Konsep jatuh cinta pada pandangan pertama itu memang sedikit membingungkan. Jika seseorang bisa jatuh cinta hanya dalam sekali temu, sekali menatap wajah, sekali mengobrol, agaknya berlebihan sekali. Karena emosi cinta sangatlah kompleks. Tapi, jika merasa tertarik pada seseorang yang baru saja ditemui, itu bisa saja terjadi.
Ada banyak hal yang bisa membuat orang lain tertarik. Wajah yang rupawan, suara yang merdu, sikap yang sopan, obrolan yang nyambung, nasib yang serupa, kesamaan dalam hobi atau selera, dan masih banyak lagi. Pertemuan-pertemuan berikutnya, obrolan-obrolan selanjutnya, kejadian-kejadian yang mengikuti akan menjadi penentu apakah ketertarikan itu akan berubah menjadi rasa cinta. Untuk ini, biarlah semesta yang bekerja.
Dari sekian banyak hal yang bisa memicu ketertarikan, memang ketampanan atau kecantikan adalah yang paling lumrah. Dan sepertinya, begitulah yang terjadi pada Luna.
“Ganteng bangeeeeet!” Gadis berkerudung hijau muda itu memekik tertahan.
“Lo kayak nggak pernah liat cowok ganteng, Lun.” Jihan mencibir di ujung telepon.
“Gini loh, Ji. Gue tuh nggak pernah punya ekspektasi bakal ada cowok ganteng di pesantren Abi. Belasan tahun gue hidup di sini, emang begitu. Nggak ada. Jadi pas gue tahu ada makhluk modelan si Ahsan itu, wah, gila! Ganteng banget!” Luna membulatkan matanya, takjub. Seolah benar-benar ada Ahsan di sana. Padahal, ia sedang duduk-duduk di tepi taman kecil yang menghubungkan antara rumah induk dan kantor administrasi pesantren.
“Seganteng apa, sih?” tanya Jihan penasaran.
“Hm, kayaknya nggak bisa dimiripin sama siapa-siapa, sih.” Luna mengusap dagunya, berpikir. “Tapi yang pasti, gantengnya tuh berwibawa, Ji. Lo tahu ‘kan kehidupan di pesantren tuh menuntut seseorang untuk dewasa sebelum waktunya. Dewasa dalam arti yang positif, ya.”
“He’eh, so?”
“Nah, dia tuh begitu, Ji. Tatapannya tuh, aduh! Teduh tapi tegas gitu loh. Kalau senyum apalagi, ganteng gila!”
“Eh! Lo nih di mana deh, Lun? Teriak-teriak begitu emang nggak ada yang denger? Nggak apa-apa ngomongin cowok begini di depan Abi lo?”
“Hahaha, tenang. Gue udah ngungsi. Jauh dari jangkauan keluarga gue. Mereka lagi nyiapin makan malam. Jam segini juga biasanya udah nggak ada santri yang lewat sini.” Luna celingukan. Benar, di sana sudah sepi.
“Jadi, kesimpulannya lo jatuh cinta sama si Ahsan itu?”
“Heh! Enggak lah! Ya kali jatuh cinta cuma karena ganteng doang.”
“Lah, terus?”
“Hm, apa, ya?” Luna mengulurkan tangannya, meraih kerikil. Mempermainkannya dalam genggaman. “Lebih ke tertarik gitu? Iya, kayaknya gitu.”
“Yakin?” tanya Jihan penuh selidik.
Luna terkekeh pelan. Meski tak dapat melihat wajah sahabatnya, ia yakin gadis itu sekarang sedang memicingkan matanya curiga.
“Iya. Kayak lo sama oppa-oppa lo itu. Sekedar tertarik, nggak sampe jatuh cinta.”
“Hm, iya, sih. Kadang kita tertarik sama seseorang karena wajahnya, karena pinternya, karena pinter main gitar, gitu ‘kan?”
“Yep! You got the point!” Luna mengangguk mantap.
“Oke, deh! Kapan-kapan fotoin si Ahsan itu, ya? Gue penasaran, gimana sih model ganteng yang berwibawa itu?”
“Hahaha, nggak janji deh. Entar gue kena pasal UU ITE lagi.”
“Yeee! ‘Kan nggak gue sebarin ke mana-mana, Lun.”
“Ya siapa tahu entar malah lo yang naksir,” goda Luna.
“Ogah! Kehidupan gue nggak bakal cocok sama anak pesantren.”
Luna terkekeh lagi.
“Eh, Lun…”
“Hm?” Tawa Luna sudah reda.
“Gimana kalau entar lo jadi jatuh cinta beneran sama si Ahsan?” tanya Jihan tiba-tiba.
Luna menelan ludah. “Ya… gue bikin dia jatuh cinta juga dong sama gue,” jawabnya santai.
“Hahaha, nekat banget lo!”
“Harus begitu ‘kan? Lo tahu sendiri gue nggak bakal diem dan mendem perasaan. Terus patah hati menye-menye berasa dunia berakhir. Ogah! Kalau gue suka ya gue bikin dia suka juga sama gue.”
“Tapi ‘kan perasaan nggak bisa dipaksa?”
“Betul! Makanya harus main cantik. Kasih umpan, biar datang sendiri. Bukan diseret paksa biar dateng.”
“Hahaha…” Jihan hanya bisa tergelak. Ajaib memang pola pikir sahabatnya itu.
“Eh, kenapa gue jawabnya kayak gue yang beneran jatuh cinta sama si Ahsan, ya?” Tiba-tiba Luna tersadar dengan kalimat-kalimatnya barusan.
“Tau, deh. Jangan-jangan lo beneran jatuh cinta?”
Luna mengedikkan bahunya, tak terlalu peduli. “Ya udah, gue tutup, ya? Kayaknya bentar lagi gue bakal dipanggil buat makan.”
“Oke. Have fun, ya! Jangan lupa kabarin kalau lo udah beneran jatuh cinta sama sekretaris Abi lo.”
“Ye, ngarep!” Luna mencibir, sembari melangkah masuk ke dalam rumah.
“Siapa tahu ‘kan? Entar lo nggak mau balik ke sini gara-gara hati lo dah kepincut.”
“Udah ah! Makin ngawur omongan lo. Gue tutup, assalamu’alaikum.”
Belum sempat Luna mendengar jawaban dari Jihan, suara Nia sudah lebih dulu memenuhi gendang telinganya.
“Dek Lunaaaa, ayo makaaaan!”
“Iya, Mbaaak. Meluncuuuuur!” Luna berjalan cepat masuk ke dalam rumah, memenuhi panggilan kakak sulungnya.
Luna sama sekali tidak tahu, obrolannya barusan bukan sama sekali tak ada yang mendengar. Ia lupa untuk memeriksa kantor administrasi yang ternyata lampunya masih menyala. Mungkin karena tertutup pohon mangga besar, lampu kantor administrasi yang terang benderang jadi luput dari perhatian gadis itu.
Di sana, di balik pohon mangga besar, seorang gadis berkerudung panjang tengah mematung. Bibirnya tergigit, ada nyeri yang menjalar di dadanya.
***
Elisha melebarkan dan mempercepat langkahnya. Taman berumput di depan salah satu asrama pesantren putri tampak berkilau indah disiram cahaya rembulan. Sayangnya, gadis itu bahkan sama sekali tak menoleh. Mungkin itu pemandangan yang biasa baginya. Tapi tetap saja, sayang untuk dilewatkan.
Elisha melepas sandalnya cepat, menaiki tangga dengan setengah berlari, lalu mendadak berhenti di depan sebuah pintu kayu. Gadis itu mengatur nafasnya yang memburu.
Gedung asrama itu memanjang berbentuk huruf L. Terdiri dari 3 kamar besar yang berjejer di sisi panjangnya. Sementara sisi pendeknya itu adalah kamar mandi umum. Gedung asrama itu terlihat terpisah, jauh dari gedung asrama lain. Ya, karena gedung itu adalah gedung asrama khusus untuk para guru.
Elisha masih berdiri di depan kamar yang terletak paling ujung. Setelah nafasnya teratur, ia memutar gagang pintu.
“Sudah pulang? Kenapa lama banget?” Nuri segera menyambut Elisha. Ia juga baru tiba di kamar, sekitar lima menit lebih cepat.
Elisha tak menjawab pertanyaan Nuri. Hanya melewati gadis itu lalu melepas kerudung yang menutupi auratnya.
“Hei, ditanya kok nggak dijawab?” kejar Nuri penasaran.
Elisha masih tutup mulut. Ia meneruskan kegiatannya, menggantung kerudung yang tadi ia pakai, melepas kaos kaki, dan meletakkan barang bawaanya kembali ke tempat.
Nuri duduk di atas tempat tidur, masih memperhatikan Elisha. “Kenapa mukanya kusut banget?”
Elisha menoleh, tapi tetap bungkam. Gadis itu justru menghela nafas panjang. Bahunya terlihat turun.
“Duduk sini.” Nuri menepuk tempat kosong di sampingnya. Ia tahu ada yang tak beres dengan teman dekatnya itu.
Elisha menurut. Meski tadinya ia ingin mengganti pakaiannya lebih dulu, tapi rasanya menenangkan hatinya lebih baik disegerakan.
“Ada apa?” suara Nuri terdengar lembut. Ia mengusap pelan lengan Elisha.
“Nur…” akhirnya gadis berkulit terang itu bersuara. “Kalau kita mau ta’aruf sama ikhwan, boleh nggak kita milih ikhwannya siapa?”
Nuri melotot. “Hah?!”