana?” Luna mengangguk-angguk. “Wah, Abi udah kayak CEO perusahaan, ya?” Nia menoleh, menatap adik bungsunya gemas. “Abi ‘kan nggak cuma mimpin pesantren, Dek. Abi juga berbisnis, untuk menghidupi keluarga dan menghidupi para santri.” Luna terdiam sejenak. Sepertinya dua puluh lima tahun hidupnya, ia sering melupakan bahwa ayahnya itu juga seorang pebisnis. “Jadi yang mana?” tanya Nia lagi. “Yang namanya Ahsan,” jawab Luna malu-malu. Nia menatap adiknya penuh selidik. “Emangnya Haris kurang ganteng buat kamu?” “Kenapa jadi Haris?” “Kok tiba-tiba kepincut sama santri sini?” “Santri?! Si Ahsan itu masih santri?!” seru Luna panik. “Tapi nggak kelihatan kayak santri. Kayak seumuran sama Luna.” “Ya… dulunya ‘kan santri,” jawab Nia santai. “Mbak Nia!” Nia hanya terkekeh melihat adiknya yang manyun. “Sarapan yuk! Panggilin Ummi sana.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN